Mohon tunggu...
Anis Farida
Anis Farida Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, aktivis

Menebar kebaikan untuk kebahagiaan semua makhluk

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perpanjangan PPKM Darurat: Hukum sebagai Pengendali Gas dan Rem Laju Covid-19

3 Agustus 2021   15:33 Diperbarui: 3 Agustus 2021   15:34 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus kedua, saat saya hari Senin, 2 Agustus 2021 sedang membeli kurma untuk dikirimkan via jasa paket kepada saudara di luar kota yang sedang isoman. Saya membeli kurma di  toko langganan yang terletak di kawasan wisata religius kota Surabaya. Penjaga toko yang melayani saya, dengan ekspresi bahagia dan lega menyatakan, “ Senang sekali akhirnya PPKM berakhir, semua orang bisa bebas kerja lagi”. Saya  kaget dan spontan berujar “ Tapi saat ini makin banyak yang positif dan bahkan meninggal, jadi meskipun PPKM berakhir tetap jaga Prokes mbak, agar semua selamat dan sehat”.

Si mbak penjaga tidak merespon secara verbal mendengar keseriusan dalam nada bicara saya. Sepanjang perjalanan dari toko  menuju rumah, situasi jalan ramai seakan bukan masa PPKM. Sambil mengedarkan pandangan mengamati perilaku masyarakat. Dalam hati saya memahami bahwa setiap orang memang berhak untuk bekerja demi pemenuhan kebutuhan dasarnya. Namun dalam pemenuhan hak tersebut seyognyanya dengan tetap menghormati hak orang lain dengan cara melaksanakan kewajiban yaitu taati prokes dengan penuh kesadaran agar terhindar dari covid19.

Kasus ketiga , kegamangan masyarakat meyikapi masalah pemenuhan kebutuhan perut tergambar pada kisah ibu penjual bubur madura yang setiap hari melintasi jembatan suramadu, berangkat pagi buta sebelum shubuh menuju Surabaya untuk berjualan. Kegiatan berdagangnya sempat terhenti ketika dilakukan penyekatan awal Juni lalu. Sekitar dua minggu tidak bisa berjualan, merupakan beban berat, bagi dirinya sebagai pencari nafkah utama keluarga. Baginya penyekatan saat itu merupakan penutup baginya untuk mendapatkan penghasilan, “ Ga jualan, bagaimana bisa makan? Anakku dua mondok di pesantren, butuh biaya”, tutur Ibu Penjual Bubur Madura.

Kasus kedua dan ketiga menunjukkan betapa pemenuhan kebutuhan mendasar yaitu pangan dan pembiayaan pendidikan anak merupakan hal penting yang tidak dapat diabaikan, di mana cara untuk memenuhinya hanya dapat dilakukan dengan bekerja, melakukan aktivitas ekonomi. Pembatasan mobilitas Ibu Penjual Bubur Maduraa menjadi persoalan tersendiri, karena penghasilannya diperoleh dengan cara berjualan bubur ke Surabaya, sementara ia bertempat tinggal di sebuah desa di Bangkalan, Madura, yang dapat ditempuh dalam waktu sekitar 30-40 menit berkendara sepeda motor melintasi jembatan Suramadu.

Situasi dan kondisi masyarakat yang masih belum sepenuhnya aman dari ancaman Covid19, mendorong Pemerintah untuk memberlakukan  fase perpanjangan PPKM Level 4 yang diberlakukan tanggal 3 – 9 Agustus 2021. Dalam fase tersebut Pemerintah akan menegakkan 3 pilar, yaitu  pertama percepatan vaksinasi di wilayah yang menjadi pusat kegiatan mobilitas dan ekonomi masyarakat; Kedua penerapan 3 M secara masif; Ketiga, pelaksanaan 3T (tes, tracing, dan treatment). Presiden menegaskan bahwa penerapan PPKM level 4 peride 26 Juli sampai dengan 2 Agustus telah mebawa perbaikan di skala nasional dibandingkan sebelumnya (covid19.go.id), meskipun di Jawa Timur angkanya justru berlipat selama sebulan PPKM.

Harapan Pemerintah dengan memberlakukan perpanjangan PPKM level 4 periode 3 Agustus-9 Agustus, agar kondisi masyarakat semakin membaik. Untuk mengurangi beban masyarakat akibat pembatasan mobilitas dan aktivitas sosial ekonomi, pemerintah mendorong percepatan dalam penyaluran bantuan sosial untuk masyarakat, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Sosial Tunai (BST), Bantuan Langsung Tunai (BLT), bantuan untuk usaha mikro kecil, PKL dan warung, pemotongan tarif harga listrik (covid19.go.id). Berbagai bantuan yang diluncurkan pemerintah, harapannya bisa tepat sasaran, karena pada situasi krisis kesehatan dan krisis ekonomi, pemerintah mempunyai tanggung jawab besar untuk memberikan rasa optimis masyarakat, bahwa negara selalu hadir memberikan perlindungan kepada segenap rakyatnya.

Kelancaran mobilitas dan aktivitas sosial ekonomi dapat diibaratkan gas yang mampu menggerakkan kendaraan dan mengantarkan pengendaranya sampai pada tujuan, namun ketika situasi tidak memungkinkan beraktivitas dan mobilitas dengan leluasa, demi kesehatan warga masyarakat, berarti sedang melakukan pengereman demi keselamatan dan kemaslahatan.

Pasal 4 UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan menegaskan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat. Bahkan dalam pasal 6 UU tsb pemerintah juga bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan. Namun jelas pula ditegaskan dalam pasal 9 bahwa setiap orang wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Peran pemerintah juga ditegaskan dalam UU No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Selanjutnya diamanatkan melalui UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, salah satu tujuannya adalah membangun partisipasi dan kemitraan publik  serta swasta; serta yang terutama mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan di antara warga masyarakat. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintan No 21 Tahun 2020 yang diberlakukan di awal pandemi bersumber pada pada ketentuan pasal 60 UU No 6 Tahun 2018. Merujuk pada ketentuan pasal-pasal tersebut, sinergitas antara pemerintah bersama masyarakat dalam upaya mengatasi laju persebaran covid19 menjadi tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa.

Inpres No 6/2020 ttg peningkatan disiplin dan penegakan hukum protokol kesehatan dalam pencegahan dan pengendalian covid-19. Hal ini dimaksudkan menjamin kepastian hukum adalah hal utama bagi kesejahteraan masyarakat, maka Presiden sebagai Kepala Negara dan pemerintahan meningkatkan efektivitas dan pengendalian covid-19 di seluruh provinsi, kab/kota di Indonesia. Beragam produk peraturan perundangan dilahirkan untuk mengatasi laju persebaran covid-19. Mengapa perlu instrumen hukum tertulis untuk mengatur perilaku masyarakat agar mentaati prokes?

 Karena dalam tahap pemikiran kaum positivis hukum dilihat sebagai kompleks preskripsi positif yang sama dan sebangun dengan deskripsi sosialnya yang empiris. Ketika sudah ada peraturan yang melarang adanya kerumunan atau keramaian misalnya, maka bagi para pelanggarnya akan dikenakan sanksi. Manakala terjadi ketidaksesuaian dengan gambaran preskriptif maka yang deskriptif (yang senyatanya terjadi di masyarakat) yang harus dikoreksi dengan berbagai kebijakan, kalau perlu dengan paksaan (Wignjosoebroto, 2002 :19). Alhasil banyak pemberitaan tentang pembubaran acara hajatan, misal pesta perkawinan yang kemudian dihentikan secara paksa oleh petugas karena dianggap telah melanggar peraturan yang ada.

Banyaknya produk peraturan hukum ataupun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam upaya mengatasi laju persebaran Covid-19 bisa jadi membingungkan masyarakat. Tindakan represif yang tidak humanis dalam alam demokrasi seringkali akan melahirkan penolakan; berbeda dengan sistem pemerintahan yang otoriter, pemaksaan ataupun tindakan koersi adalah keniscayaan yang harus dilaksanakan. Dalam situasi demikian, ketaatan untuk mematuhi protokol kesehatan dengan kesadaran tentunya sangat diharapkan, agar tidak perlu dilakukan tindakan represif, karena semua pihak secara sukarela melaksanakan demi keselamatan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun