Mohon tunggu...
Farid Khan
Farid Khan Mohon Tunggu... -

Seseorang yang jauh dari kata sempurna

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Berjuta Rasa

11 Juli 2011   03:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:46 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa bilang berjuta rasa hanya dirasakan oleh yang sedang kasmaran dan jatuh cinta. Saat terdesak oleh ide dan kenyataan yang saling berlawanan, ternyata tidak kalah hebatnya. Kemelut semacam ini menghadirkan spektrum. Pergolakan sosial sebagai manifestasi kepentingan berbagai pihak, serta kesenjangan antara idealita dan realita hingga ekspektasi nurani yang seringkali menunduk kalah pada egoisme hidup.

Tanpa sadar semua itu mendatangkan gejolak dalam pribadi seseorang.  Merasa bingung, apakah harus bersimpuh pasrah pada liarnya hidup dengan mencederai rasa kebebasan berpendapat. Atau mest tetap berpegang teguh pada pendapat yang sudah berbagai secara proporsional, dengan konsekwensi cercaan karena terkesan narsis.

Fenomena ini sebenarnya tak salah. Permainan emosi dan perasaan memang sudah menjadi satu dari sekian juta warna hidup. Bahkan keberadaannya merupakan satu titik nyata bahwa kita masih berwujud manusia seutuhnya.  Yakni insan yang separuh bertindak logis, setengah perasa.

Namun jika konflik batin ini dibiarkan begitu saja, boleh jadi akan berakibat pada tekanan perasaan yang menjadi semakin tak terkendali.  Bahkan, jika sampai pada titik akut, manusia akan dibuat tak berdaya melihat kebenaran. Tentu, ini karena perasaan mengambil alih konsentrasi dalam menentukan  sikap dan pemikiran secara dominan. Dan tak lain ini juga menyisihkan rasionalitas dalam berpikir. Atau dengan kalimat lain, emosi membawanya pada kebutaan nalar. Yang akhirnya menambah kebingungan baru, mana yang benar mana yang salah. Atau boleh jadi ia merasa semakin gamang, apakah ia di pihak yang benar ataukah ia justru berdiri jauh dari lingkaran kebenaran.

Jika sudah terseret jauh hingga sampai pada kenyataan ini, barulah terasa bahwa betapa mahalnya bisa berpikir sesuatu secara jernih. Yakni mempertimbangkan perkara dengan kepala dingin, kebal intervensi dan berimbang. Oleh karenanya, walau dengan emosi, seseorang bisa menjadi manusia seutuhnya, namun pada saat-saat tertentu manusia harus meninggalkan eksistensi kemanusiaannya. Dengan pengertian, dalam waktu tertentu kita perlu menanggakan sikap manusiawinya. Sikap manusiawi dengan terlalu berperasaan ternyata tidak baik. Bahkan berbahaya. Terbukti, banyak penyakit yang divonis parah oleh pihak medis karena terlalu banyak pikiran. Pikiran yang dimaksud disini adalah beban pikiran yang direcoki oleh emosi seperti marah, benci, buruk sangka dan lain-lain. Sehingga masalah terkesan dramatis dengan sendirinya.

Namun sebenarnya permaslahan dan gejolak emosi ini masihlah relatif. Karena gejolak ini masih berdasar pada rasa peduli.  Semakin besar rasa peduli, kian besar gejolak yang dialami.

Mungkin saja tulisan ini tidak banya membantu kehidupan. Tapi setidaknya salah satu penggalan hidup manusia mampu tercover meski belum tentu semua orang paham.

Selamat menjadi manusia.

Salam untuk semua pemburu kebenaran

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun