Mohon tunggu...
Farida Nurro
Farida Nurro Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Psychology Learner // Life Adventurer // Honesty Lover // Happiness Seeker

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Putus Cinta Itu Nggak Sakit

26 September 2013   09:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:23 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1380168589595261388

Baca judulnya,, Anda mungkin berfikir bahwa penulis nggak pernah putus cinta atau bahkan mungkin nggak pernah jatuh cinta?? Enggak kok, saya menjalani tahap perkembangan saya dengan sangat normalnya, pernah menjadi ABG, puber, pacaran dan alhamdulillah sekarang sudah bekerja dan semoga ini artinya sudah dalam tahap kedewasaan :) Jatuh cinta? pernah, beberapa kali. Pacaran? Pernah juga, sekali (jujur banget ya :D). Kalo dibilang pernah, artinya sudah terlewati dan pastinya sudah mengalami yang namanya putus cinta. Kok nggak sakit? Banyak yang bilang saat putus serasa langit runtuh saja, kenapa saya bilang nggak sakit? Ya karena putusnya emang nggak sakit. Sakitnya itu kalo udah putus, kita masih cinta aja sama yang udah nggak bisa dimiliki. Bener nggak? Itu sih yang saya alami. Kalo sebelum putus saja kita sudah lama kehilangan rasa sama pacar, putus mah hayuuk aja, seneng malah. Tapi kalo putus karena sesuatu di luar keinginan dan kendali kita, sakitnya luar binasa :D. Ini berdasarkan pengalaman pribadi sih. Butuh waktu yang cukup lama untuk menyadari bahwa sakit itu nggak akan pernah hilang selama kita mau merasakannya. Tanpa kita sadari, ketika kita terus merasa sakit akibat putus cinta, itu karena alam bawah sadar kita yang terlampau "menikmati" rasa sakit itu. Ada semacam penolakan (denial) terhadap kenyataan, belum bisa menerima keputusan tersebut dan tidak siap menyesuaikan diri dengan kondisi setelahnya. Tapi, sebenarnya mau sampai kapan sakit hati karena putus cinta? Sampai kapan kita membuang waktu untuk meratapi itu semua. Tak akan pernah selesai selama kita "mau" merasa sakit. Nggak munafik, saya pun mengalami itu. Marah nggak karuan, nangis di kamar, curhat kesana kesini dan tetap saja tidak menemukan solusi kenapa masih saja terus bersedih. Ada fase dimana saya bisa mendadak tenang dan melupakan, tapi di lain waktu ketika satu titik memori tentang mantan kekasih melewati pikiran, semua kembali seperti semula. kembali ke dalam suasana berkabung. Sebenarnya malu juga, bergelar akademik psikologi tetapi mengatasi masalah putus cinta saja begitu sulitnya. Saya sendiri kalo sekarang mengingat "masa duka" itu cuma bisa bilang begitu lebay-nya diriku. Tapi, dokter nggak bisa operasi jantungnya sendiri. Sama seperti ku yang tetap butuh orang kedua untuk konseling alias curhat. Sekedar teori sudah numpuk di otak tapi kalo sudah prakteknya apalagi dialami sendiri, yang paling sering diucapkan adalah "kamu nggak ngerti, kamu nggak ngalamin itu, sakit tau" bla bla bla. Dan teman hanya bisa geleng kepala, dan mungkin dalam hatinya berkata "Lha kalo semua harus kualami, apa ya aku harus jadi pasien RSJ juga". Kebetulan teman yang saya curhatin adalah calon psikolog yang sedang menempuh gelar profesi psikolog di UGM. Singkat padat jelas, ucapan teman saya waktu itu setelah 2 jam mendengar curhatan saya. "Dia (sang mantan) itu ibarat serigala Da, kalo kamu mau mengubahnya jadi domba, kamu harus jadi Tuhan" Tercenung saya mendengar kalimat itu dari teman. Saya mengeluh padanya bahwa saya menyesali kenapa akhirnya kami harus putus, setelah beberapa tahun bersama, setelah banyak yang kami lewati. Setelah semua usaha yang saya lakukan untuk membuatnya lebih baik. Jujur memang banyak perubahan yang saya inginkan dari mantan saya itu. Karena memang terlalu banyak perbedaan. Semua saya lakukan untuk kebaikan dia. Tetapi sepertinya, dia tidak siap dengan semua itu. Benar apa yang dikatakan teman saya, saya hanya mengenalnya selama beberapa tahun, nggak bisa semudah itu untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang yang sebelumnya sudah hidup dengan karakter kepribadiannya selama 20 tahun lebih sebelum bertemu saya. Sebenarnya pun berulang kali teman-teman dekat saya mengingatkan saya, tapi entah karena ego atau benar-benar jatuh cinta, saya seringkali mengabaikan mereka. Hingga pada akhirnya saya putus, mereka semua serempak berucap "Alhamdulillah", best decision mereka bilang. Dengan reaksi teman-teman yang begitu kompak, saya semakin tidak punya alasan untuk meratapi putus cinta yang saya alami.  It's time to move on. Galau terus kapan senyumnya. Saat hati sudah begitu dikuasai emosi, jernihkan pikiran anda. Jika memang butuh seseorang untuk berdiskusi, cari teman terdekat Anda. Dan, jangan galau terlalu lama. Sakit itu kita yang mau, kalo nggak mau sakit, ya jangan mikir sakitnya. Salam Cinta #catatan pagi yang muncul setelah baca status teman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun