Mohon tunggu...
Farida Eka Putri
Farida Eka Putri Mohon Tunggu... Psikolog - Cerita dari ruang praktik psikolog klinis.

Clinical Psychologist, Graphologist, and Learners. Menulis saja dulu, suatu saat pasti berguna. Email: faridaekap@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Mendidik Anak Agar Terhindar Menjadi Korban Bullying di Sekolah

1 November 2024   14:31 Diperbarui: 1 November 2024   14:59 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Saya membayangkan jika anak saya tidak mau masuk sekolah selama tiga hari tanpa alasan yang jelas pasti saya sudah merasa was-was dan tidak tenang untuk berangkat kerja ke kantor. Saya akan memilih izin bekerja lalu pergi mendatangi sekolah anak saya. Di sana saya akan bertanya kepada guru, serta mengamati kondisi kelas tempat di mana anak saya belajar. Apakah ada tanda-tanda yang menyebabkan anak saya kurang termotivasi atau kurang nyaman untuk berangkat ke sekolah.

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana stres yang dirasakan dari seorang ibu yang anaknya menangis setiap bangun di pagi hari, mengeluh sakit perut, kepala pusing, bahkan semakin berteriak histeris saat diminta untuk bersiap pergi ke sekolah. Dan kejadian di pagi hari ini berulang setiap hari selama hampir satu bulan. Anak mengeluhkan bahwa ia tidak nyaman di sekolah, ia menceritakan ada beberapa teman di kelas melakukan bullying kepadanya.

Kisah di atas tidak satu dua kali terdengar di ruang praktik. Setidaknya selama Bulan Oktober 2024, saya mendapatkan sepuluh kasus anak sekolah yang merasa mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya di sekolah. Mulai dari jenjang sekolah dasar sampai dengan tingkat perguruan tinggi. Dari sekolah negeri sampai dengan sekolah swasta yang saya nilai cukup mahal biaya pendidikan di sekolah tersebut, namun demikian tidak luput dari cerita bullying para siswa-siswinya.

Istilah bullying berasal dari kata bull (bahasa Inggris) yang berarti banteng. Banteng merupakan hewan yang suka menyerang secara agresif terhadap siapapun yang berada di dekatnya. Sama halnya dengan bullying, suatu tindakan yang digambarkan seperti banteng yang cenderung bersifat destruktif.

Merujuk dari berbagai literatur mendefinisikan bullying adalah perilaku menyakiti fisik maupun mental dan atau bersifat menyerang, dilakukan secara berulang kali, dan adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Riset menunjukkan bahwa bentuk bullying yang terjadi di sekolah umumnya dilakukan secara tidak langsung oleh para siswi seperti misalnya pengucilan atau penolakan secara sosial, dan dapat dilakukan secara langsung berupa penyerangan secara fisik yang cenderung dilakukan oleh para siswa laki-laki.

Saya memahami kasus bullying ini sepatutnya dapat dicegah oleh sistem sekolah dan saya percaya tidak ada lembaga pendidikan yang dengan sengaja membiarkan kekerasan terjadi di lingkungan belajar. Akan tetapi, di dalam lingkungan sekolah terdapat berbagai macam karakter anak didik yang berasal dari pola asuh keluarga yang berbeda. Perbedaan pola asuh yang diterapkan pada setiap keluarga tentu membentuk perilaku anak yang berbeda-beda pula. Peran sekolah menjadi jauh lebih berat apabila tugas pendidikan sepenuhnya diserahkan kepada sekolah.

Bentuk bullying yang terjadi pada anak di sekolah tidak hanya berupa kekerasan yang merupakan salah satu bentuk dari perilaku agresif. Pada kenyataannya, hal-hal yang orang tua pandang sebagai perilaku yang wajar dilakukan anak di sekolah terkadang tergolong dalam penyimpangan perilaku. Mulai dari sekadar mengejek teman, memukul, mencubit, menjambak, dan menjegal temannya saat sedang berjalan.

Apabila perilaku bullying di sekolah tidak ditanggapi serius oleh guru, guru maupun orang tua beranggapan bahwa perilaku bullying yang terjadi adalah sebuah proses perkembangan anak maka akan mengakibatkan perilaku mengganggu ini lebih sering terjadi berulang-ulang karena minimnya respon dari guru.

Oleh karena itu perlu kepekaan orangtua untuk mengamati perkembangan anak mereka masing-masing saat berada di rumah, sehingga apabila anak kita menjadi korban bullying di sekolah dapat lebih awal teratasi. Perhatikan tanda-tanda dan atau jika anak Anda mengeluhkan hal-hal berikut ini kemungkinan besar anak Anda sudah menjadi korban bullying  di sekolah:

  • Mengalami luka (berdarah, memar, goresan)
  • Sakit kepala/sakit perut
  • Barang milikinya mengalami kerusakan
  • Tidak mau pergi ke sekolah
  • Prestasi akademiknya menurun
  • Menarik diri dari pergaulan atau merasa malu
  • Tidak mau berpartisipasi lagi dalam kegiatan yang biasanya disukainya
  • Gelisah, muram, dan menjadi agresif dengan melakukan bullying kepada saudara kandung
  • Mengancam atau mencoba bunuh diri.

Jangan diabaikan tanda-tanda di atas, berikan dukungan dengan bertanya keadaan anak setiap hari dan memastikan bahwa anak dapat bercerita secara aman kepada kita orang tuanya di rumah sebab dalam jangka panjang korban bullying dapat menderita karena masalah emosional dan perilaku. Bullying dapat menimbulkan perasaan tidak aman, terisolasi, perasaan harga diri yang rendah, depresi, atau menderita stress yang berakhir bunuh diri.

Dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan kepada orang tua pembaca bahwa biasanya motivasi seseorang untk melakukan bullying yaitu bisa berdasarkan kebenciaan, perasaan iri dan dendam. Bisa juga karena untuk menutupi rasa malu dan kegelisahaan, atau untuk mendorong rasa percaya diri dengan menganggap orang lain tidak ada artinya. Oleh karena itu, yang diharapkan adalah fokus orang tua dapat meningkatkan kepercayaan diri anak-anak kita di rumah sehingga dapat terhindar menjadi korban bullying.

Berikut ini cara yang dapat kita tanamkan untuk anak-anak di rumah agar dapat melindungi diri dari pelaku bullying di sekolah, yakni:

  • Ajarkan anak untuk percaya diri, seperti misalnya melatih ia berjalan tegak, tidak menunduk, dan cara bersikap yang tenang ketika emosi. Sebab pelaku bullying memilih orang yang mereka pikir kurang percaya diri dan takut terjadap mereka.
  • Memperhatikan barang yang akan anak bawa ke sekolah. Memberikan pemahaman agar membawa barang yang dibutuhkan saja untuk mendukung pembelajaran, hindari membawa barang yang tampak mewah. Pelaku bullying memilih anak yang membawa sesuatu yang mereka bisa ambil.
  • Mengajarkan anak untuk tidak mudah terpancing emosi saat menghadapi orang-orang yang menjengkelkan. Memilih untuk menghindari situasi yang memicu konflik akan sangat menolong. Pelaku bullying  cenderung senang dengan reaksi emosi yang ditampilkan dan bersiap untuk terus menyerang.
  • Mengingatkan anak untuk berani mencari bantuan bila diperlukan. Jangan takut untuk mengatakan kepada guru, kepala sekolah, maupun orang dewasa di sekitar lingkungan sekolah apabila dirasa sikap para pelaku bullying  sudah mulai mengancam keselamatan.

 Perlu diketahui oleh ayah-bunda tugas kita sebagai orang tua adalah memberikan pemahaman dan keterampilan agar anak kita bisa survive dan mandiri menyelesaikan tiap masalah yang menghampiri mereka, sebab tidak mungkin kita menjaga mereka dalam waktu 24 jam.

Referensi:

Anantasari. (2006). Menyikapi Perilaku Agresif Anak. Yogyakarta: Kanisius.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun