“Di SMA 4 Semarang.”
“Walah lha kok adoh banget. Omahe ning kene kok sekolae ning Semarang to. Kok nggak milih sekolah yang deket sini aja?”
(Wah, kok jauh sekali. Rumahnya di sini kok sekolahnya di Semarang sih. Kok nggak milih sekolah yang deket sini aja?)
Sebelum saya menjawab pertanyaan sang ibu, teman-teman ibu tersebut malah menimpali dengan berbagai macam tanggapan. Mungkin mereka tidak menyangka kenapa siswa yang rumahnya pelosok malah lebih memilih sekolah yang berada sangat jauh dari rumahnya.
“Paling yo sesuk anakku meh langsung tak kon kerjo ning pabrik wae. Saiki angel nek kudu ngragati tekan kuliah. Biayane saiki soyo larang. Kabeh-kabeh mundhak. Bojoku mung dadi sopir angkot. Nggo mangan wae wes angel opo meneh nggo nyekolahke tekan kuliah.”
(Mungkin besok juga anak saya mau langsung saya suruh kerja di pabrik. Sekarang susah kalau harus membiayai sampai kuliah. Biaya sekarang semakin mahal. Semua harga naik. Suami saya hanya jadi sopir angkot. Untuk makan saja susah apalagi untuk menyekolahkan sampai kuliah)
“He e. Anakku malah pengen metu seko sekolahe. Jarene mumet mikirke pelajaran. Terus yo rak pengen ngrepoti wong tuane. Tapi rak tak entukke. Ben tekan lulus SMA sek. Kan nek wes lulus luwih gampang golek kerjane.”
(Iya. Anak saya malah ingin keluar dari sekolah. Katanya pusing memikirkan pelajaran. Terus juga tidak ingin merepotkan orang tuanya. Tapi tidak saya bolehkan. Biar sampai lulus SMA dulu. Kan kalau sudah lulus lebih mudah mencari kerja.)
Saya sangat kaget mendengar pernyataan dari ibu-ibu itu. Ternyata di zaman secanggih dan semodern ini banyak orang tua yang pikirannya masih tradisional. Rasanya saya ingin sekali menanggapi percakapan ibu-ibu tadi. Tapi kemudian saya mengurungkan niat. Bukan karena takut atau bagaimana. Tapi hanya sedang tidak ingin. Lagipula sangatlah tidak sopan jika saya tiba-tiba masuk ke inti percakapan mereka.
Di dekat rumah saya memang banyak sekali industri pabrik. Sekarang sawah-sawah yang menuju ke rumah sudah banyak yang diratakan untuk dibuat pabrik, kost-kostan, maupun toko. Orientasi masa depan orang-orang di lingkungan rumah saya masih sangat rendah. Saya sangat prihatin mengetahui hal tersebut. Bagaimana Indonesia bisa maju kalau masyarakatnya saja berpikirnya hanya sebatas begini saja?
Namun Alhamdulillah, saya beruntung memiliki orang tua yang baik dan peduli. Yang berintelektual dan berpikiran maju. Dari dulu orang tua saya selalu mengajarkan yang terbaik untuk anaknya. Memilih sekolah juga tidak asal-asalan. Harus sekolah yang memiliki kualitas di atas rata-rata. Sekolah yang mengajarkan tidak hanya sekadar ilmu pengetahuan, tetapi juga mengajarkan tentang akhlak yang baik.