Judulnya panjang ya? Memang itu beberapa hal yang ingin saya sentuh dalam tulisan ini. Pertama, berapa banyak di antara kita yang tahu dan paham, mengapa dalam masyarakat kita --bahkan tidak terbatas kalangan Muslim-- sebutan kyai-haji menjadi sebutan tidak terpisahkan? Mengapa sebuatan kyai-haji yang tidak terpisahkan itu tidak hanya populer, sekali lagi melampaui telinga warga Muslim, tapi juga menjadi "standar" absolut tentang kepakaran dalam pengetahuan dan pemikiran Islam, dan tentang kesalihan relijius.Â
Siapa di antara kita yang memerhatikan, atau tidak take for granted, jika tidak semua pakar dalam pemikiran Islam (berhak) disebut kyai, dan tidak semua yang pergi haji berhak menjadi "haji" --haji sebagai julukan dan klaim yang bisa disandingkan dengan julukan kyai?
Kita tentu tidak menemukan situasi sosial yang sama dalam konteks masyarakat islam yang lain; bahkan dalam masyarakat Arab Saudi yang selama ini dikenal sebagai pusat kajian Islam garda depan dan sekaligus satu-satunya tempat berhaji yang membuat kyai atau syaikh di sana bisa berhaji setiap tahun. Meski menjadi syaikh dan bisa berhaji setiap tahun, kita tidak akan menemukan julukan kyai-haji atau al-syaikh al-hajj sepopuler di Indonesia.
Kajian antropologi Islam Geertz, khususnya tentang "Javanese Kijaji" menjadi rujukan sangat penting untuk membangun pemahaman atas pertanyaan-pertanyaan di atas.Â
Kajian antropologi Geertz menjadi salah satu fondasi awal bagi pemahaman antropologis situasi kehidupan keberisalaman dalam masyarakat Indonesia, khususnya memahami posisi kyai yang disebut Geertz sebagai cultural broker karena perannya dalam, mengutip Eric Wolf, "stand guard over the crucial junctures of synapses of relationships which connect the local system to the larger whole."Â
Dengan peran penting dalam relasi sosial-politik yang kompleks dalam mayarakat kita, pesantren di mana kyai menjadi "raja" disebut Gus Dur sebagai subkultur, yang satu sisi independen namun di sisi lain justru berpengaruh sentral (influential) terhadap dunia di luarnya yang lebih luas.Â
Saya tidak ingin memaparkan lebih detail kajian Geertz tentang kyai hingga julukan kyai-haji yang menjadi paragraf pembuka di atas... untuk mendorong rasa ingin tahu para pembaca, dan mencari jawaban sendiri dengan membaca kajian Geertz tersebut.
Geertz sendiri, seperti disebut almarhumah Saba Mahmood, merupakan pionir antropologi Islam. Geertz memberi pengaruh pada transformasi, khususnya dari segi metodologi dan metode, mengkaji Islam dalam perspektif antropologis, dari 'paradigma' Eurosentrik dan etnologis yang lebih kuat dipengaruhi evolusionisme dan orientalisme, dengan fokus utama asal-usul (the origins) agama, ke kajian yang lebih fokus pada relasi sosial dan makna budayanya (cultural meaning) dengan menekankan pada perspektif 'lokal' (native perspective).Â
Geertz dipandang revolusioner dalam hal mengkaji Islam secara komparatif di antara masyarakat Islam yang berbeda. Dalam buku Islam Observed, Geertz mengkaji secara komparatif Islam di Indonesia dan Islam di Maroko, menjawab salah satu pertanyaan, mengapa Islam dengan rujukan dan sumber yang "satu", dalam prakteknya mengalami banyak perbedaan? Sebab-sebab sosial-budaya menjadi 'jawaban' penting dalam kajian antropologis semacam ini.
Demikianlah, betapa pentingnya Geertz --bagi saya, meski sudah banyak yang mengkritik. Semoga Geertz juga penting bagi lebih banyak orang yang ingin memahami banyak hal tentang kehidupan Islam, termasuk saat ini, Misalnya, mengapa sekarang kita enggan menyematkan klaim kyai, bahkan pada mereka yang secara kasat mata punya kepakaran dalam pengetahuan Islam?Â
Geertz penting untuk membuat kita memiliki "kemampuan" melihat hal-ihwal tentang kehiduapan keagamaan, khususnya Islam, dengan kacamata antropologis --tentang dinamika, tentang "paradoks", tentang kontradiksi, tentang instabilitas, tentang keragaman, tentang segala macam perubahan, tentang negosiasi, dan banyak lagi.Â
Dengan kacamata seperti ini, kita tidak mudah aneh, ketika melihat kenapa banyak Muslim terlibat kasus korupsi; kenapa banyak Muslim mudah marah dibanding ramah; kenapa banyak Muslim terjangkit penyakit kebencian.
Kacamata antropologi dalam melihat bagaimana Islam hidup dan dihidupkan (living Islam, demikian Geertz menyebutnya) sangat penting untuk melampaui penglihatan terbatas karena kontestasi politik 'formal' yang biasanya lebih banyak dipengaruhi cara pandang political science.Â
Antropologi Islam melampaui perpsektif politik Islam; dalam arti, antropologi Islam menempatkan dinamika sosial-politik yang menghadirkan Islam tidak sekedar sebagai kontestasi politik kekuasaan, tapi sebagai proses negosiasi sosial yang lebih luas.Â
Sekedar contoh; dengan perspektif politik Islam, kehadiran Islam Nusantara dipandang sekedar sebagai wajah Islam politik yang lain, selain Islam politik dalam bentuk yang bercitra fundamentalis, konservatif, radikal, dan intoleran seperti FPI dan HTI.Â
Dengan politik Islam, konteks kehadiran Islam Nusantara sekedar "perang bendera." Antropologi Islam terhadap Islam Nusantara akan menyentuh banyak sekali aspek sosial-budaya di mana (gagasan) Islam Nusantara tumbuh dan berkembang.
Akhirnya, cara pandang antropologi --yang dibangun dengan terlebih dulu membaca sebanyak-banyak hasil kajian antropologi terhadap Islam-- akan menjadi alternatif cara kita melihat dinamika sosial-politik yang melibatkan Islam; menjadi alternatif demi meningkatkan "level wacana" (level of discourse) tentang Islam dan para penganutnya, dari sekedar wacana 'Islam politik' berorientasi politik formal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H