Mohon tunggu...
Farid Wadjdi
Farid Wadjdi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bekerja di perusahaan kontraktor nasional, memiliki minat khusus di bidang arsitektur dan konstruksi, tapi juga ingin beceloteh dan curhat tentang apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Detik-detik KLB & Kongres Tahunan: Kedepankan Semangat Rekonsiliasi!

17 Maret 2012   15:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:54 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Pada detik-detik pelaksanaan Kongres Tahunan PSSI dan KLB KPSI yang dilangsungkan hampir berbarengan, saya ingin menegaskan kembali perlunya semangat rekonsiliasi untuk menyelesaikan kemelut persepakbolaan nasional yang semakin akut ini. Hasil dari ajang kedua kongres ini sangat ditunggu-tunggu oleh segenap insan sepakbola tanah air, dan diharapkan akan mampu menghasilkan keputusan-keputusan yang paling tidak mampu menurunkan tensi kisruh yang masih terasa panas ini.

Seperti diketahui Kongres Tahunan PSSI mulai dilaksanakan tanggal 17 Maret ini di Palangkaraya. Sedangkan Kongres Luar Biasa KPSI dilangsungkan mulai tanggal 18 Maret di Jakarta. Waktu pelaksanaan kedua kongres yang hampir bersamaan ini, tak lepas dari tenggat waktu untuk terwujudnya rekonsiliasi yang diberikan oleh FIFA paling lambat tanggal 20 Maret 2012. Karena itu, sangat terlihat bahwa masing-masing pihak yang bertikai berpacu dengan waktu untuk mensikapi ultimatum dari FIFA tersebut.

Namun sayang, tampaknya yang terjadi bukan berpacu untuk melakukan rekonsiliasi, melainkan berpacu untuk memperkuat posisinya masing-masing. Upaya rekonsiliasi yang telah diupayakan oleh KONI pun tak mendapatkan sambutan yang memadai, sehingga akhirnya KONI mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan, yaitu rencana KONI yang akan mengambil alih PSSI jika upaya rekonsiliasi gagal. Seperti kita ketahui, FIFA sangat sensitif terhadap intervensi negara terhadap federasi di negara tersebut (dalam hal ini bisa jadi KONI dianggap merupakan representasi sebuah negara).

Seriusnya sensitivitas FIFA dan keberanian KONI menerjang hal itu, membuat saya menarik kesimpulan bahwa negara siap mengambil resiko itu untuk sesuatu yang lebih besar bagi kepentingan nasional, terutama bagi kepentingan pembangunan persepakbolaa nasional yang lebih baik. Namun tentunya negara (dalam hal ini KONI) tidak boleh bertindak gegabah. Setiap langkah harus diperhitungkan secara hati-hati, agar dapat dipastikan bahwa semuanya akan berdampak bagi perbaikan, bukannya justru menambah runyam permasalahan. Dan KONI harus mampu berdiri pada posisi yang netral, merangkul semua pihak yang bertikai, yang pada gilirannya akan mampu kembali mempersatukan persepakbolaan nasional yang terpecah.

Timnas untuk Semua, Jangan Lupakan itu!

Terkait dengan seruan untuk mengedepankan semangat rekonsiliasi, saya mencoba mengambil satu seruan yang mudah dicerna oleh masyarakat banyak, yaitu bahwa "semua pemain berhak memperkuat timnas Indonesia".  Ini adalah isu besar yang mengemuka di kalangan masyarakat pecinta bola. Kekelahan telak timnas kita 10-0 atas Bahrain banyak dinilai sebagai akibat dari pengabaian dan pelanggaran atas asas ini. Bahkan Menegpora Andi Mallarangeng pun ikut bersuara bahwa kekalahan itu akibat dari diskriminasi yang dilakukan oleh PSSI dalam penentuan pemain timnas.

Sebenarnya semua pihak menyadari kebenaran dan keharusan akan hal ini, tapi kenapa hal ini tetap terjadi. Dulu waktu kepengurusan Nurdin Halid, terjadi pencekalan atas pemain yang berlaga di LPI. Kini PSSI di tangan Djohar Arifin juga melakukan hal yang sama terhadap pemain yang berlaga di ISL.

Agar lebih mengena, saya akan mengingatkan pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Djohar Arifin, segera setelah terpilih menjadi Ketua Umum PSSI. Beliau menyatakan, "Mulai sekarang takkan ada lagi diskriminasi di tim nasional Indonesia. Asalkan sang pemain memiliki darah Indonesia, maka ia berhak membela tim Merah Putih di kancah internasional".

"Mereka adalah anak bangsa dan kita berharap mereka membuat prestasi yang terbaik," lanjut mantan pemain PSMS Medan tersebut. Meski memperbolehkan semua pemain membela timnas, Djohar mengaku tak ingin pemain nantinya yang terpilih adalah pemain yang asal-asalan. Ia ingin pemain yang membawa nama negara adalah pemain yang memang benar-benar berkualitas.

Tentunya ini merupakan pernyataan yang sangat bagus dan positif. Masyarakat pecinta bola menyambut dengan antusias pernyataan Pak Djohar tersebut. Tapi seiring dengan perjalanan waktu, yang terjadi justru sebaliknya, tidak semua pemain berhak memperkuat timnas, dan tidak semua pemain yang terpilih memperkuat timnas berkualitas.

Di sisi lain, menjelang KLB KPSI, dua petinggi KPSI juga mengeluarkan pernyataan yang senada dengan pernyataan Djohar di atas. Seperti dilansir di Kompas.com, calon Ketua Umum PSSI, La Nyalla Mattaliti, menyatakan, setiap anak bangsa berhak bermain di tim nasional Indonesia. Oleh karena itu, La Nyalla menyatakan tidak segan-segan akan menggabungkan pemain Indonesian Premier League (IPL) dan Indonesia Super League (ISL) demi kepentingan timnas.

Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Ketua KPSI, Tony Apriliani yang menyatakan semua pemain sepakbola yang berwarganegara Indonesia berhak menjadi pemain timnas. Ia bahkan mengklaim mendapatkan dukungan Menpora terkait hal tersebut.

Apakah pernyataan kedua petinggi KPSI tersebut juga akan berakhir sama dengan pernyataan Djohar Arifin? Kita harus mengawal agar itu tak terjadi lagi. Kita tidak boleh lagi terlena dengan kata-kata manis yang berujung pahit, dan berakhir mengecawakan, bahkan menyesakkan dada masyarakat pecinta bola Indonesia. Karena itu, kita berharap KONI akan benar-benar menjaga amanat seruan "timnas untuk semua". Jangan lagi ada diskriminasi dalam pemilihan pemain timnas, seperti yang dinyatakan oleh Andi Mallarangeng.

Semangat Rekonsiliasi dalam Revolusi Sepakbola, Perjuangan Melawan Lupa!

Dalam sebuah revolusi, kita sering terlupa, untuk apa sebuah revolusi terlahir dalam perjalanan suatu pergerakan. Hakikat dari sebuah revolusi adalah "apa yang kita lawan", bukan "siapa yang kita lawan". Banyak yang mempersepsikan bahwa revolusi PSSI adalah perjuangan melawan rezim, tapi banyak yang lupa bahwa hakikat sebenarnya tentang semangat revolusi adalah perjuangan melawan kekuasaan yang korup dan zalim.

Masyarakat bola begitu gembira ketika akhirnya rezim Nurdin Halid dapat dilengserkan. Mereka juga lega bahwa kroni-kroni Nurdin Halid pun juga tersingkirkan. Langkah awal PSSI yang baru pun juga disambut baik, terutama pada pencanangan pembinaan pemain muda dan pembatasan pemain asing. Tapi kebijakan PSSI selanjutnya berubah menjadi aneh ketika secara sepihak dan tiba-tiba PSSI memecat Alfred Riedl sebagai pelatih timnas, tanpa alasan yang terkait profesionalisme. Dan kebijakan-kebijakan selanjutnya pun semakin mengundang kontroversi, yang berakibat adanya konflik internal PSSI, munculnya dualisme kompetisi, diskriminasi pemilihan pemain, dan terakhir anjloknya prestasi timnas dengan kekalahan memalukan timnas atas Bahrain, yang bahkan memaksa Presiden SBY untuk memberikan komentar.

Masyarakat persepakbolaan nasional telah berhasil menumbangkan rezim Nurdin Halid, tetapi kemudian muncul rezim lain yang bahkan mempunyai "kemampuan destruktif" yang lebih hebat. Banyak yang berseloroh, dengan menyatakan bahwa Nurdin Halid memerlukan waktu 8 tahun untuk merusak sepakbola Indonesia, tapi Djohar Arifin hanya perlu waktu 6 bulan untuk melakukan hal yang sama. Sebuah ungkapan yang sinis, tapi layak untuk direnungkan.

Belajar dari itu semua, semangat rekonsiliasi harus betul-betul dikedepankan, dan bukan semangat balas dendam. Balas dendam itu telah berhasil dilakukan, tapi hasilnya adalah kondisi sekarang ini. Kita tidak boleh lagi membiarkan adanya balas dendam yang lain, yang akan semakin merusak sepakbola nasional kita. Sebagaimana sekarang kita bersedih karena beberapa pemain ISL yang berkualitas tidak bisa memperkuat timnas, kita pun juga tidak rela jika kelak Andik Vermansyah, Ferdinand Sinaga, Joshua Pahabol atau pemain IPL yang lain juga tidak bisa memperkuat timnas, karena terjadi balas dendam yang lain.

Kedepankan rekonsiliasi dan singkirkan diskriminasi adalah keharusan. Contohlah keberhasilan semangat rekonsiliasi yang telah dilakukan Nelson Mandela untuk mengakhiri rezim apartheid di Afrika Selatan. Satukan segenap potensi bangsa untuk kemajuan dan kejayaan sepakbola Indonesia di pentas internasional.

Bravo sepakbola Indonesia ..............!!!


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun