Dalam hal ini, setelah kita menonton film Ayat-Ayat Cinta 2, berapa kali kita bicara dalam benak kita masing-masing, "Ah, yang begituanpaling cuma ada di film", atau kita bertanya, "Ada gak ya manusia semacam Fahri?". Pertanyaan retoris semacam ini tentunya tidak perlu dijawab. Saya lebih tertarik untuk bertanya, "Lantas kenapa film Ayat-Ayat Cinta 2 demikian digandrungi?"
Ini benar. Di bioskop di kota saya, film Ayat-Ayat Cinta 2 ditayangkan di tiga studio sekaligus. Kursi-kursi teater selalu terisi penuh. Penonton dari segala usia rela mengantri panjang demi mendapatkan tiket masuk.
Opini saya di atas bisa saja benar, namun lebih empuk untuk dibantah. Bahwa jika memang film Ayat-Ayat Cinta 2 sedemikian tidak memenuhi elemen-elemen penokohan fiksi secara utuh, mengapa penonton masih berdatangan? Bahwa jika memang film ini tidak memenuhi harapan penonton tentang cara mengenal tokoh, mengapa masih banyak komentar-komentar positif tentang film ini? Well, saya akan berusaha untuk tidak sinis dan sarkastik dalam menjawab pertanyaan semacam itu. Hanya saja, setiap produk memiliki pasarnya masing-masing. Dan kebanyakan pasar menuntut agar mereka mendapatkan apa yang mereka harapkan akan mereka dapatkan.
Saya sendiri cukup menikmati Ayat-Ayat Cinta 2, mengingat film ini melibatkan aktor dan aktris yang cukup ternama dan berkualitas serta mengambil lokasi di kota Edinburgh, Skotlandia. Produser tentu menggelontorkan dana yang cukup besar, yang tentu atas pertimbangan ekspektasi serta antusiasme penonton yang luar biasa. Saya nyaris tidak kebagian kursi saat membeli tiket---padahal sudah mengantri panjang---kalau saja tidak bertemu orang yang batal menonton entah karena alasan apa lantas menjual tiketnya kepada saya. Sungguh beruntung. Terakhir, jaya terus film Indonesia; jaya terus industri perfilman Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H