Topik “Pengantin Pesanan” pernah populer sekitar pertengahan 2000an di kalangan peneliti sosial khususnya studi wanita dan perdagangan manusia, serta media (Sila baca di sini,di sini, di sini, di sini, dan di sini). Istilah “pengantin pesanan” umumnya merujuk pada perempuan warga Indonesia khususnya Tionghoa yang dinikahkan dengan pria warga asing antara lain Taiwan, melalui jasa makelar pengantin. Pernikahan ada yang dilangsungkan di kota tempat tinggal si wanita atau si wanita dibawa ke luar negeri untuk dinikahkan dengan pria yang tidak dikenalnya.
Pernikahan si pengantin pesanan dengan warga asing tersebut tidak selalu berakhir dengan bahagia. Hal tersebut kemudian digolongkan sebagai perdagangan manusia karena ada unsur transaksi dalam prosesnya. Berikut adalah kisah seorang perempuan mantan pengantin pesanan, Tania (nama samaran), seorang wanita Tionghoa asal Pontianak yang sekarang tinggal dengan suatu keluarga di Kota Singkawang, Kalimantan Barat.
Gadis kecil berusia tujuh tahun itu terpana melihat laut dan mendengar suara debur ombak. Tiba-tiba saja dia berlari kencang menyusuri tepian pantai sambil berteriak seakan mengeluarkan sesak di dadanya. Ketika diperingatkan untuk hati-hati, dengan bahasa yang lugu agar tidak dilarang berlari, dia berteriak “…tolong…tolong…. Wini (nama samaran) tak pernah melihat laut……”. Betapa bahagianya dia, ketika diijinkan berenang ditepian pantai dan berteriak sesukanya.
Wini, adalah anak sulung Tania. Dalam usia yang belum genap lima tahun, Wini telah menjalani kehidupan yang sangat berat. Selama sekitar tiga tahun, dia mengalami kekerasan fisik dan non fisik dari ayah dan nenek tirinya. Dia pernah begitu takut melihat mie instant karena pernah dipaksa ayah tirinya menghabiskan mie instan sekaligus beberapa bungkus. Ayah tirinya kesal ketika Wini, yang tak berani meminta, memperhatikannya makan mie instant.
Wini adalah anak hasil pernikahan Tania dengan seorang pria Cina warga Malaysia yang berasal dari Johor Bahru. Pernikahan tersebut dilaksanakan di Johor Bahru ketika Tania berusia sekitar 18 tahun. Tania, yang sekarang berusia 29 tahun, tidak pernah berpikir akan menikah pada usia semuda itu.
Tania anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Dua kakak perempuannya tinggal di Taiwan dan satu lagi tinggal di Hongkong karena menikah dengan warga setempat. Dua kakaknya adalah “pengantin pesanan”. Satu lagi kakaknya yang di Taiwan didatangkan oleh kakak Tania yang sudah lebih dahulu tinggal di Negara tersebut. Biaya perjalanan ke Taiwan yang cukup besar menyebabkan Tania, yang juga ingin ke Taiwan, tidak dibawa ke sana.
Tania pernah sekolah sampai kelas 2 di Sekolah Menengah Atas swasta yang cukup terkenal di Pontianak. Setelah berhenti sekolah, Tania berkerja sebagai kasir di bengkel motor milik abangnya. Ayahnya tidak memperbolehkannya berkerja dengan orang lain. Tania tidak mendapat upah atas kerjanya. Abangnya memenuhi keperluan hidup Tania sehari-hari dan memberinya uang saku sekedarnya.
Dalam kondisi tersebut, Tania setuju ketika bibi yang kerabat jauhnya, yang menikah dengan pria Cina warga Malaysia dan tinggal di Malaysia, menawarkan suami untuknya. Tania hanya berpikir, inilah cara dia meringankan beban keluarganya. Karena Tania setuju menikah, si bibi memberi uang Rp. 5 juta kepada ibu Tania.
Tania berharap, bibinya memberikan kesempatan untuk berkerja terlebih dahulu dan tidak langsung menikahkannya. Dia berharap mendapat gaji sehingga bebas mengatur uangnya sendiri. Akhirnya, Tania berangkat ke Malaysia bersama bibinya. Semua biaya perjalanan termasuk pengurusan paspor dibayar oleh si bibi.
Harapan Tania hanya tinggal harapan. Ketika sudah di Malaysia, bibinya mengatakan jika Tania ingin tinggal lebih lama di Malaysia, dia harus menikah dengan warga Malaysia. Dia tidak boleh pulang sebelum mengganti uang yang sudah digunakan untuk proses keberangkatannya, selain harus membiayai sendiri proses kepulangannya ke Indonesia.
Tidak ada pilihan lain bagi Tania kecuali menikah karena dia tidak memiliki uang untuk semua biaya tersebut karena belum berkerja. Belum sampai satu bulan di Johor Bahru, dia diperkenalkan kepada calon suaminya dan tak lama kemudian pernikahanpun dilangsungkan.
Perkawinan tersebut hanya bertahan sekitar 1 tahun. Selama menikah Tania dan suami tinggal di rumah abang suaminya. Suami Tania berkerja di perkebunan sawit milik abangnya sementara Tania berkerja di restoran milik istri abang iparnya. Setelah menikah, Tania baru mengetahui bahwa sang suami telah menikah dan isteri pertamanya tinggal di Singapura.
Tania mulai kecewa terhadap suaminya apalagi suaminya sering melakukan kekerasan domestik. Akhirnya abang iparnya menyarankan Tania untuk pulang ke Indonesia dan bersedia membiayai proses kepulangannya. Dalam kondisi hamil 3 bulan, Tania pulang sendiri dengan menggunakan penerbangan dari Johor Bahru menuju Kuching. Ibu Tania menunggunya di Kuching. Selanjutnya mereka berdua melanjutkan perjalanan pulang ke Pontianak dengan bis.
Selama di Pontianak, suaminya pernah satu kali menghubunginya melalui telepon. Suaminya meminta Tania kembali ke Malaysia namun harus mengugurkan kandungannya. Tania sudah tidak peduli dengan suaminya dan dia tak pernah terpikir untuk menggugurkan kandungannya. Tania akhirnya melahirkan anak perempuannya, Wini, di Pontianak dengan biaya persalinan ditolong keluarganya.
Ketika Wini berusia sekitar 1 tahun, seorang wanita berkunjung ke rumahnya untuk menawarkan perkawinan dengan seorang pria Tionghoa di Singkawang. Tania pun setuju karena dia tidak ingin terlalu lama membebani ayah dan abangnya. Ibunya saat itu telah meninggal dunia.
Setelah menikah, Tania pindah ke pinggiran Kota Singkawang untuk tinggal di rumah orangtua suaminya. Dari perkawinan kedua ini Tania melahirkan 2 anak perempuan. Tania kembali menjadi korban kekerasan domestik dari suaminya. Bahkan Wini, yang tinggal bersama Tania, juga mendapatkan kekerasan fisik dan non fisik bukan hanya dari ayah tirinya tetapi juga nenek tirinya.
Untuk mendapatkan penghasilan tambahan, Tania kemudian berkerja di warung kopi dekat rumahnya. Wini, yang usianya masih sekitar 3 tahun, sering menunggu Tania di luar rumah karena takut dipukul jika di rumah. Taniapun akhirnya selalu membawa anaknya ketika berkerja walau pulang ke rumah ketika hari telah malam.
Ketika ibu mertuanya menyarankan Tania untuk meninggalkan suami dan kedua anaknya yang ketika itu berusia sekitar 3 dan 1 tahun, Taniapun setuju. Dengan membawa Wini, Tania ditawari tinggal bersama keluarga temannya yang berkerja di warung kopi yang sama. Keluarga Melayu teman Tania ini juga kurang mampu sehingga dia meminta tolong kerabatnya yang lebih mampu untuk menerima Tania tinggal dirumahnya.
Setelah tinggal sekitar 2 bulan di rumah temannya, Tania dipertemukan dengan kerabat temannya. Pada pertemuan tersebut, Tania mengutarakan keinginannya untuk memeluk agama Islam, yang sudah sering diungkapkannya ketika tinggal di rumah temannya. Kerabat temannya ini kemudian menguruskannya untuk menjadi Muslim secara resmi.
Kerabat teman Tania kemudian menitipkan Tania dan anaknya ke pesantren tempat keluarga tersebut sering memberikan sumbangannya. Maksudnya adalah agar Tania dapat belajar agama dengan lebih baik sambil berkerja membantu pekerjaan di pesantren.
Sekitar dua bulan terlihat semuanya berjalan lancar. Tania membantu pekerjaan di pesantren. Dia mendapat cukup banyak perhatian dari instansi dan organisasi sosial terkait. Namun akhirnya Tania datang ke rumah kerabat temannya dan menceritakan bagaimana pemimpin pondok pesantren merayu untuk menikahinya. Istri pimpinan pondok dan anak perempuannya yang sudah melihat gelagat tersebut dan mulai menunjukkan ketidaksukaannya dengan sering menghina dan menyindir Tania.
Kerabat teman Tania akhirnya memutuskan untuk mengambil Tania dan anaknya untuk tinggal di rumahnya. Karena kerabat temannya mempunyai usaha salon di rumah, Taniapun diajarkan tentang pekerjaan di salon. Tania mendapatkan gaji untuk pekerjaannya tersebut. Tania juga mendapat upah mengantar koran setiap pagi ke rumah pelanggan karena si pemilik rumah juga adalah agen koran. Tak lama kemudian Wini mulai masuk sekolah dasar dan semua keperluan sekolah Wini ditanggung oleh kakak ipar kerabat temannya.
Tania dan anaknya Wini mulai menjalani kehidupan yang normal. Wini terlihat semakin ceria dan sekarang sedang duduk di kelas 2 Sekolah Dasar. Dia sering berceloteh tentang cita-citanya menjadi chef karena senang sekali menonton program chef cilik di televisi. Sekali-kali jika Wini bandel, Tania mengatakan akan mengembalikannya ke rumah ayah tirinya. Wini tampaknya begitu trauma akan masa lalu dan takut sekali jika akan kembali kepada masa lalunya.
Hubungan Tania dan mantan suaminya masih belum baik. Tania pernah tidak diperdulikan mantan suaminya dan ibu mertuanya ketika mau mengambil KTPnya yang ketinggalan dan meminjam kartu keluarga untuk difotokopi, di rumah mantan suaminya. Dokumen tersebut diperlukan untuk mengurus BPJS. Usaha tersebut baru berhasil setelah Tania kembali ke rumah tersebut ditemani dengan kerabat temannya yang membawa keponakannya yang anggota ABRI. Ketika kembali ke rumah mantan suaminya ini, Tania merasa sedih melihat kedua anaknya.
Tania kini sedang menapak masa depan yang lebih baik. Dia merasa lebih tenang dan bahagia. Sekali-kali dia mengunjungi ayahnya di Pontianak yang selalu menyambutnya dengan hangat. Namun hati Tania belum sepenuhnya lega karena sering terkenang pada dua anaknya yang masih kecil yang tinggal bersama mantan suaminya. Dia hanya dapat berdoa agar suatu saat nanti dapat berkumpul dengan kedua anaknya. Cinta Tania hanya untuk anak-anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H