[caption id="attachment_115273" align="aligncenter" width="351" caption="http://news.okezone.com/read/2009/10/27/339/269512/jaksa-agung-tak-perlu-ws-diklarifikasi"][/caption]
Hendarman menambahkan, dirinya menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden terkait jabatannya itu. "Jadi, saya terserah beliau (Presiden). Kalau saya dimundurin, berarti Tuhan telah menghendaki saya untuk istirahat," katanya
Ketika ditanya wartawan mengenai permintaan mundur dari jabatannya secara pribadi, Hendarman menolak memberikan komentar. "Saya hanya taat asas dan prosedur karena bagi saya secara pribadi tidak meninggalkan gelanggang colong playu (melarikan diri dari permasalahan)," katanya. "Pokoknya semua masalah akan saya hadapi, akan saya selesaikan sesuai prosedur yang ada," tuturnya. Begitulah komentar salah seorang pejabat tinggi negara ini ketika diminta untuk mengundurkan diri karena dinilai tidak perform selama menduduki jabatan tersebut.
Yang juga paling sering dijadikan alasan tidak mengundurkan diri adalah, tunggu keputusan dari atasan. Wah, logikanya kalau atasan yang memutuskan untuk berhenti, itu namanya bukan mengudurkan diri,tapi DIPECAT !.
Alasan itu sering digunakan karena melihat budaya pemimpin kita yang ewuh pakewuh untuk menindak bawahan apalagi yang selama ini memiliki kontribusi terhadap kepemimpinannya serta ikut menjaga stabilitas kekuasaan dan wewenangnya.
Alasan tidak mau colong playu, terdengar lebih konyol lagi, karena menganggap dirinya masih bisa menyelesaikan masalah dan tidak ingin lari dari tanggungjawab untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Tidak sadarkah dirinya bahwa dialah sang masalah itu yang justru harus disingkirkan. Bagaimana mungkin dalam masa kepemimpinannya, terjadi beberapa kali kasus yang sama yang menimpa bawahannya, dengan modus operandi yang sama.
Sebagai pemimpin tentunya harus bisa memimpin dan mengawasi anak buahnya, minimal menerima laporan dari setiap kasus yang sedang ditangani. Kalau sampai sebagai atasan dia tidak mengetahui "penyelewengan" yang dilakukan bawahannya, bukankah itu berarti dia sebagai sumber masalah.
Yang lebih parah lagi kalau ternyata dia mengetahui "penyelewangan" itu dan membiarkannya atau ikut dalam konspirasi lalu dalam setiap pernyataannya selalu menutup-nutupi persoalan yang ada dengan kalimat-kalimat klise dan normative, "semua serahkan kepada proses hukum yang berlaku".
Terbukti bahwa solidaritas korps selama ini membuat mereka sesame anggota korps saling melindungi entah karena menjaga nama baik korps atau menjaga nama baik "pribadi" yang memang terlibat dalam kasus yang disangkakan.
Makanya tidak mengherankan bila beberapa waktu yang lalu, seorang Kabareskrim POLRI dinyatakan tidak bersalah setelah diperiksa oleh Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Â yang berasal dari korpsnya sendiri, padahal banyak bukti yang menunjukkan bahwa sang Kabareskrim terlibat.
Budaya mengundurkan diri tidak sama dengan colong playu. Contohlah bangsa Jepang yang berani mengundurkan diri kalau merasa bersalah dan tidak mampu mengerjakan tugas dan kewajiban yang diembannya atau telah membuat orang lain menjadi korban akibat kebijakan mereka.Bahkan ketika kesalahan dibuat oleh bawahan, mereka dengan ksatria mengakui ikut bersalah dan bertanggungjawab dan kadang sampai mengundurkan diri. Berbeda dengan kebiasaan di negara kita, bawahan selalu jadi tumbal atasan. Kesalahan atasan ditanggung oleh bawahan. Yang dikorbankan dan dipecat selalu bawahan.
Kalau Anda mengundurkan diri, Anda tidak colong playu karena andalah masalahnya yang harus disingkirkan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan masalah.Mudah-mudahan Anda sadar diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H