Tak sedikit saya mendengar cerita dari orang-orang di sekitar tentang musibah yang menimpa keluarga mereka. Suaminya sakit, anaknya juga sakit. Seperti cerita teman saya di sosial medianya di atas. Bahkan ada pula yang istri ikut-ikutan sakit lantaran tertular ataupun kelelahan merawat keluarganya yang sakit.  Siapa yang pernah mengalami hal itu? Sakit bersamaan….
Keadaan seperti itu mungkin saja terjadi kepada siapapun dan kapanpun, tak pernah ada yang tau. Kita semua tau sakit di Indonesia cukup mahal, apalagi jika penyakitnya lebih dari sekedar batuk dan flu. Penyakit yang membutuhkan dokter, dan perawatan di rumah sakit. Disini uanglah yang berbicara.
Secuil Kondisi layanan kesehatan di Indonesia
Maka muncul istilah orang miskin dilarang sakit
Saya pribadi pernah mengalami hal ini, saat adik sepupu sakit demam tinggi tak kunjung reda. Berbagai dokter dan rumah sakit di kota kami sudah tidak bisa menangani, lalu di rujuk ke rumah sakit di kota lain. Di situ saya baru tau bahwa uang benar-benarberbicara. Saat itu adik saya menggunakan asuransi kesehatan yang dipayungi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di Indonesia. Hampir satu hari adik saya belum juga mendapatkan kamar.
Saat itu katanya antri kamar, saya tunggu. Hampir sehari saya mengantri untuk mendapatkan kamar. Lalu saya jalan-jalan keliling saya lihat ada kamar yang kosong tapi mengapa adik saya tak kunjung bisa masuk. Lalu saya masih sabar mengantri sampai lewa engah malam. Keesokan hari tiba-tiba ada orang yang baru datang dan memasuki kamar-kamar kosong itu. Maksudnya apa???
Lalu saya protes kepada petugas, adik saya juga sakit parah tapi mengapa begitu lama menunggu untuk bisa masuk kamar. Saya mencium bau yang tidak beres di rumah sakit ini, lalu saya ancam  akan tulis kejadian ini di media massa kalau sampai jam 12 siang adik saya tak mendapatkan kamar.
Berbeda dengan saat saya mengantarkan suami yang (hanya) periksa di rumah sakit swasta di Jakarta. Begitu masuk, kami sudah di sambut. Antrian juga tak terlalu panjang karena banyak dokter yang bertugas. Saat pemeriksaan pun suami saya benar-benar di periksa dengan teliti dan ramah.
Begitu keluar dari ruangan dokter, kami juga ada yang membawakan berkas pemeriksaan mengantarkan kami ke kasir, lalu mengantarkan kami menunjukkan tempat pengambilan obat. Biaya yang harus kami bayarpun tidaklah murah. Saya juga mengamati para pasien rawat inap yang keluar dari rumah sakit, barang-barangnya dibawakan oleh petugas servis rumah sakit menggunakan troli yang seperti di hotel-hotel itu.
Miskin atau kaya, namanya sakit tetap tidaklah enak. Namun hal ini bisa di diantisipasi dengan cara yang cerdas. Yaitu dengan mempersiapkan dana kesehatan. Menyiapkan dana kesehatan kadang di lema juga. Sudah nyimpan-nyimpen di tabungan buat dana kalau mendadak penting sakit, tapi ujung-ujungnya mendadak kepepet butuh akhirnya dana terpakai.
Kalau asuransi, rata-rata keluarga masih menganggap hanya kepala keluarga yang penting mendapatkan asuransi. Padahal tidak. Istri dan anak-anak juga berhak mendapatkan asuransi kesehatan. Lalu kendala terbesar banyak orang masih ragu-ragu untuk berasuransi kesehatan, apalagi sekeluarga. Memikirkan preminya dan total keluarga saja rasanya sudah pengen pingsan. Belum lagi proses yang ribet dan kadang menyiksa.