Nah, pesan dari obrolan inilah yang ingin saya sampaikan di artiel ini. Saya rasa, alur pemikiran teman saya itu logis juga. Dan usulan dia itu lebih beralasan daripada wacana pengosongan kolom agama. Mengambil kesimpulan dari obrolan saya di atas, saya ingin menyampaikan beberapa hal:
- Wacana pengosongan kolom agama bukanlah wacana yang logis. Akan lebih logis jika terdapat entitas agama di luar enam agama yang diakui pemerintah, maka perlu dipertimbangkan untuk menambah agama yang diakui di Indonesia.
- Pengosongan agama untuk sementara bisa mewadahi aspirasi orang yang tidak memeluk salah satu dari enam agama yang diakui di Indonesia. Tapi hal itu bukan tanpa masalah. Adanya kolom agama di KTP tapi kemudian dikosongkan akan menimbulkan problem, yaitu tidak berwibawanya negara. Bagaimana mungkin sebuah data isian disebuah kartu identitas yang dikeluarkan oleh negara, tapi dibiarkan tidak diisi oleh pemiliknya.
- Bagaimana membedakan bahwa orang yang tidak mengisi kolom agama itu karena tidak memeluk agama yang diakui negara atau karena tidak mau mengisi kolom tersebut (padahal memeluk agama yang diakui)?
- Bagaimana dengan orang yang tidak beragama? Yah, sejalan dengan uraian di butir 1, mungkin pemerintah juga perlu mempertimbangkan 'atheis' sebagai daftar isian agama, selain dengan memperluas jumlah agama yang diakui. Tentunya hal ini tidak akan mudah, karena kultur masyarakat Indonesia yang belum memungkinkan.
- Melanjutkan butir 1, tentang perluasan jumlah agama yang diakui, tentunya harus dengan dasar yang kuat, yaitu dengan adanya aspirasi dari komunitas agama tersebut yang jumlah cukup signifikan untuk dimasukkan sebagai elemen bangsa.
- Seperti pendapat teman saya di atas, mengosongkan kolom agama, padahal dia memeluk agama yang diakui, adalah sebuah ketidakjujuran. Meskipun benar agama adalah wilayah privat, tapi tidak berarti kita lalu menyembunyikan agama atau keyakinan kita. Justru kita harus mengekspresikan agama atau keyakinan kita, agar orang lain memahami dan menghargai keyakinan kita. Contohnya, teman saya tidak mungkin menawarkan minuman beralkohol kepada saya. Atau sebaliknya, saya tidak mungkin mengajak dia ke suatu acara/kegiatan, ketika dia harus pergi ke gereja.
- Satu hal yang menarik, adalah pendapat teman saya yang tidak setuju pengosongan kolom agama, sementara dia sendiri menikahi istri yang berbeda agama. Dia menjelaskan, ketika dia mau menikahi orang yang sekarang menjadi istrinya, dia berterus terang tentang agamanya. Ketika orang tua dia dan orang tua calon istri tidak ada masalah, baru kemudian dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Waktu itu dia menikah secara Katolik, meskipun istrinya tetap memeluk agama Konghucu, bahkan hingga sekarang. Meskipun begitu, hal itu tidak mengurangi ketaatannya dalam beragama Katolik. Terbukti bahwa anak-anaknya disekolahkan di sekolah Katolik. Bahkan yang sulung kini kuliah di universitas Katolik.
- Yang terakhir, saya ingin menyampaikan bahwa segala kebijakan pemerintah harus dilandasi oleh pemikiran dan perencanaan yang matang, dan bukan dilandasi oleh tekanan-tekanan yang sebetulnya kurang beralasan. Wacana pengosongan kolom agama, menurut saya sangat lemah landasan pemikirannya. Ada pun landasan pendapat saya adalah seperti yang saya uraikan pada butir-butir di atas.
Demikianlah pendapat saya tentang wacana pengosongan kolom agama pada KTP oleh Mendagri Tjahjo Kumolo. Lalu bagaimana pendapat anda?
---------------------------
Note: Percakapan di atas adalah tulisan bebas dari penulis, tanpa mengurangi isi dan makna dari percakapan itu. Percakapan yang sebenarnya berlangsung lebih santai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H