"Suatu dialog yang hakiki bertolak dari kesadaran adanya pendapat yang berbeda. Masing-masing pihak memegang asumsi bahwa pendapatnya benar dan yang lainnya tidak benar. Sebuah karya sepertu buku saya ini, juga penulisnya, yang hendak membantu untuk masuk ke dalam dialog yang bermakna tidak luput dari dilema ini. Pendapat yang berbeda harus diterima, mau tidak mau. Yang terpenting ialah bagaimana keyakinan akan kebenaran iman sendiri dapat dipertahankan, tanpa melukai atau malah menghina  harga diri orang lain itu. Namun sekiranya perbedaan pendapat dirasakan mengganggu kesenangan, dan ketika itu dikesampingkan atau dinafikkan, maka dialog tak mungkin terjadi, dan digantikan dengan monolog yang hendak menyenangkan semua saja. Yang dikorbankan dalam usaha seperti ini ialah kebenaran,"
Paragraf ini menurut saya sangat menarik. Bahwa dalam dialog antar agama, asumsi tehadap kebenaran pendapatnya masing-masing adalah hal yang wajar. Namun hal itu tidak menghalangi proses dialog secara terbuka dengan saling memberi dan menerima, atau bertukar pendapat. Schumann pun menekankan, bahwa interkasi yang terjadi dalam proses dialog tidak selalu akan mengubah atau menggeser keyakinan seseorang. Upaya untuk tetap mempertahankan keyakinan adalah hal yang wajar, selama dilakukan tanpa melukai atau menghina harga diri orang lain.
Tentang perbedaan pendapat dalam memaknai kehadiran Yesus Kristus atau Isa Al-Masih antara Muslim dan Kristen, saya ingin mengutip interaksi antara Kardinal Koenig dari Wina dan Fathi Utsman, salah satu ulama yang dibahas dalam buku ini. Disebutkan bahwa Kardinal Koenig pernah memberikan kuliah pada tanggal 31 Maret 1965 di Aula "Muhammad Abduh" Universitas Al-Azhar tentang "Monoteisme (tauwhid) di dunia saat ini", saat ia mengajak mengajak untuk mengakhiri polemik di kedua belah pihak. Dengan menimbang bahwa serangan gencar pemikiran materialis tengah mengancam umat Kristiani maupun Muslim dengan cara yang sama, Kardinal Koenig mengatakan bahwa sekaranglah saatnya bagi kedua kelompok beragama ini untuk saling mendengar guna menemukan kembali persamaan mereka, demi mengingat kesamaan basis monoteis mereka, tanpa perlu mengingkari perbedaan-perbedaan doktriner yang penting.
Fathi Utsman sepenuhnya mendukung seruan dari tokoh Katolik itu untuk membangun hubungan yang damai antar dua agama. Seperti Kardinal Koenig, Utsman tidak mengusulkan agar perbedaan-perbedaan dalam sistem akidah kedua agama begitu saja diabaikan atau disembunyikan di balik meja.
Pada resensi buku ini, saya lebih menekankan pada bagaimana toleransi dan dialog antara agama mesti kita lakukan, sebagaimana kutipan-kutipan yang saya tuliskan di atas. Bagi pembaca yang ingin lebih memperdalam bagaimana polemik yang timbul dari pendapat ke-10 ulama tentang Yesus Kristus (Isa Al-Masih) yang dibahas dalam buku ini, silakan membaca dan menelaah lebih lanjut buku ini. Kesimpulan dari buku karya Olah Schumann tersebut, tentunya berada di tangan anda semua. Sebagaimana yang saya tuliskan di atas, buku ini awalnya ditujukan untuk memperkenalkan pemahaman-pemahaman para penulis Muslim terhadap Yesus Kristus (Isa Al-Masih) kepada para pembaca Kristen secara umum. Namun saya berpendapat, buku ini bermanfaat pula bagi umat Muslim untuk mendalami masalah ini. Satu hal yang unik dari buku ini, buku ini dapat dikategorikan sebagai buku Kristen karena ditulis oleh seorang pendeta dan karena membahas soal Yesus Kristus, tokoh sentral dalam keyakinan Kristen. Namun buku juga dapat pula dikategorikan sebagai buku Islam, karena di dalamnya membahas pendapat ulama-ulama besar dari berbagai masa, tentang Isa Al-Masih yang sangat dihormati dalam Al-Qur'an.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H