Mohon tunggu...
Farid Sudrajat
Farid Sudrajat Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar kehidupan

pembelajar kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Pesantren Salaf, Mengenal Jati Diri

29 Juli 2019   12:30 Diperbarui: 29 Juli 2019   12:34 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sumber : dokpri

Petang menjelang waktu isya, tiba-tiba aku dikejutkan oleh sepenggal bertuliskan aksara Arab, tapi bukan bahasa Arab di papan tulis berisi pelajaran dasar tentang-kami menyebutnya tarkiban-uraian tata bahasa arab menurut kedudukan katanya. Lafaz yang tertulis di papan tersebut adalah kalimat basmalah. Butuh satu satu halaman papan penuh dengan jarak baris yang cukup rapat untuk  mengurai lafaz basmalah tersebut. Dan yang membuat aku terharu, dia menulis dengan menggunakan "aksara pegon berbahasa sunda".

Menurutku hal ini adalah istimewa, pertama, dalam keseharian di rumah, sebelum ia dipondokkan, tidak pernah kami mengajarkan dan berkomunikasi dalam bahasa sunda, meskipun salah satu orang tuanya orang sunda. Ada rasa bersalah, mengapa ia tidak dikenalkan dengan salah satu kekayaan leluhur, yaitu bahasa daerah dalam hal ini bahasa sunda dalam lingkungan keluarga.

Dengan demikian kekhawatiran akan punahnya ciri kebinnekaan bangsa indonesia tidak perlu terjadi. Namun alhamdulilah, ternyata pesantren salaf masih konsisten mempertahankan khazanah kekayaan bangsa ini. Berhutang kami kepada pesantren salaf. Besyukur pula kami, karena melalui pesantren salaf lah- lembaga yang pendidikan sederhana-sejak empat bulan terakhir  putra kami dikenalkan kepada jati diri dan asal usulnya ini yang juga merupakan bukti kekuasaan Allah swt yang menjadikan manusia bersuku-suku dan berbeda bahasa.

Kedua, dengan menulis aksara pegon dan berbahasa sunda, ada ketersambungan dalam hal mata rantai alur transfer of knowledge melalui medium aksara pegon, terkhusus untuk wilayah nusantara ini. Bahwa melalui aksara pegon lah, penduduk di nusantara ini dikenalkan dengan ajaran-ajaran nilai kehidupan berbasis agama. Dan pada masa penjajahan aksara pegon menjadi simbol perlawanan terselubung terhadap penjajahan. Dan jika saja tidak ada penjajahan di nusantara ini, sangat boleh jadi aksara yang berlaku adalah aksara pegon. Di pesantren salaf ini pula, salah satu bentuk kearifan lokal nusantara tetap terus dilestarikan dan membentuk jati diri sub kultur nusantara sejak ratusan tahun lalu.

Ketiga, tentu mengenal aksara pegon bukan berarti anti perkembangan zaman yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi dan kemunikasi dengan internet dan perangkatnya yang nyaris saat ini kita tidak bisa lagi lepas darinya. Mulai dari anak-anak hingga para orang tua. Semua kita, lintas generasi sudah terdampak teknologi terkini informasi dan komunikasi. Dan basis dari teknologi tersebut tidak lain adalah literasi.

Mempelajari aksara tarkiban ketat melalui aksara pegon, merupakan salah satu cara melek literasi terhadap teks yang saat ini amat sangat diperlukan. Tentu saja hal ini memerlukan penyesuaian manakala teks yang digunakan bukan bahasa arab. Memang kita tidak bisa lagi hidup dalam romantisme masa lalu. Dengan tetap berpijak kepada khazanah bernilai luhur dari pada pendahulu kita yang termuat dalam aksara pegon tersebut, para generasi milenial mendapatkan bekal bernilai untuk melangkah ke depan.

Terdengar sangat melankolis disaat para generasi milenial yang terbiasa dengan segala sesuatu yang instan dan kemudahan dalam mengakses segala informasi melalui smart gadget mereka, tiba-tiba harus mempelajari hal ihwal mendasar dalam mempelajari teks, sebelum sampai kepada sebuah simpulan.

Disinilah sebenarnya relevansinya  para santri diajarkan literasi melalui medium aksara pegon ini. Sehingga seorang santri, melalui pembelajaran teks arab dengan sistem tarkiban yang ketat, bisa mengkritisi setiap kata dalam sebuah teks dalam konteks bahasa yang berbeda. Yang selanjutnya hal ini menjadikan para santri sosok yang tidak mudah terhasut wacana dalam belantara media, baik dari situs media berita ataupun dari media sosial yang sangat massif saat ini,  khususnya wacana keagamaan yang mempunyai maksud-maksud terselubung.

Berat memang bagi santri menjalaninya. Namun memang demikianlah semestinya santri.sebagaimana pepatah arab wa man lam yazuq zulla atta'allumi sa'atan tajarroa zulla aljuhli tuula hayatihi (barang siapa yang belum pernah sekalipun merasakan pahit getinya belajar, maka ia akan mereguk hinanya kebodohan sepanjang hidupnya). Dan saat ini dan hari-hari ke depan selanjutnya, engkau, wahai putraku, akan menjalaninya. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan dan kesabaran kepada engkau nak....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun