Mohon tunggu...
Farida Azzahra
Farida Azzahra Mohon Tunggu... Konsultan - Law Student

A learner and hard worker person. Have an interest in law and political issues.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pasal Penghinaan Presiden, Perlukah?

10 Juli 2021   12:43 Diperbarui: 10 Juli 2021   12:44 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumusan pasal penghinaan terhadap Presiden kembali dicantumkan dalam draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pada draft RKUHP tersebut, penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dikategorikan ke dalam bab Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden yang dirumuskan dalam Pasal 218-220 RKUHP. Berdasarkan rumusan pasal tersebut, setiap orang yang menyerang kehormatan atau martabat Presiden dan Wakil Presiden akan dipidana dengan ancaman hukuman paling lama 3 tahun 6 bulan. Adapun apabila tindakan penyerangan tersebut dilakukan melalui sarana teknologi informasi, maka ancaman hukumannya menjadi paling lama 4 tahun 6 bulan.

Pengaturan mengenai pasal penghinaan terhadap Presiden ini sebenarnya bukan merupakan rumusan baru. Sebelumnya, pada tahun 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penyerangan terhadap martabat atau penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam KUHP. Pada putusan yang diputus Desember 2006 lalu, MK menyatakan bahwa pengaturan pasal penghinaan terhadap Presiden sudah tidak relevan karena melanggar prinsip kebebasan berpendapat dan implementasi demokrasi. Selain itu, MK juga berpendapat bahwa keberadaan pasal tersebut berpotensi menghambat kemungkinan untuk mengklarifikasi tindakan pelanggaran oleh Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 A UUD 1945.

Namun, meski sudah dibatalkan oleh MK dan mendapat penolakan masyarakat, pasal penghinaan terhadap Presiden gencar dirumuskan kembali oleh pemerintah dengan dalih sebagai bentuk perlindungan terhadap Presiden

Rentan Penyalahgunaan

Perumusan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden dianggap menjadi isu penting oleh pemerintah yang harus diatur dalam KUHP. Sebagaimana pernyataan Menteri Hukum dan HAM, Yassona Laoly, perumusan pasal penghinaan terhadap Presiden dimaksudkan untuk menjaga batasan adab masyarakat, sebab pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk melindungi harkat dan martabatnya. Selain itu, ia juga menegaskan bahwa keberadaan pasal tersebut dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan terhadap Presiden. Oleh sebab itu, keberadaan pasal ini diklaim tidak akan membatasi ruang kebebasan berpendapat. Pernyataan tersebut tentu tidak bisa diamini sepihak, sebab pada dasarnya rumusan pasal penghinaan terhadap Presiden ini rentan disahlahgunakan.

Jika merujuk pada sejarah rumusan pasal penghinaan terhadap Presiden, dapat diketahui bahwa pasal tersebut telah diatur dalam Nederlands Wetboek vam Strafrecht 1881 dengan rumusan pasal penghinaan terhadap Raja atau Ratu yang memang merupakan kepala negara dalam bentuk pemerintahan Negara Belanda, yakni monarki dengan sistem pemerintahan parlementer. Pada tradisi bentuk pemerintahan monarki, kedudukan Raja atau Ratu merupakan bagian dari simbol negara atau simbol kebangsaan. Hal ini juga sejalan dengan sistem pemerintahan parlementer dimana Raja, Ratu, dan juga Presiden hanya berperan sebagai kepala negara, sementara urusan pemerintahan dilaksanakan oleh Perdana Menteri yang berperan sebagai kepala pemerintahan.

Adapun pasal penghinaan terhadap Raja atau Ratu tersebut memang sengaja dirumuskan pemerintah Belanda untuk menjaga martabat keduanya, sebab pribadi Raja atau Ratu berkaitan dengan kepentingan negara, sehingga Raja sebagai simbol kebangsaan memerlukan perlindungan khusus. Selain itu, sebagaimana yang diungkapkan oleh Mardjono Reksodiputro, bahwa pada praktiknya rumusan pasal tersebut juga kerap digunakan oleh para penjajah untuk menghukum rakyat jajahan dengan tuduhan telah menghina penguasa Belanda, sehingga tidak tepat apabila kemudian pasal penghinaan terhadap Raja atau Ratu tersebut diserap dengan perubahan frasa penghinaan terhadap Presiden di Indonesia, sebab Presiden bukanlah bagian dari simbol negara.

Selain Belanda, pengaturan mengenai penghinaan terhadap kepala negara juga lazim diterapkan pada negara-negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer, seperti Thailand, Jepang, Jerman, Lebanon, hingga Polandia. Hal tersebut dikarenakan Presiden atau Raja hanya berperan sebagai kepala negara atau simbol negara. Berbeda dengan Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensial, di mana Presiden bertindak sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

Dalam sistem presidensial, jalannya pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden tidak dapat terlepas dari adanya kritik dan protes masyarakat, utamanya dalam negara demokrasi, sehingga apabila pasal penghinaan terhadap Presiden diberlakukan, maka akan sulit untuk menjustifikasi kritik atau ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden sebagai kepala pemerintahan. Sebab, meski telah dirumuskan sebagai delik aduan, tidak ada pembatasan yang tegas terkait tindakan apa yang dapat diklasifikasikan sebagai bentuk penghinaan. Hal inilah yang menyebabkan pasal tersebut rentan disalahgunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat dan berpotensi menimbulkan pemerintahan yang sewenang-wenang.

Perumusan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden pada dasarnya hanya akan membatasi ruang kebebasan berpendapat dan berekspesi warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi. Oleh sebab itu, perubahan KUHP sudah sepatutnya searah dengan paradigma konstitusi yang menjungjung tinggi penegakan HAM dan demokrasi di Indonesia. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk mengingat kembali tujuan perubahan KUHP sebagai bentuk pembaharuan hukum pidana warisan kolonial Belanda. Namun, alih-alih menciptakan pembaharuan hukum, perumusan kembali pasal penghinaan terhadap Presiden justru terkesan menjustifikasi penyalahgunaan aturan oleh penjajah Belanda terhadap perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia saat itu. Terlebih, pasal penghinaan secara umum sebenarnya telah diatur dalam KUHP, sehingga pasal penghinaan terhadap Presiden tidak lagi diperlukan.

Sebagai negara demokrasi dengan sistem pemerintahan presidensial, Indonesia patut mengacu pada Amerika Serikat yang merupakan negara demokrasi terbesar di dunia sekaligus sebagai the mother of presidential system, dimana setiap hak kebebasan berpendapat warga negara dijamin dan dilindungi oleh konstitusi. Atas dasar hal tersebutlah, maka tidak ada peraturan di Amerika Serikat yang mengatur pemidanaan terhadap penghina Presiden. Adapun praktik tersebut sebenarnya telah sejalan dengan putusan MK yang membatalkan pasal penghinaan terhadap Presiden sejak 2006 lalu, sehingga apabila pasal tersebut kembali diterapkan, maka Indonesia telah mengalami kemerosotan demokrasi. Oleh sebab itu, sepanjang pemerintah belum mampu menunjukan urgensi pengaturan pasal penghinaan terhadap Presiden dan belum mampu menjamin tidak adanya kriminalisasi terhadap hak kebebasan warga negara, maka rumusan pasal penghinaan tersebut haruslah dihapus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun