Kisah seorang guru yang harus menjalani persidangan karena dituntut orangtua yang tidak terima anaknya dicubit, mengingatkan saya akan masa sekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 3 Singkawang.
Dibandingkan SMP lainnya di Kota Singkawang, sekolah ini dikenal unik karena cara penerapan disiplin yang relatif keras khususnya sampai pertengahan tahun 1980an. Ditambah dengan warna baju seragam pertama yang merupakan kombinasi baju biru muda dan bawahan biru tua, yang mirip dengan seragam narapidana masa itu, jadilah SMPN 3 dijuluki “sekolah penjara”.
Siswa di sekolah ini mulanya dikenal sebagai anak nakal dan “buangan”. Mereka dianggap “dibuang” oleh SMPN 1 dan SMPN 2 Singkawang, walau sebenarnya siswa tersebut dipindahkan ke sekolah baru (SMPN 3) sebagai siswa angkatan pertama tahun 1965. Kenakalan pada masa awal SMPN 3 antara lain beberapa siswa laki-laki yang mengikat seorang siswi di pohon di belakang sekolah dan yang mengajak guru berkelahi.
Kepala Sekolah SMPN 3 yang pertama, Bapak Soetrisno yang disiplin dan berwibawa, telah menanamkan dasar disiplin yang kokoh di sekolah ini. Sesekali, Bapak Kepala Sekolah menggendong anaknya ke sekolah dengan kain gendongan, namun sama sekali tidak mengurangi wibawa beliau.
Sifat kepemimpinan Kepala Sekolah tersebut menyebabkan Bapak Eko Marseto, yang pada tahun 1969 masih berusia 19 tahun dan baru pertama kalinya menjadi guru, dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan lancar.
Padahal sebagian siswanya terkenal nakal, berbadan lebih besar dan berumur lebih tua dari beliau. Bapak Eko Marseto, guru Ilmu Ukur, kemudian dikenal sebagai guru yang paling ditakuti sekaligus disegani, karena sering menghukum dengan mencubit siswa yang melanggar peraturan.
Disiplin yang keras dicerminkan oleh berbagai hukuman yang dikenakan pada siswa yang melanggar peraturan. Misalnya secara berkala, ketika sedang belajar, seorang guru akan masuk ke ruang kelas untuk melakukan razia rambut. Siswa laki-laki yang rambutnya melebihi bagian bawah telinga dan siswa perempuan berambut panjang yang rambutnya tidak diikat, akan mendapatkan hukuman berupa pemotongan rambut.
Kuku harus bersih dan tidak boleh panjang. Jika ada razia dan kuku siswa terlihat tidak sesuai standar, maka kuku tersebut dipukul dengan penggaris atau pemukul lonceng. Siswa yang terlambat datang untuk membersihkan kelasnya, sesuai jadwal yang telah ditentukan, akan dijemur di halaman sekolah.
Siswa yang ketahuan menonton film 17 tahun keatas, akan dihukum lari keliling kota melewati tiga bioskop di Kota Singkawang, tanpa alas kaki bagi siswa laki-laki dan perempuan, ditambah telanjang dada bagi siswa laki-laki. Namun hukuman tersebut tidak juga membuat beberapa siswa jera, terbukti dengan melanggar kembali aturan sekolah.
Juga terdapat siswa pendatang, yang umumnya adalah anak pejabat daerah yang berasal dari luar Kalimantan Barat khususnya Jawa. Cukup banyak siswa Tionghoa yang memilih SMPN 3 selain SMP Katolik Bruder dan Suster, antara lain karena saudara-saudaranya sekolah di sini, SMPN 3 sebagai sekolah berprestasi dan merasa nyaman karena tidak ada perbedaan perlakuan terhadap siswa yang berbeda latar belakang.
SMPN 3 tidak hanya terkenal dengan penerapan disiplin yang keras, tetapi juga sangat menonjol dalam bidang seni. Bapak Eko Marseto yang terkenal galak, memiliki jiwa seni yang sangat kental.
Bengkel Seni SMPN 3 sangat terkenal di Singkawang dengan grup band laki-laki, grup band perempuan, para penari dan pemusik tradisional yang semuanya adalah siswa sekolah tersebut. Didukung oleh guru lain yang juga berjiwa seni, seperti Bapak Johari Pion, dan Ibu Guru Surlina dan Marinem sebagai juru rias, Bengkel Seni sekolah ini merajai panggung hiburan masyarakat di Singkawang.
Bisa jadi pertunjukan tersebut dilarang karena telah melibatkan anak-anak dalam kegiatan politik, walau anak-anak baru gede tersebut sangat bangga bisa menghibur masyarakat.
Siswa juga memiliki kegiatan ekstra kurikuler lainnya seperti Pramuka, Palang Merah Remaja atau aktif berpartisipasi dalam berbagai perayaan dengan berpartisipasi dalam paduan suara dan gerak jalan.
Bahkan waktu membuktikan mata pelajaran Bahasa Inggris yang diajar oleh Ibu Ida Zubaidah ketika SMP, telah memberi banyak manfaat bagi alumninya sampai sekarang. Pelajaran PKK juga telah memberikan bekal life skill bagi siswa baik laki-laki maupun perempuan.
Berbagai bentuk hukuman, yang menurut kategori sekarang mungkin bisa dianggap melanggar hak azasi manusia, telah disyukuri karena telah menyumbang dalam menjadikan mereka antara lain berpenampilan rapi, disiplin, tangguh dalam mengarungi kehidupan dan sukses dalam karir dan kegiatan masing-masing.
Namun dari hasil perbincangan dengan beberapa alumni, mereka tidak yakin sebagai orangtua, dan anak-anak mereka, mau melalui cara penegakan disiplin seperti yang pernah mereka alami. Zaman memang telah berubah.
Orang yang semula tak berminat menjadi guru pun akhirnya menjadi guru. Ada yang berhasil mencintai pekerjaannya, namun ada yang lebih mengharapkan penghasilannya saja.
Namun pada sisi lain, sebagian orangtua membuat anak kurang mandiri dan cengeng yang justru kurang membantu guru dalam mendidik siswa. Siswa yang bermasalah, apapun masalahnya, sesungguhnya sangat memerlukan kehadiran guru.
Hanya guru yang berdedikasi dan berintegritas yang mampu melalui masa sulit ini. Mereka akan mampu mendidik dengan memadukan rasa kasih sayang, sabar, memiliki sikap dan bersikap tegas terhadap siswa.
Guru tidak hanya dituntut untuk terus belajar dan berwawasan luas, tetapi juga memiliki kecerdasan emosi dan spiritual yang tinggi sehingga mereka mampu menjalankan tugas dalam memberi bekal kepada siswanya, demi masa depan yang lebih cerah. Guru, orangtua, masyarakat dan Pemerintah, sesungguhnya bisa berpadu secara harmonis dalam mempersiapkan generasi Indonesia yang lebih baik untuk masa yang akan datang.
Sumber bahan tulisan:
Pengalaman pribadi, Profil Alumni dalam Buku Acara Reuni Emas SMPN 3 Singkawang, Grup WA Simpul Alumni SMPN 3 SKW, dokumen pribadi Ibu Guru Sri Hartini, wawancara dengan beberapa guru antara lain Bapak Eko Marseto dan Ibu Marinem, beberapa alumni serta Panitia Reuni Emas SMPN 3 Singkawang 2016.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI