(Tulisan ini telah pernah terbit pada koran Harian Fajar pada minggu, 30/6/2019)
Karya sastra selalu menjadi perbincangan yang hangat dimata publik. Pasalnya, karya sastra -- melalui ide pengarang -- selalu merepresentasikan jiwanya sebagai ajaran edukasi dan moral yang dapat menyentuh urat nadi dikehidupan manusia.
Dikatakan demikian, karena dalam sastra terdapat varian karakter yang menggambarkan relasi atas realita sosial (pengarang dan pembaca) sehingga dapat menjadi bahan perbandingan atas apa yang terjadi di dunianya dan bacaan sastra yang tersimpan di alam bawah sadarnya.
Untuk itu dalam melihat relasi karya dan realita sosial pengarang dan pembaca, penulis meminjam teori abrams dalam Teeuw (1984) yang selalu mendudukkan empat pendekatan dalam mengupas objek sastra. Ialah pendekatan artistik (pengarang), semesta (universe), work (karya), dan audience (pembaca). Pendekatan pertama ialah suatu studi yang lebih menitikberatkan objek kajian pada ekpresi pengarang.
Studi pendekatan kedua lebih menganalisis latar sosial pengarang saat menulis karya, sehingga karya tersebut dilihat sebagai cerminan sosial atau mimetik. Studi pendekatan ketiga lebih mengalisis atas apa yang terjadi pada karya itu sendiri (obyektif), pendekatan yang menitik beratkan pada respon pengarang atas karya disebut pragmatik. (Teeuw, Â Sastra dan Ilmu Sastra, 1984).Â
Bagi penulis, mengkaji sastra menggunakan empat pendekatan di atas mampu memperluas penglihatan kita atas objek kesusastraan mulai pada kondisi sosial pengarang hingga respon pembaca. Sehingga sastra tidak lagi dilihat sebagai bacaan remeh temeh ataupun absurd yang hanya menjelasakan dirinya sendiri seperti seni untuk seni (Plekhanov, 1895).
Novel Animal Farm dan Latar Sosial Pengarangnya
Pada poin ini, penulis ingin mencangkok beberapa insrumen dari pembahasan teori abrams di atas agar dapat menjadi pisau analisis dalam mengupas cerita yang terkandung pada novel Animal Farm yaitu Mimetik, Ekpresif dan Pragmatik. Ialah George Orwell (1903-1950) seorang sastrawan dan juga essayist yang kerap menuangkan idenya dalam mengkritik prilaku penguasa diktator dan otoriter.Â
Pada masa tersebut (senada dengan pendekatan Mimetik Abrams), terdapat beberapa rezim pemerintahan yang menggunakan jubah kekuasaan dalam membrangus hak sipil politik dan hak ekonomi sosial budaya masyarakat, seperti Hitler dengan pandangan Nazi, Mussolini dengan gaya fasisme, termasuk Stalin dan Mao Tse Tung dengan ideologi Komunisme-nya. Praktik penyalahwenangan kekuasaan ini memakan sejumlah korban terkhusus bagi mereka yang berbeda dengan pandangan politik penguasa.
Keadaan sosial inilah yang  mempengaruhi kesadaran Orwell dalam Menuliskan (ekspresif) novel Animal Farm sebagai satir dalam mengkritik karakter penguasa. Olehnya itu, dalam mengekpresikan karakter penguasa yang koruptif, Orwell mengobjektifikasinya dengan hewan Babi yang rakus Napoleon.
Kendati demikian, menurut penulis, Orwell bukanlah sosok yang pesimis dalam melihat kondisi sosial politik di masanya. Sebab, dalam karya tersebut ia turut menghadirkan karakter pemimpin (dalam animal farm bernama Snowball) sebagai representasi dari jiwa penguasa yang Benevolent, disipilin, tegas namun mencintai rakyatnya.
Perjalanan karir kepemimpinannya ditandai saat ia mencoba mengoraganisir rekan-rekanya dalam menggulingkan si peternak bernama Mr. Jones. Jones adalah karakter yang menggambarkan ciri dari kepemimpinan feodalis. Ia menguasai seluruh sumber ekonomi dalam peternakan dan sewenang-wenang terhadap piaraanya (rakyatnya). Itulah mengapa dalam novel tersebut Snowball dan rekannya mencoba mengusir jones dari peternakan agar sumber ekonomi tidak lagi dikuasai secara individual melainkan kolektivitas.
Pada dasarnya, apa yang dilakukan oleh Snowball senada dengan salah satu teori dasar ekonomi yang mengatakan letak persoalan kemiskinan berangkat dari penguasaan sumber-sumber produksi oleh segelintir kelompok. Sehingga klompok lainnya akan terskreditkan sebagai kaum yang termarjinalkan (Prawironegoro, 2012). Diperparah lagi, kondisi ini akan memperlebar jurang pertentangan klas sosial antara kelas penguasa dan klas dikuasai.
Selain itu, langkah kedua yang dilakukan snowball usai menguasai sumber ekonomi ialah meningkatkan taraf kebudayaan masyarakatnya di  peternakan tersebut. Sehingga, seluruh alat produksi mampu dioperasikan dengan baik. Dengan mendidik, snowball meyakini rakyatnya mampu membangun hubungan sosial dan saling menghargai satu sama lain sebagaimana prinsip The seven Commandements dalam novel tersebut "All animals are equal" (Orwell, 1945). Itulah mengapa, penulis melihat jika dalam Animal Farm terdapat persinggungan terkait wacana pengentasan kemiskinan.
Refleksi Pembaca (Pragmatik) Novel Animal Farm, Pilres, dan Hari Depan Indonesia
Sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas, hadirnya kepemimpinan Snowball dalam mengorganisir rakyatnya dan melawan musuh klasnya adalah upaya untuk mengeliminisir karakter feodalis dari Mr. Jones. Dengan cara mendidik rakyatnya, memberikan akses pekerjaan kepada rakyatnya serta membagi secara merata hasil produksi merupakan langkah konkrit dalam pengentasan kemiskinan.
Pertannyaan yang meggeliktik nalar dan emosi kita ialah, apakah sumber ekonomi di Indonesia saat ini sudah mampu dikuasai secara totalitas oleh bangsa indonesia? Atau masih terdapat Mr. Jones-mr. jones kecil yang masih bercokol dinegeri ini? Selain itu, saat ini kita tengah menanti pelantikan Preseiden terpilih (priode 2019-2014) pada minggu, 20/10/2019.Â
Menjadi pertanyaan, akankah hadir karakter dan jiwa kepemimpinan Snowball yang mampu mengusir musuh bangsa dalam mengentaskan kemiskinan? Atau malah hadirnya karakter Napoleon, seekor babi hitam yang korup, fasis, dan diktator yang memimpin Animal Farm pasca Snoball? Mari berdoa semoga Presiden kita mampu menjadi Snowball untuk lima tahun kedepam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H