Mohon tunggu...
Farid Wadjdi
Farid Wadjdi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bekerja di perusahaan kontraktor nasional, memiliki minat khusus di bidang arsitektur dan konstruksi, tapi juga ingin beceloteh dan curhat tentang apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilpres 2014, Jangan Adu Domba NU dan Muhammadiyah!

22 Mei 2014   06:09 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:15 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas Islam yang paling berpengaruh dan disegani dalam perjalanan negeri ini. Dalam sejarahnya, kedua ormas tersebut telah mewarnai sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Jendral Soedirman yang sangat kita kagumi kepemimpinannya dalam perlawanan gerilya melawan penjajah Belanda, adalah tokoh kepanduan Muhammadiyah Hizbul Wathan (HW). Sedangkan KH Hasyim Asy'ari yang kita sebagai pendiri NU, sangat andilnya dalam perlawanan melawan Belanda di Surabaya, dengan resolusi jihadnya, yaitu fatwa yang menyerukan kepada segenap umat muslim yang berada dalam jarak 94 kilometer dari Surabaya, wajib hukumnya berperang melawan penjajah Belanda untuk membela Surabaya.

Pasca kemerdekaan, tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah tak berhenti berjuang. Dalam wadah Partai NU dan Partai Masyumi, para tokoh NU dan Muhammadiyah berjuang di parlemen guna menyiapkan negeri ini melangkah ke depan. Banyak kisah keteladanan dari para tokoh NU dan Muhammadiyah dalam berpolitik. Meskipun berdebat sengit dengan lawan politik di parlemen, mereka tetap menjaga persahabatan di luar parlemen. Kita mengenal KH Wahid Hasyim (NU) dan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah) sebagai tokoh politik yang sangat disegani dan dikagumi kawan maupun lawan.

Pada masa orde baru, peran NU dan Muhammadiyah dalam politik direduksi, yang kemudian tokoh-tokoh dari kedua ormas tersebut menyalurkan aspirasi politiknya melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pasca reformasi, muncul kembali kebebasan untuk mendirikan partai yang berasaskan Islam atau yang berbasis massa Islam. Maka berdirilah PAN, PKB, PK (yang kemudian menjadi PKS) dan PBB. Bersamaan dengan itu, bersinar pula dua tokoh NU dan Muhammadiyah, yaitu Gus Dur dan Amien Rais.

Sumbangsih pemikiran politik kedua tokoh tersebut sangat mewarnai denyut nadi perpolitikan pasca reformasi. Dengan corak pemikiran yang berbeda, keduanya sama-sama mengusung kebebasan berpolitik, setelah sekian lama terpasung. Namun perjalanan politik kedua tokoh tersebut ternyata juga menorehkan sejarah kelam rivalitas antara NU dan Muhammadiyah. Ketika itu PKB dan PAN sangat identik dengan asal kedua tokoh tersebut, yaitu Gus Dur yang sebelumnya merupakan Ketua PBNU dan Amien Rais yang sebelumnya merupakan Ketua PP Muhammdiyah. Rivalitas antara Gus Dur dan Amien Rais tak hanya berpengaruh pada hubungan PKB dan PAN, tapi juga berpengaruh pada hubungan NU dan Muhammadiyah.

Bagi saya, itu adalah situasi yang sangat menyedihkan dan saya tak ingin hal itu terulang kembali. Sebenarnya perjalanan hubungan antara NU dan Muhammadiyah dalam hal perbedaan mazhab dan pemikiran Islam, telah semakin mempertemukan beberapa perbedaan. Beberapa bentuk kerjasama pun telah terjalin dengan baik antara keduanya. Namun perbedaan pandangan politik saat itu, seakan telah menghapus semua pencapaian positif tersebut.

Tapi alhamdulillah, pada dua kepemimpinan berikutnya, hubungan NU dan Muhammadiyah kembali membaik, yaitu pada masa Hasyim Muzadi (NU) dan Ahmad Syafi'i Ma'arif, yang dilanjutkan oleh Said Aqil Siradj (NU) dan Din Syamsuddin. Saat itu Hasyim Muzadi sempat menjadi cawapresnya Megawati. Tapi untunglah tidak ada rival dari Muhammadiyah. Walaupun banyak warga Muhammadiyah menyalurkan aspirasi politik pada pilihan yang lain (bukan Hasyim Muzadi), namun tidak terjadi rivalitas antara NU da Muhammadiyah. Bahkan pasca pilpres tersebut, Hasyim Muzadi semakin sering berdialog baik dengan Syafi'i Ma'arif maupun dengan Din Syamsuddin. Dan kini, antara Said Aqil dan Din Syamsuddin pun juga terjalin hubungan yang baik, tanpa ada friksi-friksi yang berarti.

Lalu bagaimana dengan pilpres 2014 kali ini? Bagaimana dampaknya terhadap hubungan NU dan Muhammadiyah? Saya yakin, dan sepanjang yang saya ikuti dari berita, persaingan politik antara pasangan capres-cawapres tidak berdampak pada hubungan antara NU dan Muhammadiyah. Dari kedua pasangan capres-cawapres yang bertarung dalam pemilu kali ini, tidak ada yang merupakan tokoh NU atau Muhammadiyah. Jusuf Kalla memang dikesankan sebagai kader NU, demikian pula Hatta Rajasa juga dikesankan dekat dengan Muhammadiyah. Tapi yang jelas, keduanya bukan tokoh atau pengurus pusat NU atau Muhammadiyah. Maka legalah hati saya.

Tapi saya sangat terkejut ketika membaca sebuah postingan di facebook yang berusaha untuk memancing rivalitas dan mengadu domba antara NU dan Muhammadiyah. Berikut ini adalah screenshot status facebook tersebut:

Status facebook yang mengadu domba NU dan Muhammadiyah (capture)

Capture tersebut adalah status dari seseorang yang ada dalam friendlist saya. Dan saya tahu betul bahwa orang tersebut bukanlah warga NU. Saya sangat menyayangkan hal ini. Ini adalah sebuah provokasi yang sangat berbahaya. Saya berharap warga NU dan Muhammadiyah untuk tidak terpancing dengan adu domba ini. Tidak ada alasan bagi munculnya rivalitas antara NU dan Muhammadiyah pada pilpres kali ini. Dan saya juga sangat berharap tidak ada politisi, baik dari pendukung Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta, yang menyeret-nyeret NU dan Muhammadiyah pada pilpres kali ini.

Saya akan menyampaikan bagaimana sikap politik tokoh NU dan Muhammadiyah terkait pilpres kali ini.

1. Said Aqil Siradj (Ketua PBNU)

Meskipun beliau secara pribadi mendukung pancalonan Prabowo sebagai presiden, namun beliau menegaskan bahwa warga NU bebas memilih siapa pun calon pemimpinnya.

2. Hasyim Muzadi (mantan Ketua PBNU)

Sebaliknya, Hasyim Muzadi menyatakan dukungannya untuk Jokowi-JK. Sama halnya dengan Said Aqil, beliau juga menegaskan bahwa dukungannya bersifat pribadi.

3. Din Syamsuddin (Ketua PP Muhammadiyah)

Lebih tegas lagi, Din Syamsuddin menegaskan tidak pernah mengarahkan warga Muhammadiyah untuk mendukung pasangan capres dan cawapres tertentu. Beliau juga menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dengan partai politik. Muhammadiyah pun tidak pernah memberikan restu terhadap pasangan capres-cawapres.

Nah, jelas kan? Bahwa pimpinan puncak NU dan Muhammadiyah telah menegaskan bahwa NU dan Muhammadiyah tidak mendukung pasangan capres-cawapres tertentu dan juga tidak mengarahkannya. Ada pun pernyataan dukungan beliau lebih bersifat pribadi, dan tidak berupaya mempengaruhi pilihan warga NU maupun Muhammadiyah.

Jadi, kepada segenap warga NU dan Muhammadiyah, jangan hiraukan status adu domba di facebook tersebut di atas. Janganlah kita terjebak pada konflik masa lalu yang sangat tidak produktif. Warga NU dan Muhammadiyah harus senantiasa bekerja sama membangun masyarakat dan bangsa, tanpa pretensi politik apa pun. Salam ukhuwah ........

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun