Tak heran jika kelak Darwis (yang kemudian dikenal sebagai KH Ahmad Dahlan) menjadi orang besar dan berkharisma dalam memimpin organisasi Muhammadiyah yang didirikannya. Sejak kecil, beliau secara alamiah memang terlatih sebagai pemimpin yang dicintai. Dalam memimpin, beliau menekankan strategi dan kerja sama, yang dibangun bersama dalam tim. Hingga kini, Muhammadiyah (yang didirikan pada tahun 1912) dikenal sebagai organisasi dengan kepemimpinan secara kolegial. Kepemimpinan model ini tidak menonjolkan kharisma seseorang, melainkan dengan kerja sama dan mencari titik temu jika terjadi perbedaan di antara para pemimpin. Dengan karakter kepemimpinan tersebut, maka proses regenerasi dapat berlangsung relatif tanpa hambatan. Masyarakat pun akan lebih mengenal amal usaha Muhammadiyah, seperti sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya, daripada nama pemimpinnya.
KH Hasyim Asy'ari yang Gemar Pencak Silat
KH Hasyim Asy'ari dikenal sebagai pribadi yang suka bela diri, terutama pencak silat. Beliau meluangkan setiap waktu secara rutin untuk memperdalam ilmu pencak silat. Hal ini dilatarbeakangi oleh kondisi sosial waktu itu yang menuntutnya menguasai ilmu bela diri. Tidak hanya KH Hasyim Asy'ari, bahkan santri pesantren Tebuireng pun juga belajar pencak silat.
Pada awalnya Dusun Tebuireng merupakan sarang maksiat  dan kejahatan, di mana terjadi banyak kriminalitas, perampokan, pencurian, bahkan pembunuhan. Bersama sang istri, Nyai Khadijah, beliau merintis dakwah Islamiyah sekaligus memulai hidup baru dengan bertempat tinggal di darah Tebuireng. Sengaja beliau memilih daerah tersebut, karena orang-orang di sekitar tersebut amat jauh dari agama. Kyai Hasyim berpikiran bahwa dakwah harus menyentuh masyarakat yang masih jauh dari pesan Islam.
Kyai Hasyim dalam merintis perjuangannya menghadapi banyak hambatan, tantangan dan ancaman. Awalnya jumlah santri hanya dua orang, dan beberapa bulan kemudian baru bertambah menjadi 28 orang. Tidak jarang para santri jarang tidur, untuk berjaga-jaga pada waktu malam, karena tempat tinggal beliau sering diserbu para berandalan. Saat itu sering terjadi "perang kecil" antara santri dan penduduk yang tak suka kepada mereka. Karena itu, dengan bantuan lima orang kyai dari Cirebon, Kyai Hasyim dan para santri diajari bagaimana cara memukul, menendang, membanting dan melumpuhkan lawan yang menggunakan senjata tajam. Mereka juga diajari bertarung dengan tangan kosong.
Sejak berlatih bela diri itulah Kyai Hasyim dan para santri menjadi lebih berani, bahkan jika harus meronda sendirian di malam hari untuk menjaga lingkungan pesantren. Para pengacau di sekitar pesantren pun mulai sadar bahwa pesantren Tebuireng tak bisa lagi mereka perlakukan seenaknya. Sejak itu pulalah pesantren di Tebuireng mulai aman, karena mereka tak lagi berani mengganggu Kyai Hasyim dan para santri.
Akhirnya, satu per satu perampok itu angkat kaki. Lokasi pelacuran dan judi pun digusur. Dan pesantren Tebuireng mulai kebanjiran santri hingga mencapai 200 orang. Dengan keberhasilan perkembangan pesantren tersebut, Kyai Hasyim kemudian dikenal sebagai ulama yang sangat disegani, hingga kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama pada tahun 1926.
Pada tahun 1945, Kyai Hasyim dan para ulama NU di Jawa Timur mengeluarkan resolusi jihad, yang mewajibkan bagi umat Islam, terutama NU, untuk mengangkat senjata melawan penjajahan Belanda dan sekutunya yang ingin berkuasa kembali di Indonesia. Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad), yang berlaku bagi setiap muslim yang tinggal radius 94 kilometer. Sedangkan mereka yang berada di luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk material bagi mereka yang berjuang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H