Mohon tunggu...
Farida Ayu Hapsari
Farida Ayu Hapsari Mohon Tunggu... Lainnya - Aida

a melancholy, not a melodrama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nyai Kopek (Sinopsis Buku)

16 Juni 2021   08:47 Diperbarui: 16 Juni 2021   09:08 1240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nyai Kopek adalah salah satu tokoh penyebar agama Islam di Kota Salatiga. Beliau merupakan istri dari Kyai Gadung Melati, seorang keturunan Kasunanan Surakarta yang ketika muda biasa dipanggil Nyai Gadung Melati. Mereka berdua meninggalkan Kartasura untuk menjalankan misi kemanusiaan dan misi keagamaan.

Mereka berdua adalah orang-orang yang suka olah kanuragan sehingga memiliki kekuatan supranatural. Meski keduanya merupakan trah kerajaan Mataram namun pada awal kedatangan mereka di Salatiga, mereka menyamar sebagai rakyat biasa.

Berdasarkan sejarah, Kota Salatiga pada awalnya hanya terdiri dari 2 desa yakni Desa Salatiga dan Desa Kalicacing. Ki Ageng Pandanaran memberi nama "Kalicacing" karena pada saat beliau menempuh perjalanan dari Semarang menuju Jatinom melewati sungai atau kali yang banyak cacingnya. Sementara itu, Ki Ageng Pandanaran memberinama "Salatiga" karena ada 3 bongkah batu besar disana. Nama awalnya selotigo, yang berarti 3 batu.

Dahulu, di antara Desa Kalicacing dan Desa Salatiga terdapat sebuah telaga kecil yang menjadi pemisah desa. Karena proses geologis yang berlangsung selama berabad-abad, telaga kecil ini airnya terus menerus menyusut hingga akhirnya mengering. Lokasi telaga tersebut berubah menjadi daerah cekungan disekitar Buksuling, Kalitaman, dan Pancuran.

Dalam pengembaraan ke Salatiga, pasangan suami istri Kyai Gadung Melati ini akhirnya sampai di daerah Blauran. Bekas telaga yang sudah mengering dan berubah menjadi cekungan itu sudah mulai dihuni penduduk pribumi dan diberi nama Pancuran. Bersama warga pancuran inilah Kyai dan Nyai Gadung Melati memulai menjalankan misi sosial keagamaannya.

Namun sayang sekali selama tinggal di Blauran pasangan suami istri ini menjadi kurang harmonis, yang puncaknya Kyai Gadung Melati memutuskan untuk pergi ke Desa Pete di daerah Glawan dan meninggalkan istrinya seorang diri di Blauran.

Setelah suaminya menetap di Desa Pete, Nyai Gadung Melati tetap menjalankan misi kemanusiaan dan keagamaannya di Blauran. Selama hidup di Blauran Nyai Gadung Melati  menjadi guru agama yang baik, menyenangkan, sekaligus mengagumkan bagi penduduk sekitar. Semakin bertambah usia, kesaktian beliau semakin bertambah pula. Hal itu membuat beliau semakin dicintai oleh penduduk sekitarnya.

Karena kesaktian yang dimilikinya, Nyai Gadung Melati sering didatangi oleh orang yang sedang menderita sakit untuk minta kesembuhan. Beliau kemudian mendoakan mereka dengan ritual khusus yang mungkin terasa asing bagi warga Blauran saat itu. Dengan izin Allah, mereka yang datang untuk meminta kesembuhan melalui Nyai Gadung Melati bisa benar-benar sembuh.

Ketika masih muda, Nyai Gadung Melati memiliki paras yang cantik jelita dan bentuk tubuh yang bagus. Namun, ketika beliau memasuki hari tua badannya menyusut, payudaranya pun nyaris tidak berisi lagi atau orang jawa menyabutnya dengan istilah kepek atau kopek. Itulah sebabnya kemudian Nyai Gadung Melati mendapat julukan sebagai Nyai Kopek.

Karena Nyai Kopek masih tergolong keturunan darah biru dan pernah hidup pertahun-tahun di kraton, maka kehidupan sehari-harinya pun masih tidak jauh dari budaya kraton. Misalnya, beliau tidak pernah meninggalkan budaya membatik untuk mengisi waktu luang dan mengajarkannya kepada warga sekitar yang berminat belajar membatik.

Tradisi lain yang dibawa oleh Nyai Kopek dari kraton ke Salatiga yaitu tradisi udhik-udhik. Tradisi udhik-udhik adalah ritual sebar uang logam yang merupakan tradisi lama dari kerajaan Mataram. Filosofi tradisi ini adalah sebagai lambang pemberian sedekah dari Raja Mataram kepada rakyatnya. Pada kesempatan ini biasanya raja mencoba mendengar suara rakyat secara langsung dengan berdialog.

Sebagai keturunan kraton, Nyai Kopek merasa perlu untuk melestarikan tradisi udhik-udhik. Pada waktu-waktu tertentu beliau melakukan tradisi udhik-udhik ini di hadapan warga Salatiga. Tradisi ini menjadi menarik karena ada uang logam yang dilempar ke udara untuk diperebutkan banyak orang. 

Mereka yang berebut boleh saling dorong, tetapi tidak saling jegal. Mereka mencari banyak cara tetapi tidak dengan menghalalkan segala cara. Ketika koin masih diudara, siapapun boleh mengejarnya, tetapi begitu koin sudah ditangan seseorang semua harus menghormatinya dan tidak boleh merebut. Filosofi lain dari tradisi ini adalah untuk mendapatkan sesuatu kita harus berjuang, namun dalam perjuangan hendaknya kita tetap menjunjung sportivitas.

Dikatakan oleh banyak orang, Nyai Kopek meninggal diusia yang sudah sangat lanjut. Makam Nyai Kopek berada di Blauran. Karena adanya kedekatan emosional warga yang pernah mendapatkan pertolongan Nyai Kopek, mereka sering mendatangi, membersihkan, dan merawat makam Nyai Kopek. Akhirnya makam Nyai Kopek dikeramatkan oleh warga sekitar dan para warga menganggap pusara Nyai Kopek membawa tuah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun