Mohon tunggu...
Farida DN
Farida DN Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Masih berjuang melawan ganasnya kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Katanya, Perjalanan Itu Jauh

6 Maret 2014   17:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:11 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13940752821827001581


Sebagian orang tidak sabar agar segera sampai ke tempat tujuan. Namun sebagian orang lagi lebih senang untuk melakukannya dengan santai dan menikmati perjalanan mereka.

Mungkin saya adalah orang yang termasuk tipe kedua.

[caption id="attachment_326151" align="aligncenter" width="300" caption="Katanya, Perjalanan Itu Jauh"][/caption]

Jarak rumah saya ke sekolah tidaklah dekat, sekitar 20 km. Perjalanan ke sekolah itu adalah rangkain dari jalan kaki, naik angkot, naik bis, dicopet sama tukang copet, jalan kaki dan kadang digoda sama mas-mas.

Di perjalanan ini saya bertemu dengan banyak orang. Sifat orang-orang yang saya temui di jalan pun berbeda-beda. Sebagai contoh saja adalah sopir angkot dan bis. Ada sopir yang baik, yang membantu menaik turunkan barang bawaan. Ada sopir yang suka berbohong, katanya tujuan ke tempat A, tapi penumpang hanya diturunkan di tengah jalan.

Ada sopir yang pelit, yang suka membawa kabur uang kembalian. Ada sopir yang ramah, suka senyum dan suka melucu. Ada sopir yang judes. Serta ada juga sopir yang suka marah-marah dan tidak sabar. Selalu mengebut dan tidak punya aturan kalau menyetir, menyalip sana-sini tanpa peduli dengan kendaraan lain dan selalu saja menekan klakson panjang.

Selain sopir, para penumpang juga memiliki berbagai macam sifat. Pada suatu hari, saat berada di dalam angkot, ada seorang ibu yang bekerja sebagai buruh pabrik bertanya pada saya,

“Kok jam segini baru pulang, Mbak?”

“Iya, Bu. Tadi ada kerja kelompok di sekolah.”

“Lha emang sekolahe mana to?”

“Di SMA 4 Semarang.”

Walah lha kok adoh banget. Omahe ning kene kok sekolae ning Semarang to. Kok nggak milih sekolah yang deket sini aja?”

(Wah, kok jauh sekali. Rumahnya di sini kok sekolahnya di Semarang sih. Kok nggak milih sekolah yang deket sini aja?)

Sebelum saya menjawab pertanyaan sang ibu, teman-teman ibu tersebut malah menimpali dengan berbagai macam tanggapan. Mungkin mereka tidak menyangka kenapa siswa yang rumahnya pelosok malah lebih memilih sekolah yang berada sangat jauh dari rumahnya.

“Paling yo sesuk anakku meh langsung tak kon kerjo ning pabrik wae. Saiki angel nek kudu ngragati tekan kuliah. Biayane saiki soyo larang. Kabeh-kabeh mundhak. Bojoku mung dadi sopir angkot. Nggo mangan wae wes angel opo meneh nggo nyekolahke tekan kuliah.”

(Mungkin besok juga anak saya mau langsung saya suruh kerja di pabrik. Sekarang susah kalau harus membiayai sampai kuliah. Biaya sekarang semakin mahal. Semua harga naik. Suami saya hanya jadi sopir angkot. Untuk makan saja susah apalagi untuk menyekolahkan sampai kuliah)

“He e. Anakku malah pengen metu seko sekolahe. Jarene mumet mikirke pelajaran. Terus yo rak pengen ngrepoti wong tuane. Tapi rak tak entukke. Ben tekan lulus SMA sek. Kan nek wes lulus luwih gampang golek kerjane.”

(Iya. Anak saya malah ingin keluar dari sekolah. Katanya pusing memikirkan pelajaran. Terus juga tidak ingin merepotkan orang tuanya. Tapi tidak saya bolehkan. Biar sampai lulus SMA dulu. Kan kalau sudah lulus lebih mudah mencari kerja.)

Saya sangat kaget mendengar pernyataan dari ibu-ibu itu. Ternyata di zaman secanggih dan semodern ini banyak orang tua yang pikirannya masih tradisional. Rasanya saya ingin sekali menanggapi percakapan ibu-ibu tadi. Tapi kemudian saya mengurungkan niat. Bukan karena takut atau bagaimana. Tapi hanya sedang tidak ingin. Lagipula sangatlah tidak sopan jika saya tiba-tiba masuk ke inti percakapan mereka.

Di dekat rumah saya memang banyak sekali industri pabrik. Sekarang sawah-sawah yang menuju ke rumah sudah banyak yang diratakan untuk dibuat pabrik, kost-kostan, maupun toko. Orientasi masa depan orang-orang di lingkungan rumah saya masih sangat rendah. Saya sangat prihatin mengetahui hal tersebut. Bagaimana Indonesia bisa maju kalau masyarakatnya saja berpikirnya hanya sebatas begini saja?

Namun Alhamdulillah, saya beruntung memiliki orang tua yang baik dan peduli. Yang berintelektual dan berpikiran maju. Dari dulu orang tua saya selalu mengajarkan yang terbaik untuk anaknya. Memilih sekolah juga tidak asal-asalan. Harus sekolah yang memiliki kualitas di atas rata-rata. Sekolah yang mengajarkan tidak hanya sekadar ilmu pengetahuan, tetapi juga mengajarkan tentang akhlak yang baik.

Walaupun sebenarnya saya juga tahu bahwa suatu sekolah favorit belum tentu membawa anak didiknya kepada kesuksesan. Tapi setidaknya ada salah satu media yang akan membawa mereka ke sana.

Ya, begitulah perjalanan. Walaupun menurut orang-orang jarak perjalanan saya ke sekolah sejak SD sampai SMA ini sangat panjang dan jauh, menghabiskan banyak waktu serta tenaga. Tapi saya lebih senang menikmatinya dengan berbagai perjuangan daripada para pejabat yang senang instan saja, langsung mengambil uang rakyat.

@farida_dn

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun