Manusia memang ditakdirkan untuk menjadi dewasa. Tetapi kita tidak boleh banyak berharap dari menjadi dewasa. Terkadang kedewasaan adalah fase dimana masa kecil jauh lebih menyenangkan. Hidup tanpa beban, identik dengan kebebasan, dan permasalahan hidup yang paling rumit hanya sebatas mengerjakan PR matematika.
Lentera atau yang akrab disapa Era adalah seorang anak perempuan yang dipaksa dewasa oleh keadaan. Era adalah anak pertama dari dua orang bersaudara, hidup bersama dengan ibunya yang telah resmi menjadi janda enam bulan lalu. Ayah Era mengalami kecelakaan ketika sedang bekerja sebagai supir truk. Era masih kelas tiga SMP, belum terlalu dewasa untuk memahami dunia barunya, yaitu dunia tanpa Ayah.
Enam bulan memang telah berlalu, tetapi ingatan Era akan sosok Ayah masih membekas seolah seperti kemarin bertemu. Dengan kepala menengadah pada langit-langit malam, ingatan Era terlempar pada masa lalu, mengingat kenangan terakhir yang ia miliki bersama sang Ayah.
Malam itu Era tidur bersama Ayah, sengaja mengambil posisi miring untuk melihat Ayahnya membacakan sebuah dongeng. Dongeng ini tidak pernah Era temukan dalam buku cerita mana pun. Tentu saja karena dongeng ini digarap secara spontan oleh sang Ayah untuk menemani tidur Era. Ceritanya adalah pada suatu hari ada seorang anak baik nan cantik menemukan sepasang kaos kaki dengan sepuluh motif bunga pada setiap pasangnya. Setiap bunga memiliki kekuatan untuk mengabulkan keinginan anak baik nan cantik selama ia mau memakai kaos kaki ke sekolah.
Era tertawa karena secara tidak langsung sang Ayah sedang membujuk Era untuk rajin memakai kaos kaki ke sekolah. Kaos kaki memang musuh terbesar bagi Era karena memakai kaos kaki membuat kaki Era terasa gerah dan tidak nyaman. Tidak bebas.
Esok harinya, Era diantar sang Ayah dengan truk besar menuju ke sekolah. "Sekalian Ayah anterin kamu, soalnya satu arah" ujar Ayahnya saat melihat raut wajah Era yang penuh tanda tanya.
"Ayah pulang ke rumah hari apa?" Era bertanya karena dua minggu lagi adalah hari ulang tahunnya. Pertanyaan itu bukan ia lontarkan tanpa sebuah alasan. Pasalnya, jika sang Ayah sudah pergi 'dinas' ke luar kota pasti akan memakan waktu yang sangat lama, bahkan bisa satu bulan lamanya untuk perjalanan pulang-pergi.
"Ayah kali ini pulangnya cepat kok, tidak lama." Ayah Era menjawab dengan cengiran khasnya, yang meskipun berwajah lelah tetap mempertahankan raut menyenangkan untuk menenangkan anak pertamanya.
Era membalas cengiran itu dengan cengiran yang sama. Dibandingkan dengan adik laki-lakinya, Era justru lebih mirip dengan Ayahnya. "Kalian itu sudah seperti anak kembar aja deh! Cuma beda jenis kelaminnya aja!" Ujar tetangga sebelah rumah Era.
"Untungnya kamu perempuan loh Era, coba kalau kamu laki-laki, pasti bisa kalah salah satunya!" Tetangga yang lain menimpali.
Era menatap bingung. "Maksudnya apa sih kalah salah satu?"
"Ya konon katanya kalau punya anak yang mirip sama kita dan jenis kelaminnya sama, salah satunya pasti akan cepat diambil sama Tuhan."
Ibu Era dari arah dapur bergegas untuk menyangkal perkataan tetangga. "Jangan percaya yang seperti itu, Era. Itu hanya mitos."
Dua tetangga yang sedang asik berbincang itu hanya mendengus ketika mendengar bantahan dari Ibu Era dan memilih untuk pergi meninggalkan Era dan ibunya.
Selepas kepergian mereka, Era beralih menuju tempat sang adik yang sedang disuapi oleh sang ibu. "Bu, Ayah kok belum pulang ya? Ini sudah mau dua minggu. Sebentar lagi kan ulang tahun Era." Era menatap ibunya dengan gelisah.
"Jangan khawatir, Ayah pasti cepat pulangnya."
Seminggu setelahnya, Era tidak mendapatkan kabar apapun terkait kepulangan Ayahnya. Tidak ada hadiah ulang tahun dari Ayah, tidak ada kehadiran Ayah saat usianya tepat 13 tahun. Ya, tidak ada Ayah untuk tahun-tahun berikutnya, seterusnya.
Era mendapatkan kabar bahwa Ayahnya mengalami kecelakaan yang naasnya tidak dapat menyelamatkan sosok pelindung dalam hidup Era. Ayahnya sudah pulang kepangkuan Tuhan. Era hanya menangis begitu mobil jenazah itu datang membawa jasad sang Ayah. Tidak cengiran khas, tidak ada pergerakan, tidak ada kehangatan dari tubuh yang selalu memeluk Era dengan erat begitu menjelang tidur.
"Ibu! Bagaimana dengan mitos itu? Bisakah aku memohon supaya mitos itu jadi nyata?" Era menangis sambil menarik lengan sang Ibu. Menatap harap pada kedua tetangga dekatnya, berharap ucapan mereka tempo lalu benar adanya. Era ingin Ayahnya kembali. Tetapi itu tidak mungkin.
Seolah tersadar dari ketidakmungkinan itu, Era menatap Ibunya dengan seksama, tidak ada isakan disana, tetapi air mata itu keluar tanpa bisa dibendung. Usianya baru tiga belas dan dia sudah harus kehilangan sosok itu. Tetapi tangisan tanpa suara itu membuat Era menyadari bahwa kesedihan itu bukan hanya miliknya.
Jika saja dongeng yang sering Ayahnya bacakan setiap malam itu nyata, jika saja Era memiliki kaos kaki ajaib itu. Era ingin memutar waktu, ingin kembali menikmati momen hidupnya sebelum menginjak usia 13 tahun. Jika Era tahu waktu bersama Ayahnya hanya sesingkat ini, Era pasti akan lebih menikmati kebersamaannya bersama sang Ayah dengan hati yang penuh syukur.
Selama dia masih ada, sayangi dia. Katakan kalau kamu mencintainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H