Manusia dapat menemukan makna melalui realisasi nilai-nilai manusiawi yang meliputi
a. Nilai-nilai kreatif
Menurut Frankl nilai-nilai kreatif adalah apa yang diberikan individu pada kehidupan. Nilai-nilai ini diwujudkan dalam aktivitas yang kreatif dan produktif, biasanya berkenaan dengan suatu pekerjaan. Namun nilai-nilai ini dapat diungkap dalam semua bidang kehidupan. Makna diberikan kepada kehidupan melalui tindakan yang menciptakan suatu hasil yang kelihatan atau suatu ide yang tidak kelihatan, atau dengan melayani orang lain (Bastaman, 1996).
b. Nilai-nilai pengalaman
Nilai-nilai pengalaman menurut Frankl adalah apa yang diterima oleh individu dari kehidupan. Misalnya menemukan kebenaran, keindahan dan cinta. Nilai-nilai pengalaman dapat memberikan makna sebanyak nilai-nilai daya cipta. Ada kemugnkinan individu untuk memenuhi arti kehidupan dengan mengalami berbagai segi kehidupan secara intensif meskipun individu tersebut tidak melakukan tindakan-tindakan yang produktif (Bastaman, 1996).
c. Nilai-nilai sikap
Nilai-nilai sikap adalah sikap yang diberikan individu terhadap kodrat-kodrat yang tidak dapat diubah, seperti penyakit, penderitaan atau kamatian. Situasi-situasi buruk yang dapat memberikan keputusasaan dan tanpa harapan dapat memberikan kesempatan yang sangat besar bagi individu untuk menemukan makna hidupnya. Nilai-nilai sikap ini menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dihilangkan seperti kematian, bencana, sakit yang tidak dapat disembuhkan dan menjelang kematian, setelah segala upaya dan ikhtiar dilakukan secara maksimal (Bastaman, 2007).
Penelitian yang dilakukan Croumbaugh dan Maholick menunjukan bahwa kebermaknaan hidup berkorelasi dengan tingkat pendidikan, tingkat kecerdasan dan tingkat sosial ekonomi individu (dalam Koesworo,1992). Semakin tinggi tingkat pendidikan, kecerdasan, dan sosial ekonomi seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kebermaknaan hidup orang tersebut.
Laki-laki memiliki tingkat kebermakaan hidup lebih baik daripada perempuan, hal ini atas dasar asumsi bahwa dalam masyarakat patriarkis, laki-laki mendapatkan keuntungan-keuntungan yang lebih besar daripada permpuan. Seperti status, penghormatan, kebebasan jasmani, kebebasan mengalami banyak pengalaman untuk mengembangkan diri, serta memiliki keleluasaan untuk menentukan pilihan maupun mengungkapkan diri. Kondisi ini tentunya akan labih menyediakan peluang bagi laki-laki untuk menemukan dan menciptakan makna hidup yang lebih beragam dibanding perempuan (Bhasin dan Khan, 1995).
Berbagai penelitian juga menunjukan bahwa makna hidup yang positif tergantung pada kesesuaian antara tujuan-tujuan dan nilai-nilai individu dengan peran dan kebutuhan struktur yang mengikat individu. Penelitian yang dilkukan Rathi dan Rastogi (2007) pada anak pra remaja dan menyimpulkan bahwa makna hidup sejalan dengan kematangan psikologis. Individu yang sudah mengerti tentang tujuan hidup dan berusaha mencari jati diri dengan cara mengeksplorasi segala potensinya akan memiliki makna hidup lebih baik.
Karakteristik individu yang menemukan makna hidup.
Schultz (1991) menyimpulkan bahwa individu yang menemukan makna dalam hidupnya memiliki karakteristik sebagai berikut
a. Bebas memilih langkah tindakan sendiri.
b. Bertanggung jawab sebagai pribadi terhadap perilaku hidup dan sikapnya terhadap nasib.
c. Tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan diluar dirinya.
d. Telah menemukan dirinya dalam kehidupan yang sesuai dengan dirinya.
e. Secara sadar mengontrol tindakannya.
f. Mampu mengungkapkan nilai-nilai daya cipta, nilai-nilai pengalaman, dan nilai-nilai sikap.
g. Telah mengatasi perhatian terhadap dirinya.
h. Berorientasi pada masa depan dan mengarahkan dirinya pada tujuan-tujuan dan tugas yang akan datang.
i. Memiliki alasan untuk meneruskan kehidupan.
j. Memiliki komitmen terhadap pekerjaan.
k. Mampu memberi dan menerima cinta.
Schultz (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa individu dapat memaknai hidupnya dengan bekerja, karena dengan bekerja individu dapat meralisasikan dirinya dan mentransendensikan diri mereka.
Akibat kegagalan pencapaian kebermanaan hidup
Frankl (2004) menandai adanya dua tahapan pada sindroma ketidakbermaknaan tersebut.
Tahap awal dari sindroma ketidakbermaknaan adalah frustasi eksistensial (exsistential frustration) atau disebut juga dengan kehampaan eksistensial (exsistetial vacuum) yaitu fenomena umum yang berkaitan degan keterhambatan atau kegagalan individu dalam memenuhi keinginan akan makna (Koesworo,1992). Frustasi eksistensial sejauh tidak disertai simptom-simptom klinis tertentu, bukanlah suatu penyakit dalam pengertian klinis, melainkan suatu penderitaan batin yang berkaitan dengan ketidakmampuan individu dalam menyesuaikan diri dan mengatasi masalah-masalah persoalanya secara efisien (Frankl, 2004).
Suatu fenomena umum dialami manusia pada masa kini adalah tidak lagi memiliki kepastian mengenai apa yang harus diperbuatnya dan apa saja yang sepatutnya diperbuat. Frustasi eksistensial tidak nampak jelas namun pada umumnya ditandai dengan hilangnya minat, kurang inisiatif, serta perasaan hampa (Frankl, 2004).