Sering kita mendengar kalimat anak tidak butuh ibu yang sempurna, melainkan ibu yang bahagia. Saat ibu bahagia maka ia mampu mengelola emosinya, sehingga rasa damai tercipta membersamai tumbuh kembang anak-anak. Ibu yang bahagia juga diharapkan tidak mudah panik saat menghadapi ulah anak yang terkadang menguji iman serta keharmonisan rumah tangga bersama pasangan. Biasanya saat anak berulah ibu dan ayah akan saling melempar status kepemilikan anak, seperti misalnya "ini anak kamu nakal tadi di sekolah", seolah lupa dalam sekejap bahwa mana mungkin bisa ayah atau ibu berkembang biak secara mandiri.
Tulisan ini saya titik beratkan pada peran ibu bukan berarti ayah tidak penting dalam pengasuhan, namun ketika saya memiliki kesempatan untuk mengikuti webinar tentang kasus-kasus psikologi pada anak yang meresahkan di sekolah, saya mendapat satu pencerahan bahwa betapa penting respons ibu saat mendengar perilaku anaknya yang mendapat label nakal tersebut, baik dari sekolah, orang terdekat, maupun mengetahui dari anak itu sendiri.
Umumnya ketika terjadi masalah pada anak di sekolah, guru akan menghubungi ibu dari si anak tersebut terlebih dahulu kemudian jika belum mendapat tanggapan dari ibu, pihak sekolah akan menghubungi ayah dan wali anak yang lainnya. Apabila respons ibu sehat terhadap masalah maka masalah anak dapat terselesaikan dengan cepat dan tepat sehingga tidak menimbulkan konflik yang baru, ibu juga dipercayai mampu mengomunikasikan permasalahan anaknya ke ayah dengan positif sehingga masalah justru dijadikan evaluasi serta pembelajaran bersama dalam keluarga.
Namun sebaliknya, apabila respons ibu panik sehingga tidak mampu berpikir dengan jernih, maka masalah yang dialami anak akan semakin meluas, berkepanjangan, dan mungkin saja akan muncul konflik baru akibat respons ibu tersebut, seperti misalnya menjadi menyalahkan guru/sekolah, ibu bertengkar dengan anak didik lain, dan berseteru dengan orang tua murid yang mengalami kasus serupa bertekad untuk saling membela anaknya.Â
Pada sesi awal mengikuti webinar, di dalam benak saya kenakalan anak berupa pelanggaran norma sosial dan hukum khas yang terjadi pada usia anak remaja menjelang dewasa awal sekitar usia 15-19 tahun. Saya dapat memahami hal itu terjadi sebagai manifestasi pola asuh yang kurang tepat dari orang tua, keluarga, dan juga salah satu bentuk pengabaian dari sosial karena tidak adanya pengawasan dari lingkungan sosialnya. Pengalaman di berbagai klien yang saya hadapi di usia dewasa awal banyak di antara mereka kurang mendapat kasih sayang dari orang tua, lingkungan keluarga yang kurang harmonis, serta lemahnya kondisi finansial memberikan kontribusi besar bagi kenakalan yang mereka lakukan.
Akan tetapi, betapa terkejutnya saya ketika narasumber memasuki sesi berikutnya yaitu memaparkan contoh-contoh kasus kenakalan anak yang terjadi pada tingkat Sekolah Dasar (SD). Sontak saya serius memperhatikan dengan tujuan bukan lagi perlu mengikuti webinar karena tuntutan pengembangan profesi melainkan rasa khawatir saya sebagai orang tua yang baru memiliki anak perempuan berusia satu tahun.
Bagaimana saya tidak terkejut narasumber menceritakan pengalamannya di awal Tahun 2023 ia menjumpai kasus seorang ibu yang datang kepadanya dengan menangis histeris menceritakan putrinya tersebut yang saat ini duduk di bangku kelas 5 (lima) SD menyatakan bahwa sang putri ingin "open BO" seperti informasi yang sang putri peroleh dari temannya di sekolah agar bisa membeli Iphone seri terbaru dengan uang sendiri. Dimana kita sebagai orang dewasa mengetahui bahwa makna "open BO" adalah berkonotasi negatif dan tidak lazim menjadi bahan obrolan anak di tingkat Sekolah Dasar (SD). Â
Sejenak saya membayangkan jika berada di posisi tersebut apa yang harus saya lakukan selain merasa panik dan pastinya juga terkejut. Namun, sekuat tenaga saya berupaya untuk tidak menghakimi atau langsung memarahi dan menyuruh anak saya tidak berteman lagi dengan teman yang membawa pengaruh buruk itu. Sebab saya tidak mau mencontohkan kepada anak saya terburu-buru dalam menghakimi suatu permasalahan di lingkungan sosial apalagi secara emosional dengan emosi yang meledak-ledak.
Saya mengharapkan anak saya berani bercerita secara terbuka tentang apa yang terjadi di sekolahnya sehingga di rumah ia bisa berkata demikian yang membuat hati saya terkejut. Jika saya mengacu pada prinsip dari pola asuh berkesadaran (mindful parenting) saya sebagai orangtua perlu memahami pikiran dan perasaan anak terlebih dahulu jadi saya lebih mengerti kondisi mereka secara utuh, sehingga dapat mengurangi konflik yang ada. Saya akan menerapkan hal-hal sebagaimana yang juga dijelaskan Ducan et al (2009) tentang lima aspek dalam mindful parenting, yaitu:
- Mendengarkan dengan penuh perhatian, berbicara dengan empati: Saya akan membangun komunikasi dengan anak sehingga anak merasa aman dan nyaman ketika menyampaikan hal hal yang dialami. Hal ini bertujuan membantu anak berani berbicara sekaligus membantu anak mengevaluasi setiap peristiwa yang dialami beserta hikmah yang dapat diterima anak atas peristiwa tersebut. Selain itu bentuk komunikasi verbal maupun non verbal akan saya hadirkan selama proses komunikasi ini seperti misalnya, perlukan, ciuman, dan sentuhan untuk menunjukkan rasa empati dan adanya bentuk perlindungan dari ibu. Hal ini juga yang direkomendasikan oleh psikolog narasumber kepada ibu anak tersebut sewaktu mereka menjalani sesi konsultasi psikologi. Terbukti dengan cara ini diketahui bahwa pemahaman si anak tersebut tentang istilah "Open BO" adalah sebatas tidur bersama temannya kemudian ia bisa mendapat uang karena sudah menemani tidur. Dengan logika sederhana seperti ini anak tersebut diberikan edukasi lebih lanjut oleh psikolog didampingi orang tua sehingga ia mendapat pemahaman yang tepat tentang arti kata tersebut tentu dengan kalimat yang mudah dipahami di usia anak itu.
- Pemahaman dan penerimaan untuk tidak menghakimi diri sendiri dan anak:Â Dalam aspek ini seorang ibu diharapkan mampu menerima segala pengalaman dalam pengasuhan tanpa memberi penilaian terhadap situasi yang dialami anak dan lingkungan sekitar anak. Sebab apabila ibu terlalu memikirkan persepsinya tanpa memahami dan menerima kondisi nyata dari anak seringkali justru membuat anak merasa tertekan. Bayangkan masih dalam kasus tersebut jika rasa khawatir langsung memunculkan amarah ibu ke anaknya, besar kemungkinan sang anak tidak mampu bercerita dan justru menghindari ibunya, bisa saja ia mencari informasi lain tentang arti kata "Open BO" pada orang yang kurang tepat. Beruntung meskipun dihantui rasa panik ibu memiliki kesempatan untuk bertanya kepada profesional.
- Kesadaran emosional diri sendiri dan anak:Â Ibu yang berupaya menerapkan mindful parenting akan menjaga emosi diri untuk tidak melakukan tindak kekerasan karena ia mampu memahami tidak ada dampak positif jika melakukan kekerasan pada anak di masa sekarang maupun masa depan.
- Pengaturan diri dalam hubungan pengasuhan/ parenting:Â Pengaturan di sini memiliki makna ibu mampu bersikap bijaksana terhadap keberhasilan ataupun kekurangan anak. Sikap demikian tidak menjadikan anak menjadi sombong ataupun merasa rendah diri yang semua hal itu tidak baik untuk tumbuh kemang anak di masa depan. Dalam kasus ini jika ibu mampu mempertahankan sikap positif dan memperhatikan anak meski anak berkeinginan kuat untuk membeli Iphone dengan mandiri namun jika cara menghasilkan uangnya keliru hal tersebut tidak bisa dibenarkan sekaligus ibu dapat menanamkan nilai-nilai yang lebih positif kepada anak dalam mengejar suatu impian tanpa menyudutkan anak karena sudah bercerita secara terbuka. Ibu juga tidak tersulut untuk marah kepada teman anak yang memberikan informasi keliru tersebut, karena ibu paham anaknya perlu belajar memilih siapa teman yang membawa pengaruh baik dan siapa teman yang perlu dihindari karena dikhawatirkan akan membawa dampak negatif. Hal ini akan memunculkan kesadaran anak untuk memilih lingkungan pergaulan di masa depan agar tidak terjerumus pada hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat merusak kehidupannya.
- Welas asih untuk diri sendiri dan anak:Â Welas asih dalam konsep ini adalah tidak menyalahkan diri ketika tujuan tidak tercapai atau bertemu dengan situasi di luar dari kendali kita sebagai orang tua. Mengembangkan welas asih dalam keluarga, akan melahirkan anak yang peduli kepada sesama dan lingkungan. Dalam kasus di atas diceritakan bahwa ibu dari anak tersebut merasa bersalah dan menghakimi diri sendiri atas pertanyaan anaknya yang dianggap tak lazim untuk usia anak tersebut, ia merasa kurang mampu menjaga putrinya dan seakan putrinya sudah terjebak dalam pergaulan bebas. Akan tetapi secara objektif dengan upaya berkonsultasi dengan psikolog saya menilai ia sudah menjadi ibu yang bertanggung jawab dan mau terus belajar demi membersamai buah hati. Itu sudah lebih dari cukup sesuai dengan anak kita butuhkan di masa sekarang.
Pada akhir tulisan ini saya ingin menegaskan respons orang tua khususnya ibu sangat krusial ketika menghadapi anak dengan perilaku yang keliru. Selama masih masuk kategori usia anak tindak tanduk anak adalah tanggung jawab dari orang tua. Seorang anak masih membutuhkan pengawasan yang ketat namun tidak mencekik sampai nanti ia mampu menjalani hidup mandiri di masa dewasanya kelak, mari bijak dalam bereaksi Bu...
Daftar Referensi:
Duncan, Larissa G, J. Douglas Coatsworth, & Mark T. Greenberg. (2009). A Model of Mindful Parenting: Implication for Parent Child Relationship and Prevention Research. Clin Child Fam Psychol Rev, 12, 255-270.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H