Era menatap bingung. "Maksudnya apa sih kalah salah satu?"
"Ya konon katanya kalau punya anak yang mirip sama kita dan jenis kelaminnya sama, salah satunya pasti akan cepat diambil sama Tuhan."
Ibu Era dari arah dapur bergegas untuk menyangkal perkataan tetangga. "Jangan percaya yang seperti itu, Era. Itu hanya mitos."
Dua tetangga yang sedang asik berbincang itu hanya mendengus ketika mendengar bantahan dari Ibu Era dan memilih untuk pergi meninggalkan Era dan ibunya.
Selepas kepergian mereka, Era beralih menuju tempat sang adik yang sedang disuapi oleh sang ibu. "Bu, Ayah kok belum pulang ya? Ini sudah mau dua minggu. Sebentar lagi kan ulang tahun Era." Era menatap ibunya dengan gelisah.
"Jangan khawatir, Ayah pasti cepat pulangnya."
Seminggu setelahnya, Era tidak mendapatkan kabar apapun terkait kepulangan Ayahnya. Tidak ada hadiah ulang tahun dari Ayah, tidak ada kehadiran Ayah saat usianya tepat 13 tahun. Ya, tidak ada Ayah untuk tahun-tahun berikutnya, seterusnya.
Era mendapatkan kabar bahwa Ayahnya mengalami kecelakaan yang naasnya tidak dapat menyelamatkan sosok pelindung dalam hidup Era. Ayahnya sudah pulang kepangkuan Tuhan. Era hanya menangis begitu mobil jenazah itu datang membawa jasad sang Ayah. Tidak cengiran khas, tidak ada pergerakan, tidak ada kehangatan dari tubuh yang selalu memeluk Era dengan erat begitu menjelang tidur.
"Ibu! Bagaimana dengan mitos itu? Bisakah aku memohon supaya mitos itu jadi nyata?" Era menangis sambil menarik lengan sang Ibu. Menatap harap pada kedua tetangga dekatnya, berharap ucapan mereka tempo lalu benar adanya. Era ingin Ayahnya kembali. Tetapi itu tidak mungkin.
Seolah tersadar dari ketidakmungkinan itu, Era menatap Ibunya dengan seksama, tidak ada isakan disana, tetapi air mata itu keluar tanpa bisa dibendung. Usianya baru tiga belas dan dia sudah harus kehilangan sosok itu. Tetapi tangisan tanpa suara itu membuat Era menyadari bahwa kesedihan itu bukan hanya miliknya.
Jika saja dongeng yang sering Ayahnya bacakan setiap malam itu nyata, jika saja Era memiliki kaos kaki ajaib itu. Era ingin memutar waktu, ingin kembali menikmati momen hidupnya sebelum menginjak usia 13 tahun. Jika Era tahu waktu bersama Ayahnya hanya sesingkat ini, Era pasti akan lebih menikmati kebersamaannya bersama sang Ayah dengan hati yang penuh syukur.