Belum lama, situasi sosial-politik kita dibuat heboh oleh dua peristiwa yang melibatkan anak-anak. Pertama, cerita tentang Afi Nihaya, remaja belum tamat SMU, yang tulisan-tulisan kritisnya tentang agama dan negara viral, menjadi sasaran kontestasi banyak kelompok politik yang sedang bersebarangan. Kedua, cerita tentang anak-anak mengikuti pawai yang gegap gempita meneriakkan pernyataan kebencian atas dasar agama dan ras, yang videonya juga tersebar viral. Dua peristiwa ini merupakan contoh kasus nyata bagaimana anak-anak tidak terpisah dari banyak situasi atau peristiwa politik kontemporer.
Sebelumnya, kita juga sering menjumpai anak-anak hadir dengan berbagai atribut di beberapa parade dan unjuk rasa yang digelar kelompok Islam tertentu, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebelum organisasi ini dilarang Pemerintah Indonesia.
Di level global, contoh paling kasat mata adalah anak-anak yang terlibat dalam gerakan terorisme yang dimobilisasi ISIS. Banyak di antara mereka yang bahkan sudah fasih meneriakkan yel-yel jihad, gagah memanggul senapan, dan rela menjadi pelaku bom bunuh diri! Film dokumenter Children of ISIS yang dirilis Frontline PBS (2015), menyebutkan, puluhan ribu anak ditraining ISIS di kamp yang disebut "religious military camp" untuk menjadi "the next generation of fighters!"
Sementara sudah banyak fakta yang menunjukkan keterlibatan (aktif) anak-anak dalam politik, terutama dalam gerakan politik yang penuh kebencian dan kekerasan, pendekatan terhadap anak-anak untuk terlibat lebih aktif dalam politik toleran dan demokratis sepertinya masih belum banyak dilakukan. Politik yang toleran masih berpusat pada manusia dewasa; anak-anak masih dianggap sebagai kelompok masyarakat yang tidak signifikan dalam kerja politik yang toleran.
Kita bisa melihat dari contoh di atas. Anak-anak yang terlibat dalam politik lebih menonjol dalam dinamika dan gerakan politik yang dioraganisir kelompok-kelompok yang selama ini dinilai sebagai kelompok politik garis keras dan intoleran. Situasi ini tentu sangat meresahkan. Mengabaikan anak-anak untuk terlibat dalam gerakan politik demokratis, humanis, dan toleran dan membiarkan kelompok-kelompok garis keras memobilisasi mereka sama saja dengan mempertaruhkan masa depan dunia. Bagaimanakah situasi sosial-politik kita kelak, dengan anak-anak lebih banyak "dididik" dengan pandangan dan gerakan politik yang permisif dengan kekerasan dan penuh kebencian pada yang berbeda?
Pengabaian terhadap peran dan posisi krusial anak-anak dalam politik, menurut saya, tidak terlepas dari asusmi bahwa politik adalah dunia orang dewasa. Anak-anak dianggap tidak ada dalam kehidupan politik. Selain sebagai sasaran kebijakan politik dan sasaran politisasi, anak-anak tidaklah relevan dalam pembicaran tentang politik. Kita lebih memilih untuk menempatkan anak-anak sebagai obyek pasif di luar kotak setiap dinamika politik. Kita belum melihat agency dan kapasitas diri pada diri mereka dengan menempatkannya sebagai subyek aktif yang punya peran signifikan dalam kehidupan politik.
Dalam film dokumenter yang saya sebut di atas, seorang anak hasil didikan ISIS bisa dengan gamblang dan jernih menceritakan proses pembentukan dirinya sebagai jihadis muda ISIS. Kemampuan menarasikan sebuah pengalaman politik yang rumit --seperti ditraining menjadi seorang jihadis-- Â bagi saya, jelas menggambarkan kapasitas diri (agency) anak-anak itu untuk menjadi subyek politik aktif daripada sekedar obyek pasif yang bisa selalu mudah diabaikan.
Di wilayah akademis, kajian antropologi anak kontemporer sudah mulai menyentuh aspek agency anak-anak dalam melihat keterkaitan politik dan anak-anak. Kajian-kajian tersebut memercayai, anak-anak bukan sekedar target politik dan "korban" gerakan politik tertentu, seperti menjadi pengungsi. Meski mungkin belum sampai pada tahap mengontrol penuh kehidupan politik, khususnya di level formal, anak-anak punya peran strategis, terutama untuk saling memperngaruhi di antara sesama mereka, termasuk di sekolah. Menjadikan anak-anak berperan lebih aktif dan menonjol dalam kerja politik toleran menjadi sangat krusial saat ini melihat makin seringnya kita mendengar kasus bullying atas dasar perbedaan ras dan agama di sekolah.
Kita perlu ingat kembali sebuah dinamika politik semasa Orde Baru. Kita tahu, konsolidasi politik Orde Baru selama lebih dari 30 tahun tidak terlepas dari pandangan dan sikap politik yang intoleran dan dipenuhi kebencian atas dasar suku, agama, kelas, pilihan politik, gender, dll. Bahkan, generasi "produktif" dalam kehidupan politik kita saat ini merupakan hasil proyek politik pendidikan dogmatis yang intoleran ala Orde Baru, yang menempatkan anak-anak di pusat proyek politik tersebut. Pengaruh kuat proyek politik tersebut pada pandangan politik intoleran saat ini masih bisa kita lihat jelas.
Di usia sangat dini, level sekolah dasar, kita sudah dididik untuk berani men-judge mereka yang memiliki sikap politik berbeda dengan rejim Orde Baru sebagai subversif dan musuh negara. Kita ditraining untuk "menganggap aneh" mereka yang berbeda suku dan agama. Bahkan, sejak dini, kita dibuat immune dengan politik kekerasan, dengan suguhan cerita horor, misalnya, tentang pembunuhan tujuh jenderal pada peristiwa 1965!
Proyek Orde Baru ini menunjukkan dua hal penting. Pertama, efektifitas "bekerja dengan anak-anak" demi konsolidasi politik dan, kedua, upaya menjadikan anak-anak sebagai "pemain politik penting" justru lebih sering diaplikasikan oleh mereka wawasan politik intoleran, diskriminatif, dan penuh kebencian.
Lembaga pendidikan menjadi media penting menguatkan peran anak dalam kehidupan politik saat ini. Pendidikan perlu menjadi media bagi proses unlearning, belajar kembali, membersihkan diri dari cara berpikir penuh kebencian atas nama perbedaan SARA. Kita perlu mentraining anak-anak sejak dini untuk terbiasa dengan jalan dialog, mendengar suara yang berlainan, dan respek pada segala keragaman. Pendidikan kita perlu memberi ruang tanpa batas bagi anak-anak belajar tentang kebebasan berekspresi dan kebebasan berpikir.
Namun, menjadikan lembaga pendidikan sebagai pusat pembangunan politik toleran membutuhkan kerja keras dalam jangka panjang. Untuk sampai pada upaya ini, yang terpenting, pertama, kita perlu mengubah pandangan tentang anak-anak sekedar sebagai obyek pasif di luar dinamika kehidupan politik yang bisa selalu diabaikan, dan kedua, tentu, proyek menjadikan pendidikan sebagai upaya membangun politik toleran tidak dijadikan sebagai permainan politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H