Pengesahan RUU Cipta Kerja pada hari Senin 5 Oktober 2020 masih terus menuai aksi penolakan yang berlangsung di berbagai tempat dan dilakukan oleh beragam elemen masyarakat. Buruh, mahasiswa bahkan pelajar turun ke jalan untuk melakukan serangkaian aksi.
Jumlah aksi massa di sejumlah daerah angkanya bisa mencapai ribuan orang, terutama aksi di kota-kota besar yang memiliki banyak kampus dan sekolah.[1] Keterlibatan mahasiswa dan pelajar dalam serangkaian aksi demonstrasi di tengah situasi pandemic covid19, menjadi hal yang paradoks.
Di satu sisi merupakan hal yang positif, karena menunjukkan kepedulian terhadap nasib rakyat, terlepas dari polemik isi UU Cipta Kerja yang disuarakan. Namun di sisi lain, mahasiswa dan pelajar sejak penetapan status pandemi berkewajiban melakukan pembelajaran secara daring.Â
Dengan latar situasi demikian, idealnya mereka berada di rumah masing-masing, dan tidak melakukan perjumpaan fisik secara langsung. Bahkan sebagian besar mahasiswa saat ini  pulang kampung ke daerah asal. Â
Namun kenyataannya, ancaman persebaran virus covid19 maupun keharusan memenuhi protokol kesehatan tidak menyurutkan langkah berbagai elemen masyarakat. Suka atau tidak, patut dipertanyakan mengapa sedemikian hebatnya magnet yang menarik mereka hingga turun ke jalan.
Menarik untuk dicermati, poin-poin penting yang diusung oleh komponen masyarakat penolak. UU Cipta Kerja ini pada awalnya merupakan satu paket dari empat omnibus law yang diusulkan pemerintah pada DPR, yaitu tentang perpajakan, ibu kota baru, dan kefarmasian.
Tulisan ini tidak hendak membahas mengenai substansi penolakan terhadap UU Cipta Kerja yang diusung oleh mereka yang turun ke jalan, akan tetapi lebih pada bentuk aksi kolektif yang dilakukan masyarakat.
Apakah aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah gerakan sosial. Karena tidak semua aksi protes yang mengerahkan sejumlah besar massa dapat disebut sebagai gerakan sosial.
Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, agar aksi kolektif dapat disebut sebagai sebuah gerakan sosial. Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, mari sedikit menelusuri jejak gerakan sosial yang pernah terjadi.
Sejak era tahun 1960-an hingga sekarang, berbagai macam collective behavior seperti gerakan sosial dan aksi protes mengalami fluktuasi yang cukup besar[2].
Fluktuasi intensitas mobilisasi gerakan selama periode tersebut berupa peningkatan derajat radikalisme dan kapasitas mempengaruhi proses politik. Pada saat itu muncul perkiraan, bahwa gencarnya gerakan sosial yang dilakukan oleh berbagai komponen masyarakat hanya bersifat sesaat dan akan segera berkurang bahkan berakhir.
Namun perkiraan tersebut tidak benar, terbukti dalam cara-cara yang berbeda, dan dengan berbagai tujuan dan nilai-nilai, berbagai bentuk protes terus bermunculan secara silih berganti hingga saat ini.
Data sejarah menunjukkan berbagai kisah perlawanan politik dan gerakan-gerakan penentangan terhadap pemegang kekuasaan ditujukan kepada penguasa yang dianggap otoriter dan represif di seluruh penjuru dunia[3].Â
Porta dan Diani menyatakan bahwa gerakan pada tahun 1968 bangkit sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dari partisipasi sosial dan politik[4]. Berdasarkan fakta yang ada, mobilisasi yang paling luas sejak tahun 1930-an dan bahkan sebelumnya, bersifat antidemokrasi.Â
Perkembangan selanjutnya menunjukkan adanya pergeseran bahwa aktor yang terlibat konflik mulai bervariasi, yaitu pemuda, perempuan, kelompok profesional dan sebagainya, yang merupakan komponen utama dari gerakan sosial yang biasa dijumpai pada masyarakat industri.Â
Bahkan kurang tepat apabila melihat para aktor dalam konflik kelas semata, di mana dulunya merupakan komponen utama dari berbagai konflik yang terjadi.
Para ahli menurut Suharko umumnya bersepakat bahwa dalam beberapa dekade terakhir, variasi, frekuensi dan intensitas gerakan dan perlawanan politik semakin bertambah dan kompleks[5]. Hal ini antara lain tampak dari munculnya fenomena gerakan sosial di berbagai tempat di dunia.
Gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat merupakan salah satu gerakan sosial yang terkenal di abad ke-20. Kemudian gerakan-gerakan perdamaian, lingkungan, dan feminis, serta perlawanan terhadap otoritarianisme baik di Eropa maupun di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, telah menggiring massa ke jalan-jalan untuk menuntut perubahan[6]. Â
Satu hal yang perlu dipahami bahwa gerakan sosial dan basis sosial pendukungnya (faktor dan penyebab lahirnya suatu gerakan) bukanlah suatu fenomena yang baru-baru ini saja terjadi di dunia modern[7].
Sebagaimana keberadaan otonom dari realitas masyarakat, gerakan sosial juga mempunyai eksistensi independen. Masyarakat maupun gerakan sosial, merupakan konstruksi, dan keberadaan keduanya saling melengkapi. Jika masyarakat merupakan entitas sosial kolektif, hal itu disebabkan karena keberadaan masyarakat selalu ditandai dengan adanya aksi sosial kolektif.
Tanpa adanya aksi, konsepsi masyarakat akan lenyap. Maraknya gerakan sosial yang terjadi di berbagai belahan dunia sebenarnya merupakan respon masyarakat terhadap kondisi sosial yang dihadapinya.
Pada masyarakat dunia ketiga misalnya adanya fakta ketimpangan, kemiskinan, kesenjangan, dan diskriminasi yang banyak diderita oleh sebagian besar anggota masyarakat oleh Scott (2006) dinyatakan telah melumpuhkan otonomi dan kedaulatan masyarakat[8]. Latar semacam inilah yang melahirkan gerakan sosial dan berusaha melakukan kritik terhadap kekuatan tunggal negara dan menyuarakan gagasan yang populer disebut civil society.[9]
Berdasarkan hal tersebut harus disadari bahwa status "akhir" dan "baru" dari gerakan sosial, bukanlah hanya didasarkan pada meluasnya fenomena gerakan sosial dan kristalisasi dari kekuatan sosial yang diungkapkan melalui gerakan tersebut.
Menurut Singh imanensi gerakan sosial dan kondisi sosial dasar yang melatarbelakanginya merupakan perluasan secara ekspresif, yang cenderung terletak jauh di dalam dan saling terkait[10]. Gerakan sosial yang dilakukan untuk terjadinya perubahan ataupun untuk menghambat perubahan, senantiasa dilatarbelakangi oleh kondisi tertentu.Â
Berdasarkan definisi yang ditemukan dalam beberapa kamus sosiologi dan pendapat beberapa ahli, dapat ditarik unsur-unsur yang ada dalam suatu gerakan sosial, pertama adanya upaya bersama atau gerakan kolektif dari sejumlah orang; kedua, pengorganisasian yang bersifat longgar; ketiga, untuk melakukan atau menolak perubahan dalam masyarakat.
Ketiga unsur tersebut, selalu ditemukan dalam batasan gerakan sosial yang dikemukakan oleh para ahli yang mempelajari gerakan sosial. Keberadaan unsur-unsur tersebut dapat dilihat dari  definisi gerakan sosial yang telah banyak dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya :
Keberadaan unsur-unsur tersebut dapat dilihat dari  definisi gerakan sosial yang telah banyak dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya :
Baldridge, J. Victor, mendefinisikan gerakan sosial adalah suatu bentuk perilaku kolektif di mana sekelompok orang yang berdedikasi mengatur untuk mempromosikan atau menolak perubahan. Gerakan ini memiliki kejelasan tujuan, struktur organisasi yang jelas, dan perubahan yang berorientasi ideologi.
Gerakan secara sadar dan sengaja yang berkienginan mempromosikan kebijakan tersebut, biasanya dilakukan melalui kegiatan politik atau pendidikan[11].
Turner dan Killian mendefinisikan gerakan sosial sebagai suatu kolektivitas yang melakukan kegiatan dengan kadar kesinambungan tertentu untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektifitas itu sendiri[12].
Sidney Tarrow, merumuskan gerakan sosial sebagai tantangan-tantangan kolektif oleh orang-orang yang mempunyai tujuan sama dan solidaritas, dengan terus berinteraksi secara berkesinambungan  dengan elit, lawan dan penguasa.[14];Â
Charles Tilly, mendefinisikan gerakan sosial sebagai serangkaian interaksi antara pemegang kekuasaan berhadapan dengan orang-orang dalam perdebatan, dan kampanye yang dilakukan orang biasa untuk membuat tuntutan kolektif agar terjadi perubahan dalam distribusi kekuasaan. Bagi orang biasa gerakan sosial merupakan kendaraan untuk dapat berpartisipasi di kehidupan politik.[15].
Heberle, mendefinisikan gerakan sosial sebagai suatu gerakan bersama, suatu kekacauan di antara manusia, suatu kegelisahan, suatu usaha bersama untuk mencapai tujuan yang divisualisasikan, khususnya suatu perubahan dalam lembaga sosial tertentu.[16].
Alain Touraine, mendefinisikannya dalam suatu skema I-O-T. (I=Identitas; O=Oposan-T=Totalitas Kebudayaan). Sebagaimana Tarrow, keduanya menekankan konflik, yaitu pendefinisian lawan secara jelas yaitu pemegang kekuasaan, pemilik alat produksi dan kebudayaan dominan atau kekuatan hegemonik[17]; Â
Mario Diani dan I Bison, mengartikan gerakan sosial sebagai sebentuk aksi kolektif dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politik tertentu, dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh aktor-aktor yang diikat rasa solidaritas dan identitas kolektif yang kuat melebihi bentuk-bentuk ikatan dalam koalisi dan kampanye bersama.[18].
DougMcAdam melihat gerakan sosial muncul karena ada ketidakpuasan dan kekecewaan sosial yang menyimpulkan tindakan kolektif. Gerakan sosial dipengaruhi oleh adanya peluang politik, struktur mobilisasi dan bingkai kultural.[19];Â
Donatella Della Porta dan Mario Diani mendefinisikan gerakan sosial sebagai "rational organizations capable of gathering resources from their surrounding environment and allocating them with the aim of bringing about political transformation[21]" (organisasi rasional yang mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan sumber daya dari lingkungan sekitarnya dan mengalokasikannya dengan tujuan membawa transformasi politik).
Definisi yang dikemukakan Porta & Diani tersebut cukup luas cakupannya, setidaknya ketika suatu gerakan mempunyai unsur-unsur 1) organisasi rasional; 2) kapabilitas untuk mengumpulkan sumber daya di lingkungannya; 3) alokasi sumber daya yang ada untuk menimbulkan transformasi politik.
Organisasi rasional sebagai unsur pertama yang harus dipenuhi, masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Tanpa ada kriteria yang spesifik tentang organisasi rasional akan berakibat pada lemahnya identifikasi tentang organisasi rasional yang dimaksud;Â
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gerakan sosial mempunyai ruang lingkup wilayah yang luas, melibatkan orang-orang dalam suatu kegiatan yang tidak terorganisir secara ketat, dan berada di luar jalur kekuasaan formal untuk mempromosikan atau pun menentang suatu perubahan di masyarakat.
Gerakan sosial ini pada perkembangannya juga tidak hanya terbatas pada basis ideologi tapi meluas dan didasarkan pada identitas, sebagaimana ditunjukkan dengan maraknya hastag tertentu di media sosial, ataupun simbol-simbol yang diusung sebagai penanda identitas.Â
Berdasarkan serangkaian pendapat ahli tersebut, maka aksi penolakan yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat terhadap UU Cipta lapangan kerja yang terjadi saat ini, dapat dikategorikan sebagai sebuah gerakan sosial, karena tiga unsur yang dipersyaratkan sebagai sebuah gerakan sosial telah terpenuhi. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H