Dengan kacamata seperti ini, kita tidak mudah aneh, ketika melihat kenapa banyak Muslim terlibat kasus korupsi; kenapa banyak Muslim mudah marah dibanding ramah; kenapa banyak Muslim terjangkit penyakit kebencian.
Kacamata antropologi dalam melihat bagaimana Islam hidup dan dihidupkan (living Islam, demikian Geertz menyebutnya) sangat penting untuk melampaui penglihatan terbatas karena kontestasi politik 'formal' yang biasanya lebih banyak dipengaruhi cara pandang political science.Â
Antropologi Islam melampaui perpsektif politik Islam; dalam arti, antropologi Islam menempatkan dinamika sosial-politik yang menghadirkan Islam tidak sekedar sebagai kontestasi politik kekuasaan, tapi sebagai proses negosiasi sosial yang lebih luas.Â
Sekedar contoh; dengan perspektif politik Islam, kehadiran Islam Nusantara dipandang sekedar sebagai wajah Islam politik yang lain, selain Islam politik dalam bentuk yang bercitra fundamentalis, konservatif, radikal, dan intoleran seperti FPI dan HTI.Â
Dengan politik Islam, konteks kehadiran Islam Nusantara sekedar "perang bendera." Antropologi Islam terhadap Islam Nusantara akan menyentuh banyak sekali aspek sosial-budaya di mana (gagasan) Islam Nusantara tumbuh dan berkembang.
Akhirnya, cara pandang antropologi --yang dibangun dengan terlebih dulu membaca sebanyak-banyak hasil kajian antropologi terhadap Islam-- akan menjadi alternatif cara kita melihat dinamika sosial-politik yang melibatkan Islam; menjadi alternatif demi meningkatkan "level wacana" (level of discourse) tentang Islam dan para penganutnya, dari sekedar wacana 'Islam politik' berorientasi politik formal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H