Jika itu terjadi, kupikir aku sudah terlalu lelah untuk kembali menyimpul kebencian-kebencian. Merangkainya menjadi satu tambang dendam, dan terus meneruskannya sampai hasilnya sangat-sangat panjang.
Jika kali ini terjadi hal yang sama lagi, mungkin aku akan memilih jalan yang tidak berani kutapaki sebelumnya. Jalan di mana aku membawa pergi tambang kebencian yang kupintal sedemikian rupa, lalu melilitnya di pohon tertinggi, bersamaku di ujung satunya.
Aku sungguh tidak kuat lagi. Aku mencintai Awan. Sangat mencintainya sampai gila aku dibuatnya.
Namun kenapa Awan tak pernah balik mencintaiku? Kenapa Awan tidak kunjung mengatakan hal yang selama ini kuinginkan? Bahkan jika itu hanya kebohongan, aku sungguh tak apa. Bohonglah padaku. Tatap mataku seperti kau menatap siapapun yang kau cintai. Lalu katakan satu kata itu. Katakan. Dan aku akan pergi.
Aku akan pergi dengan damai. Tanpa kebencian. Tanpa Pengharapan. Dan di suatu ujung lain dunia, aku akan menemukan hal-hal baru yang bukan terdiri dari langit, matahari, bintang -bintang, bulan, dan awan. Dan aku akan berbahagia. Dan aku tidak akan menyebutnya pembalasan dendam, melainkan pelepasan. Aku adalah aku, dan Awan tidak akan memahami seluruh aku. Dan Awan juga tidak akan mencintaiku.
[]
Faridha, pembaca apapun yang kusuka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H