Mohon tunggu...
Farida Ratnawati
Farida Ratnawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada

Antusias dengan isu sosial dan politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gus Miftah dan Krisis Representasi

10 Desember 2024   16:00 Diperbarui: 10 Desember 2024   16:03 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengajian merupakan salah satu ekspresi populer dari arus islamisasi di Indonesia, yang lebih banyak berakar pada aspek kultural daripada politis. Sebagai tradisi keagamaan, pengajian telah menjadi ruang penting untuk berbagi nilai-nilai moral, pengetahuan agama, dan membangun solidaritas sosial. Namun, dalam perkembangannya, pengajian justru menjadi panggung bagi figur-figur publik yang membawa pengaruh lebih luas, termasuk di ranah sosial dan politik.

Baru-baru ini, muncul sebuah ironi dalam praktik keagamaan di Indonesia, ketika seorang tokoh agama yang juga menjabat sebagai pejabat publik menunjukkan sikap arogan dalam sebuah pengajian yang dipimpinnya. Ironi tersebut tampak jelas dalam video ceramah viral, Gus Miftah (Miftah Maulana Habiburrahman), utusan khusus presiden untuk kerukunan beragama. Dalam video tersebut, Gus Miftah menggunakan kata-kata kasar saat meledek seorang pedagang es teh pikul, yang kemudian memicu kritik keras dari berbagai kalangan. 

Peristiwa tersebut mencerminkan paradoks dalam representasi simbolik seorang tokoh agama sekaligus pejabat publik yang seharusnya merepresentasikan nilai-nilai moral dan kerukunan. Sebagai utusan khusus presiden urusan kerukunan beragama, tindakan Gus Miftah justru bertentangan dengan esensi tugas yang diembannya. Sikap arogan di hadapan pedagang kecil, yang diketahui bernama Sunhaji, tidak hanya mencoreng nilai-nilai moral yang menjadi inti dari ruang penting bernama pengajian, tetapi juga menguatkan kritik terhadap bagaimana kekuasaan simbolik digunakan tanpa memperhatikan sensitivitas sosial. 

Kasus ini mengundang refleksi lebih mendalam tentang politik representasi dalam konteks keagamaan dan peran publik. Mengacu pada teori Hanna Pitkin (1972) soal politik representasi ideal, tidak hanya bersifat simbolik dengan keberadaan nyata, tetapi juga harus diwujudkan dalam tindakan yang mencerminkan nilai-nilai dan kepentingan masyarakat yang diwakili. Dalam hal ini, Gus Miftah, sebagai figur publik sekaligus utusan presiden, semestinya menjadi teladan dalam menjunjung nilai-nilai kerukunan, empati, dan keadilan sosial. 

Ledekan ke pedagang di tengah pengajian justru telah mengaburkan makna representasi yang seharusnya diemban Gus Miftah. Hal ini menunjukkan bagaimana kekuasaan simbolik dapat berubah menjadi alat dominasi yang menciptakan jarak, alih-alih membangun jembatan antara pemimpin dengan masyarakat. Pada tataran yang lebih luas, peristiwa ini mencerminkan tantangan dalam memastikan tokoh, pemimpin agama dan pejabat publik tidak hanya merepresentasikan simbol, tetapi juga membawa dampak nyata yang sesuai dengan nilai-nilai yang diwakilinya. 

Kekuatan Media Sosial dalam Membentuk Representasi Figur Publik 

Tak dapat disangkal, kasus yang menimpa Gus Miftah menjadi perhatian publik akibat viralnya video ceramah di media sosial. Platform seperti Twitter (X), Instagram, dan TikTok telah memperlihatkan bagaimana media sosial dapat dengan cepat memengaruhi citra seorang tokoh publik. Dalam hitungan detik, potongan video tersebut tersebar luas dan mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Netizen, yang memiliki akses langsung untuk berpartisipasi dalam wacana publik, turut memberikan reaksi berupa kritik tajam. 

Reaksi yang timbul di media sosial mencerminkan bagaimana masyarakat kini tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga pembentuk opini. Viralnya video ceramah tersebut telah menunjukkan bagaimana sebuah tindakan atau pernyataan bisa dengan cepat dijadikan bahan perdebatan bahkan merusak reputasi tokoh publik. 

Kekuatan media sosial juga memperlihatkan bagaimana representasi seseorang tidak lagi sepenuhnya berada di tangan figur tersebut. Publik, melalui media sosial dapat mengontrol dan membentuk ulang citra tokoh publik, bahkan menilai dan mengkritik tindakan yang sebelumnya tidak mendapat sorotan sebesar ini. Fenomena ini mencerminkan perubahan dalam struktur kekuasaan representasi, di mana figur publik harus berhati-hati dalam bertindak, lantaran setiap tindakan mereka dapat dipengaruhi oleh dinamika opini publik yang terbentuk di dunia maya. 

Media sosial telah menjadi arena baru dalam politik representasi, di mana setiap tindakan figur publik harus dipertimbangkan dengan seksama. Reaksi netizen di media juga telah menjadi salah satu indikator dalam menilai seberapa besar pengaruh atau dampak dari tindakan seorang tokoh di masyarakat, termasuk apa yang diperbuat Gus Miftah. 

Atas viralnya video ceramah tersebut kemudian membuat Gus Miftah sebagai simbol pejabat publik untuk urusan kerukunan keagamaan, mengundurkan diri sebagai utusan khusus presiden dan telah terkonfirmasi oleh Sekretariat Kabinet Republik Indonesia (7 Desember 2024). Hal ini telah menunjukkan bagaimana figur publik dapat terjerat oleh kekuatan opini publik yang berkembang di media sosial. 

Peristiwa yang telah terjadi mengungkapkan kompleksitas politik representasi dalam konteks agama dan kekuasaan publik. Pengajian sebagai ruang untuk berbagi pengetahuan dan membangun solidaritas sosial telah menjadi arena yang lebih luas dalam kehidupan publik. Dalam hal ini, peran figur agama seperti Gus Miftah yang menjadi tokoh agama dan pejabat publik harus memerankan peran ganda yang tidak hanya bertanggung jawab terhadap nilai-nilai keagamaan, tetapi juga terhadap etika sosial dan politik yang lebih besar. 

Namun, ketika tindakan atau pernyataan seorang figur publik menyimpang dari norma sosial yang berlaku, seperti yang terjadi pada Gus Miftah, hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana representasi yang ditunjukkan mencerminkan aspirasi dan harapan masyarakat. Dalam situasi ini, Gus Miftah tidak hanya kehilangan legitimasi sebagai utusan kerukunan beragama, tetapi juga sebagai figur publik bahkan tokoh agama  yang semestinya menjadi teladan.

Kekuatan media sosial semakin memperjelas dampak dari kesalahan representasi ini. Di era digital, opini publik yang terbentuk, dapat dengan cepat mengubah citra seseorang bahkan dalam hitungan detik. Hal ini memperlihatkan bagaimana representasi publik saat ini tidak lagi hanya berada di tangan tokoh tersebut, tetapi juga dikendalikan oleh masyarakat melalui media sosial. Fenomena ini memaksa tokoh publik untuk lebih berhati-hati dalam bertindak, karena setiap langkah mereka dapat langsung mendapatkan sorotan.

Sebagai catatan akhir, peristiwa ini bukan hanya soal satu individu, tetapi juga tentang bagaimana representasi politik dan sosial dalam ranah keagamaan bisa berperan sebagai cermin bagi kualitas demokrasi dan etika publik di Indonesia. Dalam konteks ini, kasus Gus Miftah lagi-lagi menjadi contoh tentang bagaimana kekuasaan dan simbolisme dipertanyakan, bahkan dipertanggungjawabkan, oleh publik dalam struktur politik yang lebih besar di Indonesia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun