Booming Modal Ventura di tahun 90-an telah memunculkan apa yang kita kenal sekarang sebagai silicon valey. Mereka memberikan gelontoran dana kepada para perusahaan rintisan (start up) dari mulai tahap seeding sampai dengan tahap late stage capital. Kehadirannya  ibarat peternak sapi gelonggongan. Membuat sapi menjadi cepat besar dan gemuk untuk selanjutnya melepas dan menjual ke pasaran. Bedanya, tujuan utama mereka adalah divestasi, menjualnya melalui mekanisme penawaran umum (IPO).
Memang secara naluriah, Modal ventura berperan tidak hanya sebagai sumber pembiayaan selayaknya bank. Mereka masuk ke dalam ekuitas investee company-nya melalui skema equity participation ataupun convertible bond serta memberikan masukan-masukan yang sifatnya stratejik.
Beberapa nama mulai terdengan masuk ke Indonesia dan menyuntikan dananya meskipun dalam jumlah yang tidak ter-disclosed. Sebut saja  East Ventures, CyberAgent Ventures, atau NSI Ventures.
Sebagai negara berkembang, kita memang pasar yang menjanjikan sekaligus sexy bagi para venture capitalist. Meskipun secara global Amerika mendominasi dengan hampir 50% investasi modal ventura. Namun, Indonesia adalah negara dengan kenaikan fantastis dalam hal investasi yang dilakukan oleh modal ventura yakni $44 juta pada 2012 menjadi $3 Miliar di akhir tahun 2016 atau meningkat hampir 70 kali lipat dalam kurun waktu 4 tahun. Â
Menurut penelitian A.T Kearney, dua market terbesar investor untuk Indonesia saat ini adalah bidang fintech (67%) dan healthcare (25%).  Besarnya minat pada bidang Fintech ini terutama didorong oleh  peningkatan minat masyarakat kita pada E-Commerce dan platform transportasi berbasis teknologi (baik untuk commuter dan leisure).
Krisis IdentitasÂ
Di tengah berita mengenai gelontoran dolar pada start up-star up lokal, ada hal yang menarik jika dilihat dari statistik modal ventura yang terdaftar di OJK. Pada posisi bulan November 2017, jumlah asset modal ventura adalah sebesar Rp10,9 Triliun atau malah menurun 3,42% Â dari posisi Desember 2016 yang sempat mencapai Rp11,3 Triliun.
Lebih jauh,bisnis yang  dijalankan justru kontraproduktif dengan konsep modal ventura yang dikenal luas oleh dunia. Dari total pembiayaan sebesar Rp6,7 Triliun, 73% diantaranya atau sekitar 4,9 T  disalurkan melalui pembiayaan bagi hasil selayaknya bank. Pembiayaan melalui skema Equity Participation atau penyertaan saham sebagai "ruh" dari modal ventura hanya sebesar Rp1,2 T atau kurang dari 18% dari total pembiayaan yang diberikan.
Hal yang menarik lainnya adalah, pendanaan/pinjaman dari Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank sangat dominan yakni Rp1,86 Triliun atau 65% dari total pinjaman jangka panjang . Fenomena ini sangat aneh. Mengingat konsep awal modal ventura dibuat justru untuk mendapatkan dana alternatif yakni dari private equity fund. Pasar modal dan Bank dinilai terlalu berisiko bagi perusahaan-perusahaan rintisan.
Implikasi dari hal tersebut adalah akan munculnya risiko miss match antara  business model investee company dan pendanaan yang diterima. Sederhananya, Pembayaran pinjaman harus dibayarkan kepada Bank kreditur secara periodik. Namun disisi lain,sebuah perusahaan start-up atau investee company harus melewati fase-fase dimana cash-out akan besar baik untuk promosi maupun operasional, sebelum break evenpoint tercapai.
Dalam start up financing cycle Masa-masa berdarah ini yang dinamakan valley of death, dimana secara statistik hanya 1 dari 2 perusahaan yang menjadiperusahaan "unicorn" akan tetap hidup.