Mohon tunggu...
Farid Maruf
Farid Maruf Mohon Tunggu... -

CEO Satu Langit Web Design (CV Satu Langit)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pernyataan Menag dan Wapres : Ada Benarnya Tapi Mis Context

11 Juni 2015   09:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:07 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Beberapa hari terakhir kembali publik Indonesia diributkan pernyataan para pejabat negara. Kali ini adalah pernyataan Menteri Agama, Lukman Saifuddin, yang menyatakan bahwa warung-warung tidak perlu dipaksa tutup di siang hari Ramadhan untuk menghormati orang yang tidak berpuasa. Dalam kesempatan lain, Wakil Presiden Bapak Muhammad Jusuf Kalla menyatakan pengaturan pengeras suara masjid karena bisa menimbulkan polusi suara.

Pernyataan Menteri Agama tersebut sesungguhnya memang ada benarnya. Warung makan, restoran, dan sejenisnya tidak perlu ditutup di siang hari Ramadhan. Hal ini karena memang tidak semua orang wajib berpuasa pada saat itu. Misalnya : musafir, wanita yang sedang haid, anak kecil yang belum baligh, orang-orang yang sakit sehingga tidak mampu berpuasa, orang yang sudah sangat tua sehingga tidak mampu berpuasa, dan orang-orang non muslim. Kita bisa membayangkan, jika semua warung makan tutup di siang hari Ramadhan, tentu orang-orang yang disebut di atas bisa kesulitan mencari makan. Efeknya pun bisa tidak baik. Sekeluarga yang sedang perjalanan mudik misalnya, di tengah jalan kelaparan. Butuh makan. Darimana mau mencari makan jika tidak mampir ke warung makan? Memasak jelas tidak praktis dan secara teknis sulit. Warung makan adalah pilihan paling mudah.

Akan tetapi, kondisi yang saya sebutkan di atas hanya bisa berjalan ketika :

Pertama, para pedagang makanan paham dan taat syariah. Mereka hanya menjual makanan siap makan tersebut (makan di tempat) kepada orang-orang yang tidak wajib berpuasa. Kalau orang yang membeli adalah tetangga sebelah yang sehat dan tentu wajib berpuasa, maka tidak akan dilayani. Pengetahuan si pedagang diperlukan untuk mengidentifikasi profil pembeli. Bisa saja ada pembeli yang memang wajib berpuasa. Tapi ia membeli makanan untuk orang tuanya yang sakit, maka itu boleh.

Kedua, masyarakat secara umum paham dan taat syariah. Orang-orang yang datang dan membeli makanan siap makan di warung makan hanyalah orang-orang yang memang tidak wajib berpuasa. Atau hanya membelikan untuk orang yang tidak wajib berpuasa. Atau hanya membeli makanan untuk dibungkus, akan dimakan nanti pada waktu buka puasa.

Ketiga, negara menerapkan syariah Islam secara formal. Orang-orang yang statusnya wajib berpuasa, tapi terang-terangan makan di siang hari Ramadhan, harus ditangkap polisi dan diberikan sanksi yang tegas. Selain itu, negara juga mengatur agar warung makan di siang hari Ramadhan menutup sebagian pintunya, atau menutup jendelanya dengan tirai sehingga orang-orang yang sedang makan di dalam warung tidak kelihatan secara mencolok dari luar. Ini sebagai penghormatan kepada orang-orang yang sedang menjalankan kewajiban berpuasa.

Oleh karena itu, peryataan menteri agama tersebut dalam konteks masyarakat Indonesia yang pedagangnya banyak yang tidak peduli syariah, masyarakatnya banyak yang awam, dan negara tidak menerapkan syariah, maka menjadi salah konteks. Hasilnya, justru tidak baik. Fakta yang kita dapati, warung-warung makan ramai oleh para pembeli yang (diduga kuat) adalah orang-orang yang seharusnya wajib berpuasa. Mereka nampak santai dan tanpa malu-malu makan dan minum seenaknya di depan publik secara demonstratif. Di sini tentu kita merasa sangat sedih. Anak-anak kita yang sejak kecil kita didik berpuasa, menjadi heran dan bertanya-tanya. Mengapa banyak orang dewasa yang dengan santainya makan dan minum di warung.

Begitu pula dengan peryataan Wakil Presiden, Muhammad Jusuf Kalla, tentang pengaturan suara speaker masjid. Memang, sudah sepantasnya ada aturan atau minimal etika dalam penggunaan speaker masjid. Masjid yang mengeraskan speaker di waktu-waktu yang tidak lazim (di hari kerja, di malam hari ketika waktu istirahat), memang bisa mengganggu. Bisa kita bayangkan. Misalnya ada masjid yang berdekatan dengan kompleks sekolahan (seperti masjid di dekan rumah tinggal saya). Jika masjid menyuarakan dengan keras (suara apapun, entah rekaman pengajian atau pembacaan murottal Al Qur’an) di waktu kegiatan belajar-mengajar, maka tentu proses belajar-mengajar menjadi terganggu. Begitu pula ketika masjid secara nonstop menyuarakan dengan keras (suara apapun), maka orang-orang yang butuh istirahat tentu akan merasa terganggu.

Akan tetapi, kondisi yang saya sebutkan di atas hanya baik ketika :

Pertama, masyarakat secara umum dengan kesadaran pribadi mau mengkaji Islam. Hasilnya, masyarakat secara umum taat kepada syariah.

Kedua, negara menerapkan syariah Islam secara formal. Hasilnya, masyarakat taat syariah. Opini Islam secara umum juga kuat, misalnya dengan acara-acara keislaman di berbagai media, mislanya radio dna televisi.

Oleh karena itu, pernyataan Bapak Jusuf Kalla tersebut dalam konteks masyarakat Indonesia yang masih banyak yang tidak sadar wajibnya mengkaji Islam, juga negara yang tidak menerapkan syariah, maka menjadi salah konteks. Seharusnya negara memaksa warganya untuk mengkaji Islam, dan taat syariah Islam.

Misalnya materi tentang berbusana muslimah. Negara harus memastikan bahwa seluruh muslimah sudah mendapatkan pelajaran dan paham  tentang wajibnya berbusana muslimah. Pelajaran bisa disampaikan di sekolah (untuk pelajar), atau di forum-forum lain (untuk mereka yang sudah tidak sekolah). Hasilnya, semua muslimah sudah mendapatkan materi tentang busana muslimah. Materi ini termasuk sesuatu yang wajib dipelajari. Jika ada wanita yang membuka aurat di depan umum, maka negara harus menangkap wnaita tersebut dan diberikan sanksi. Tidak ada alasan belum tahu. Mirip seperti polisi yang menilang pengendara yang tidak memakai helm. Tidak ada alasan belum tahu wajibnya helm, tidak ada alasan tidak punya uang untuk beli helm. Jika kedapatan mengendarai sepeda motor tanpa memakai helm, maka polisi akan menangkapnya, dijelaskan kesalahannya, dan dikenai sanksi.

Dalam kondisi seperti sekarang ini, masyarakat banyak yang tidak mau mengkaji Islam. Pemerintah pun tidak mendorong atau memaksa masyarakat untuk mengkaji Islam. Hasilnya, pelanggaran syariah dimana-mana. Bisa jadi diawali dengan ketidakpahaman. Sebagai contoh tentang busana muslimah. Banyak sekali (bahkan lebih banyak) muslimah yang tidak berbusana muslimah. Transaksi ribawi juga ada di banyak tempat, dilakukan terang-terangan, bahkan diopinikan.

Wajar jika banyak takmis masjid dan aktivis Islam yang prihatin dan geregetan. Mereka ingin memaksa agar masyarakat mau mengaji, tapi tidak bisa. Mencoba variasi pengajian yang menarik, tapi faktanya juga masih banyak masyarakat yang tidak tertarik. Akhirnya, salah satu cara untuk “memaksa” masyarakat mendengarkan pengajian ya memalui speaker masjid yang dikeraskan. Saya pernah mengalami kasus ini secara nyata. Ketika saya diundang mengisi pengajian di sebuah masjid, nampak bahwa yang hadir tidak semua. Banyak warga yang tidak hadir. Pengurus masjid pun mengeraskan suara pengajian dengan speaker luar (horn/TOA) sehingga suara pengajian bisa menggelegar terdengar ke seantero kampung.

Perkara benar tapi salah konteks ini akan sering kita temui dalam negara sekuler yang tentu tidak menerapkan syariah Islam. Banyak hal benar yang justru menjadi lucu ketika diterapkan tanpa penerapan syariah oleh negara. Oleh karena itu, penerapan syariah oleh negara adalah sesuatu yang wajib adanya, bukan sekedar pilihan. (www.faridmaruf.wordpress.com)

Sumber screenshoot twitter : http://elshinta.com/upload/article/_8504695506.png

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun