Cuti bersama mulai Rabu 28 Oktober sampai dengan Jumat 30 Oktober 2020, plus bonus hari Sabtu dan  Minggu, sehingga jumlah keseluruhan hari libur sebanyak lima hari. Tentu sungguh menyenangkan untuk mengisinya dengan kegiatan berlibur bersama keluarga ataupun dengan sahabat serta kerabat.Â
Namun bonus cuti bersama di saat pandemi covid-19 masih belum usai, pastinya menimbulkan rasa was-was untuk  mengisinya dengan kegiatan wisata ataupun  mengunjungi keluarga di luar kota. Himbauan untuk tetap di rumah saat cuti bersama terus disuarakan, harapannya agar tidak bermunculan kluster baru.Â
Situasi masih belum aman, sehingga kewaspadaan dan disiplin menjadi keharusan manakala kita hendak memanfaatkan waktu cuti bersama dengan liburan di luar rumah, atau luar kota. Data yang dirilis oleh covid19.go.id per 29 Oktober 2020, kasus yang terkonfirmasi positif Indonesia, total mencapai 404.048; sembuh sebanyak 329.778 sedangkan yang meninggal sebanyak 13.701.Â
Kondisi pandemic covid-19 ternyata tidak menjadi penghalang bagi sebagian besar warga masyarakat untuk tetap berlibur, berbagai daerah yang merupakan destinasi utama wisata telah dipadati pengunjung, misal Bogor, Garut, Jogja. Beberapa teman update status di media sosial, tentang kondisi kemacetan di berbagai ruas jalan menuju tempat wisata.Â
Liburan memang hampir selalu dinantikan oleh siapapun, baik oleh pekerja profesional, pelajar, mahasiswa, atau mereka yang terikat dengan rutinitas kegiatan. Alhasil cuti bersama kali ini sangat diharapkan dan dinantikan oleh  warga masyarakat untuk berlibur. Jangankan yang lima hari seperti sekarang, setiap  akhir pekan, atau tanggal merah, juga selalu dinantikan untuk diisi dengan liburan.Â
Apalagi momen cuti bersama kali ini ibarat saat "berbuka", setelah sekian lama "puasa" liburan bagi sebagian besar orang. Kasus Coronavirus Disease (COVID-19) di Indonesia pertama kali dikonfirmasi secara resmi oleh pemerintah pada tanggal 2 Maret 2020, sebanyak dua kasus.Â
Sebelumnya pada tanggal 30 Januari 2020 Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan COVID-19 sebagai Public Health Emergency of International Concern (Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia). Selanjutnya pada tanggal 11 Maret 2020, WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi, karena persebarannya terus meluas dan menimbulkan banyak korban jiwa.Â
Tujuh bulan sejak penetapan masa pandemic covid-19 oleh WHO di awal Maret 2020 tersebut, Â selanjutnya diikuti oleh berbagai negara di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia. Penetapan status pandemi telah menjadi rem darurat untuk melakukan berbagai kegiatan.Â
COVID-19 adalah penyakit jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia, virus penyebab COVID-19 ini dinamakan Sars-CoV-2. Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala  demam, batuk dan sesak napas, dengan masa inkubasi rata-rata 5-6 hari, dan terpanjang 14 hari.Â
Pada kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian.[1] Menyikapi perkembangan kondisi di China, pemerintah  dalam hal ini BNPB sejak tanggal 28 Januari 2020 telah mengantisipasi dengan mengeluarkan SK No 9 A Tahun 2020 tentang penetapan status keadaan tertentu darurat bencana wabah penyakit akibat virus corona berlaku hingga 28 Februari 2020.Â
Selanjutnya status tersebut diperpanjang hingga 29 Mei 2020 melalui SK No 13 A Tahun 2020. Status  keadaan  darurat  bencana  beradasarkan pasal 1 ayat (19) adalah  suatu  keadaan  yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk  jangka  waktu  tertentu atas dasar rekomendasi Badan yang diberi tugas  untuk menanggulangi bencana.Â
Peningkatan jumlah kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19 mendorong Presiden  mengeluarkan Keppres No 9 Tahun 2020 tentang perubahan atas Keppres No 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, tertanggal 20 Maret 2020.  Â
Penanganan terhadap wabah Covid-19 sebagai sebuah kondisi darurat bencana, yang merupakan bencana non alam sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (3) UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian  peristiwa  nonalam  yang  antara  lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Untuk menahan laju peningkatan jumlah kasus Menteri Kesehatan mengeluarkan SE No. HK. 02.01/Menkes/202/2020 tentang protokol isolasi diri sendiri dalam penanganan Covid-19.Â
Berbagai himbauan yang dikeluarkan oleh BNPB, mulai social distancing, physical distancing, kewajiban memakai masker bagi yang tidak sehat, dan berbagai SE yang dikeluarkan oleh kementerian maupun instansi pemerintahan yang menyerukan untuk bekerja, belajar, beribadah ataupun beraktivitas lainnya dari rumah, yang secara umum  telah disuarakan mulai pertengahan Maret 2020.Â
Namun semua upaya tersebut dirasakan belum cukup memenuhi harapan masyarakat yang dilanda kepanikan dan kekhawatiran terhadap serangan wabah covid-19.Â
Alhasil muncul berbagai inisiatif yang bersifat lokal untuk mengamankan wilayahnya masing-masing. Ada berbagai kampung yang menggunakan istilah lockdown sebagaimana dilakukan di Wuhan, China, Â yaitu kota pertama yang terdampak Covid-19. Sebagian lain, misalnya Tegal menggunakan karantina wilayah, dan berbagai istilah senada yang pada prinsipnya mengamankan wilayah masing-masing dengan melakukan pembatasan mobilitas warga luar lingkungan wilayahnya. Â
Kondisi demikian tentunya menimbulkan berbagai problem baru, khususnya terkait pemenuhan kebutuhan hidup bagi warga masyarakat yang basis mata pencahariannya harian dan informal.Â
Tuntutan untuk tetap beraktivitas agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari memang tidak terhindarkan kecuali pemerintah bersedia menyediakan dan mencukupi kebutuhan warganya sebagaimana diatur dalam UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam UU No 6 Tahun 2018 diatur berbagai model karantina dengan segala konsekuensinya. Menghadapi situasi yang simalakama tersebut, pilihan pemerintah adalah penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Peraturan tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) demi memutus ataupun mengurangi persebaran virus Covid-19 Â yang diikuti kebijakan work from home (WfH), school from home (SfH) telah melumpuhkan sendi-sendi perekonomian, termasuk dunia pariwisata ikut terpuruk. Upaya menggerakkan roda perekonomian dimulai dengan dikenalkannya konsep adaptasi kebiasaan baru, di bulan Juni 2020.Â
Masyarakat diharapkan kembali produktif namun dengan menerapkan pola kerja ataupun tata perilaku yang berbeda dari sebelumnya, agar terhindar dari penularan virus covid-19. Menggunakan masker, menjaga jarak fisik 1-2 meter, rajin cuci tangan dengan air mengalir, menghindari kerumunan, istirahat cukup, makan makanan yang bergizi serta rajin olahraga.Â
Adaptasi kebiasaan baru diharapkan mampu menggerakan  produktivitas berbagai sektor, namun juga tetap terjaga kesehatan warga masyarakat. Beberapa waktu lalu, saya  melakukan perjalanan luar kota dengan menggunakan moda transportasi udara. Salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum penerbangan, adalah melakukan rapid tes.Â
Klinik tempat melakukan rapid tes selanjutnya mengeluarkan dua lembar kertas, satu lembar hasil rapid tes, lembar berikutnya surat keterangan sehat dan layak untuk melakukan perjalanan penerbangan. Memasuki area bandara, langsung berhadapan dengan petugas yang memverifikasi Surat Keterangan Rapid Tes, jika dinyatakan layak maka mendapatkan stempel di surat tersebut.Â
Pada saat verifikasi, petugas mengingatkan agar mendownload electronic Health Alert Card (eHAC) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan.Â
Dalam eHAC ini penumpang mengisikan data pribadi, email, telepon, alamat asal dan tujuan, nomor penerbangan, serta nomor tempat duduk. Dengan mengisi secara elektronik, maka memudahkan penumpang saat tiba di bandara tujuan. Jika tidak bisa mengisi secara online, masih ada kesempatan untuk mengisi formulir kedatangan di bandara tujuan.Â
Setelah selesai verifikasi tahap pertama di petugas terdepan, selanjutnya  Surat keterangan yang telah distempel ditunjukkan pada petugas check in, dan diperiksa lagi saat memasuki waiting room. Pernah saat boarding, penumpang tidak bisa diatur sehingga berdesakan tidak berjarak.Â
Imbauan petugas diabaikan, setelah beberapa kali himbauan, dan diturunkannya petugas dari unsur TNI, barulah penumpang bisa berbaris teratur. Kondisi demikian tentunya mengkwatirkan, karena rapid tes bukan alat tes spesifik  untuk mendeteksi covid-19, sehingga hasil non reaktif bukan berarti negatif covid-19.Â
Kecemasan masih berlanjut, karena tiap maskapai  mempunyai kebijakan yang berbeda terkait pengaturan tempat duduk, ada yang menerapkan seat distancing, yaitu tiap penumpang, kursi sebelahnya dikosongkan. Jadi dalam satu deret yang terdiri dari enam kursi, hanya diisi oleh empat penumpang.Â
Namun ada pula maskapai yang tidak menerapkan seat distancing, sehingga duduknya pun bersebelahan langsung dengan penumpang lainnya. Penggunaan masker diwajibkan, face shield juga dibagikan, tapi tidak semua penumpang  memakai face shield yang telah dibagikan.Â
Semoga di saat liburan panjang ini, para penumpang pesawat yang akan berlibur lebih disiplin dan bersabar dengan segala prosedur dan protokol kesehatan demi meminimalisir persebaran covid-19. Harapannya warga masyarakat bahagia mengisi cuti bersama dengan kegiatan liburan. Â
Liburan dengan tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan, merupakan bentuk adaptasi kebiasaan baru. Berusaha tetap menjaga jarak saat menikmati obyek wisata, rela tetap bermasker saat mengabadikan momen indah berfoto bersama , dan rajin mencuci tangan atau menyemprot hand sanitizer setelah menyentuh benda ataupun fasilitas umum. Sebagai sebuah kebiasaan baru, pemenuhan protokol kesehatan tentu tidak mudah, apalagi jika wisatawan lain tidak disiplin. Selamat berlibur, semoga sehat dan bahagia bersama keluarga tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H