Mohon tunggu...
Farid Muzaki
Farid Muzaki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pascasarjana

Mahasiswa Pascasarjana yang tertarik dengan konservasi, sejarah dan filsafat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Blue Economy untuk Peningkatan Pendapatan Daerah Provinsi melalui Ekowisata

26 Oktober 2023   15:00 Diperbarui: 26 Oktober 2023   15:03 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Blue Economy (BE) adalah suatu istilah untuk menggambarkan konsep ekonomi terkait dengan eksploitasi, perlindungan dan regenerasi lingkungan laut (marine environment). Terkait dengan konsep tersebut, Bank Dunia mendefinisikan BE sebagai ‘pengelolaan berkelanjutan sumberdaya maritim untuk penyediaan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan taraf hidup dengan tetap menjaga kesehatan ekosistem laut’. 

Dalam dokumen konsep Island Emerging States, disebutkan bahwa ‘Blue Economy is an undersea economic boom that results in improved people happiness and social fairness while minimizing overall implications and ecological resource scarcity’ (‘BE merupakan perkembangan ekonomi bawah laut yang akan meningkatkan keadilan sosial dan keuntungan bagi manusia, serta meminimalkan seluruh dampak dalam keterbatasan sumberdaya ekologis). BE dapat menyebabkan manusia untuk menjalankan ekonomi sesuai daya dukung lingkungan, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kapital sosial dan meningkatkan ketahanan.

Konsep BE mengandung arti ‘keberlanjutan’ untuk sistem ekonomi dan ekologi maritim yang mencakup stabilitas untuk aspek 1) behavior atau perilaku (dari institusi, pelaku pasar, legislatif dan semua stakeholder terlibat), 2) lingkungan alam dan 3) kultur yang bergantung pada keberlanjutan lautan (untuk makanan dan taraf hidup yang lebih baik). Oleh karena itu, lingkup ini bersifat sangat luas mencakup pemanfaatan traditional atau konvensional seperti perikanan, akuakultur, transportasi maritim hingga wisata pesisir dan laut; hingga pemanfaatan energi pesisir yang terbarukan (coastal renewable energy), jasa ekosistem laut, penambangan dasar laut hingga bioprospecting.

Istilah BE saat ini juga digunakan untuk pelingkupan pendekatan pembangunan berkelanjutan terhadap sumberdaya pesisir dan laut. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, suatu pembanguan harus memenuhi tiga aspek yaitu 1) ramah lingkungan, 2) dapat diterima secara sosial dan 3) memberikan keuntungan secara ekonomis. 

Untuk itu, segala aktivitas ekonomi manusia harus mempertimbangkan alam tidak hanya sebagai modal (capital) namun alam juga sebagai tempat kembalinya limbah dan alam sebagai sumber kesenangan (amenity). Pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir haruslah secara terintegrasi dan berkelanjutan sehingga generasi saat ini dapat menerima manfaat dari alam tanpa harus mengurangi kesempatan generasi mendatang untuk mendapatkan manfaat yang sama. Dengan kata lain, visi ekonomi BE harus mengedepankan aset dan jasa lingkungan.

Terkait alam sebagai sumber amenity, maka salah satu potensi pengembangan ekonomi biru untuk peningkatan ekonomi daerah (dan masyarakatnya) adalah melalui pengembangan ekowisata laut berkelanjutan. Kegiatan wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara (PerMen Pariwisata No. 14 Th. 2016). Tren peningkatan pertumbuhan pariwisata laut dan pesisir yang pesat di seluruh dunia juga telah dilaporkan dalam banyak publikasi, misalnya oleh Zhong et al. (2011), Drius et al., (2019), Liu et al. (2020), D’Arco et al. (2021), Dimitrovski et al. (2021) dan Wijaya et al. (2021). Berdasarkan data tersebut, kegiatan wisata laut memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan melalui pengelolaan yang berkelanjutan; tidak hanya untuk peningkatan ekonomi masyarakat dan pelaku usaha industri pariwisata namun juga peningkatan penerimaan devisa negara. Akan tetapi, di saat bersamaan, publikasi-publikasi tersebut juga menunjukkan bahwa pertumbuhan wisata telah menimbulkan berbagai dampak negatif bagi lingkungan alam dan sosial budaya, termasuk diantaranya adalah konsumsi energi dan sumberdaya berlebih, pencemaran air dan udara, degradasi habitat dan hilangnya keanekaragaman hayati hingga perubahan kultur sosial masyarakat di lokasi wisata.

Dalam hal pengembangan ekowisata laut berkelanjutan, tentu terdapat tantangan dan permasalahan. Tantangan dan permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan ekowisata laut tentunya tidak disebabkan oleh satu faktor saja; namun merupakan hasil interaksi dari berbagai macam faktor baik pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan pembuat kebijakan, dunia usaha dan masyarakat sebagai pelaku industri wisata serta tingkah laku (attitude) dari wisatawan itu sendiri. Juga merupakan akibat dari banyak faktor alamiah maupun antropogenik seperti potensi alami suatu lokasi wisata, adanya polusi, serta kerawanan lokasi wisata dari sudut kebencanaan dan keamanan.

Di Indonesia sendiri, salah satu tantangan dalam pengelolaan ekowisata, khususnya di kawasan pesisir dan laut adalah masalah perundang-undangan. Berdasarkan data Travel & Tourism Competitiveness Report dari World Economic Forum (WEF); pada tahun 2015, indeks kompetitif pariwisata berkelanjutan Indonesia berada pada ranking 70 kemudian meningkat menjadi ranking 50 pada 2017 dan rangking 40 pada 2019 (WEF, 2019). Laporan tersebut mengukur sejumlah faktor dan kebijakan yang memungkinkan perkembangan berkelanjutan dari sektor travel dan wisata, yang pada gilirannya, berkontribusi pada pembangunan dan daya kompetitif negara.

Indonesia tampaknya memiliki skor rendah untuk keberlanjutan ekosistem. Indonesia memiliki kelemahan dalam hal kebijakan lingkungan untuk mendukung keberlanjutan lingkungan dan alam sebagai pendukung pariwisata. Kelemahan tersebut termasuk dalam hal kegagalan perumusan dan penegakan hukum lingkungan untuk memastikan bahwa sumberdaya air, sumberdaya hutan dan kehidupan laut tetap dalam status yang baik atau terjaga dan terlestarikan. Beberapa pihak juga menyatakan bahwa pengelolaan ekowisata Indonesia masih belum optimal karena adanya tumpang tindih peraturan dan ego sektoral pembuat kebijakan.

Salah satu contoh tumpang-tindihnya dapat dilihat pada beberapa poin ketidak-sesuaian antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada UU 23/2014, dalam pasal 27 Ayat (3 dan 4) menyatakan bahwa Pemerintah Daerah diberikan kewenangan Daerah Provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau arah perairan kepulauan. Apabila wilayah laut antar dua daerah provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat) mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya di laut dibagi sama jarak atau diukur sesuai dengan prinsip garis tengah dari wilayah antar dua daerah provinsi tersebut.

Disini, tampaknya terjadi gap atau kekosongan hukum dalam pengelolaan WP3K di daerah kabupaten/kota sebagai dampak diberlakukannya UU No. 23/2014. Pasal 27 UU No. 23/2014 hanya mengatur pemberian kewenangan pengelolaan wilayah pesisr kepada pemerintah daerah provinsi, sedangkan UU No. 1 tahun 2014 pengelolaan wilayah pesisir dapat dilakukan oleh gubernur maupun bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Sejauh mana kewenangan dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan wilayah pesisir ini pada UU Pemda tidak dijelaskan. Hal ini tentu sangat potensial menimbulkan ketidak-pastian hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun