Mohon tunggu...
Farida Priatmaja
Farida Priatmaja Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Nulis, baca, traveling

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Cermin Retak" Kapitalisasi Pendidikan

15 Januari 2025   10:17 Diperbarui: 15 Januari 2025   10:17 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Cermin Retak" Kapitalisasi Pendidikan
Oleh: Nanik Farida Priatmaja, S. Pd
(Pegiat Literasi)

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi turun tangan terkait kasus siswa SD yang dihukum duduk di lantai karena telat bayar SPP di Medan.
Arifatul menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan pendampingan dan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk menyelesaikan permasalahan ini (15/1).

Terjadinya kasus bullying terhadap siswa SD akibat telat bayar SPP sangat disayangkan. Meski dengan dalih mendisiplinkan siswa dan walinya agak tak menunggak pembayaran SPP. Pasalnya pendidikan adalah hal setiap warga negara. Sayangnya dalam sistem kapitalisme, negara tak berperan banyak dalam mendukung atau menjamin pemenuhan kebutuhan setiap warga negara semisal pendidikan. Adapun bantuan pendidikan sejenis beasiswa berupa PIP dan sejenisnya terbukti tak mampu menjamin kebutuhan siswa karena kebutuhan sekolah siswa bukan sekedar pembayaran SPP namun juga alat tulis, buku, seragam, uang saku dan sebagainya.

Ketidakhadiran negara secara nyata dalam mengurus rakyat di dunia pendidikan sangat terlihat dari minimnya sarana pendidikan jum negeri ini. Misalnya banyaknya kondisi gedung sekolah yang tidak layak, fasilitas sekolah yang tidak lengkap, tidak meratanya jumlah sekolah, tidak meratanya jumlah guru, masih banyaknya guru honorer yang tidak mendapatkan gaji yang layak dan berbagai macam permasalahan lainnya.

Munculnya sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan swasta yang berorientasi materi atau mengejar keuntungan semata makin memperparah permasalahan pendidikan. Hal inilah yang dinamakan kapitalisasi pendidikan karena menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis. 

Tak heran bermunculan sekolah-sekolah swasta dengan gedung yang megah, fasilitas mewah, pengajar yang kompeten, dan sejumlah nilai plus serta biaya yang sangat mahal namun banyak pula peminatnya. Wajar, siapapun pasti menginginkan anaknya bisa mendapatkan pendidikan dengan fasilitas yang memadai dan nyaman. Yang pasti sekolah yang bonafit tak ada yang gratis alias berbiaya mahal. Sehingga bagi kalangan ekonomi bawah jelas tak akan pernah mampu menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut.

Terkadang tak sedikit masyarakat ekonomi bawah namun nekad ingin anaknya bersekolah di sekolah swasta yang berbiaya mahal dengan dalih demi mendapatkan pendidikan terbaik bagi anaknya. Hingga terjadilah penunggakan pembayaran SPP, uang gedung dan sebagainya meski pihak yayasan sudah membantu dengan memberikan keringanan ataupun beasiswa. Seperti munculnya kasus bullying siswa akibat penunggakan SPP.

Kasus bullying siswa karena penunggakan SPP jelas tidak akan pernah terjadi ketika pendidikan dengan fasilitas terbaik bisa diakses secara gratis oleh semua siswa. Tak ada perbedaan fasilitas sekolah negeri dan swasta atau yang tak berbayar dengan yang berbiaya mahal. Pasalnya pendidikan adalah kebutuhan pokok setiap individu yang dijamin oleh negara.

Islam menjamin kebutuhan pendidikan setiap individu. Negara dalam sistem Islam bertanggungjawab penuh dalam menyediakan layanan pendidikan baik sarana dan prasarana. Negara menyediakan pendidikan gratis dengan fasilitas terbaik untuk seluruh warga negara, baik untuk siswa kaya maupun miskin, baik cerdas atau tidak tanpa pandang bulu.

Sepanjang sejarah negara dengan sistem Islam terbukti mampu mewujudkan pendidikan berkualitas dengan output yang berkualitas pula karena memiliki sumber dana yang banyak dan jelas. Dana untuk menjamin pendidikan (pengadaan gedung sekolah, fasilitas, gaji guru dan sebagainya) diambilkan dari pos kepemilikan umum. Dana tersebut digunakan untuk membiayai semua sarana dan prasarana pendidikan. Dengan demikian dalam sistem pendidikan Islam tidak akan ada "cermin retak" kapitalisasi pendidikan seperti yang terjadi saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun