Mohon tunggu...
Fariastuti Djafar
Fariastuti Djafar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Pembelajar sepanjang hayat, Email:tutidjafar@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mempertanyakan Pembangunan di Perbatasan Kalimantan Barat (Bagian Satu)

4 Januari 2016   06:41 Diperbarui: 4 Januari 2016   10:31 3328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong, Kabupaten Sanggau"][/caption]Tulisan Gapey Sandi (GS) yang berjudul “Jokowi Kebut Pembangunan 7 Pos Lintas Batas Negara” menimbulkan beberapa pertanyaan di benak saya. Saya tidak mengetahui sejauh mana pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain yang berbatasan dengan Timor Leste pada saat ini, sehingga ditargetkan rampung pada 26 Oktober 2016 (Di sini). 

Yang jelas, belum terlihat tanda-tanda yang berarti bahwa akan ada pembangunan gedung baru di PLBN Entikong, Aruk dan Badau di Kalimantan Barat (Kalbar). Jika belum dimulai, bagaimana pembangunan ketiga PLBN tersebut akan dikebut sehingga bisa siap akhir 2016. Anggaran untuk pembangunan PLBN Aruk dan Badau juga tidak disebutkan walau pembangunan kedua PLBN tersebut juga ditargetkan rampung akhir 2016.

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi yang sebagian besar berdasarkan hasil observasi lapangan tentang ketiga PLBN di Kalbar. Diharapkan pembaca dapat memperoleh gambaran yang lebih lengkap dan membuat kesimpulan yang lebih tepat dari pembangunan perbatasan. Beberapa pertanyaan yang diajukan lebih tepat untuk Pemerintah Pusat yang memiliki otoritas pengelolaan PLBN.

PLBN, PPLB dan PLB

Istilah Pos Lintas Batas Negara (PLBN) agak asing bagi orang yang sudah lama berkecimpung dengan isu perbatasan. Sekitar awal Desember 2015, dalam pertemuan tindak lanjut Sidang Sosial ekonomi Malaysia-Indonesia (Sosek Malindo) Kalbar-Sarawak yang telah dilaksanakan November 2015, salah satu wakil instansi Provinsi Kalbar mempertanyakan mana istilah yang tepat, apakah Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB), Pos Lintas Batas (PLB) atau PLBN. Tidak ada jawaban yang jelas kecuali mengacu pada nama yang telah digunakan sebelumnya. 

PPLB dan PLB adalah istilah resmi yang telah digunakan sejak PPLB darat pertama di Indonesia (PPLB Entikong) didirikan pada 1989. PPLB adalah nama untuk pintu perbatasan resmi internasional di mana pelintas batas harus menggunakan paspor kecuali penduduk perbatasan.

[caption caption="PPLB Entikong tampak dari arah Indonesia"]

[/caption]Sementara itu, PLB adalah nama untuk pos lintas batas yang belum resmi. PLB hanya diperbolehkan untuk lalu lintas penduduk yang tinggal di daerah perbatasan -sekitar 20 Km dari garis nol- yang umumnya mencakup satu atau dua kecamatan -lini satu perbatasan- dalam satu kabupaten. Untuk keperluan lintas batas, diperlukan kartu Pas Lintas Batas. Pemegang kartu tersebut hanya boleh berpergian dalam radius 20 Km di negara tetangga. Mereka harus menggunakan paspor jika akan berpergian keluar dari daerah perbatasan negara tetangga. 

[caption caption="Pas Lintas Batas untuk penduduk perbatasan"]

[/caption]PPLB sekaligus berfungsi sebagai PLB untuk memfasilitasi mobilitas penduduk perbatasan. PPLB merupakan peningkatan status dari PLB. Tidak semua PLB berstatus sebagai PPLB. PLB adalah pos yang didirikan di perbatasan yang relatif ramai dilintasi penduduk. 

Kalbar setidaknya memiliki tiga PLB yang belum berstatus PPLB seperti PLB Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, PLB Jagoi, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang dan PLB Jasa, Kabupaten Sintang. Bangunan PLB sangat sederhana dan PLB dijaga oleh aparat militer dari angkatan darat.

[caption caption="Plang nama sederhana tanda dimulainya titik nol Negara Indonesia di Desa Jajoi, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang"]

[/caption]

[caption caption="Pos Lintas Batas Jagoi, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang"]

[/caption]

[caption caption="Pos Lintas Batas Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas"]

[/caption]Kalbar memiliki garis batas yang cukup panjang dengan Malaysia yaitu sekitar 966 Km dan hanya beberapa tempat yang memiliki PLB. Ketiadaan PLB tidak menghalangi penduduk setempat untuk melintas batas melalui jalan-jalan setapak yang biasa disebut dengan jalan tikus. 

Perbedaan defenisi antara PPLB dan PLB, menyebabkan istilah PLB Negara (PLBN) menjadi rancu. PLBN dalam tulisan GS adalah untuk Pos Lintas Batas resmi. Apakah Pemerintah Pusat telah mengubah nama PPLB menjadi PLBN tanpa pemberitahuan kepada Pemerintah Daerah yang daerahnya mencakup daerah perbatasan? Ini misalnya terlihat dari presentasi terbaru (2015) Bupati Kabupaten Sanggau tentang Sanggau sebagai daerah perbatasan yang tetap menggunakan istilah PPLB bukan PLBN Entikong. Sejak kapan perubahan istilah tersebut berlaku, apa dasar hukumnya dan apa istilah pos lintas batas yang belum resmi?

PPLB/PLBN dan Daerah Perbatasan

Terdapat perbedaan antara PPLB/PLBN dan daerah perbatasan. Daerah perbatasan mencakup PPLB yaitu lokasi dengan fasilitas ICQS (Immigration, Custom, Quarantine and Security) dan wilayah di luar PPLB. PPLB berada di bawah otoritas Pemerintah Pusat sementara wilayah di luar lokasi PPLB berada di bawah otoritas Pemerintah Daerah. Koordinasi yang tidak selalu lancar antara pusat dan daerah menyebabkan kecamatan/kabupaten perbatasan terkadang merasa diabaikan sementara mereka harus merasakan dampak langsung dari keberadaan PPLB.

Kalbar memiliki tiga PPLB yaitu Entikong, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau (diresmikan pada 1989), PPLB Aruk, Kecamatan Sajingan, Kabupaten Sambas dan PPLB Badau, Kecamatan Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu (kedua PPLB mulai dioperasikan 2011 dan diresmikan pada 2012). Dalam rapat tindak lanjut Sosek Malindo tidak disinggung tentang bangunan baru kecuali ketidakjelasan pembangunan pelabuhan darat (inland port) untuk perdagangan internasional di PPLB Entikong.

Proyek apa sebenarnya di daerah perbatasan yang ditargetkan siap pada akhir 2016? Apakah para wakil instansi antara lain Kepolisian, Bea Cukai, Imigrasi, Balai Karantina dan Bank Indonesia yang tergabung dalam Sosek Malindo tidak mengetahui sama sekali bangunan megah yang segera atau sedang dibangun di ketiga PPLB? Apakah Pemerintah Pusat diam-diam membangun tanpa memberitahu mereka? Rasanya tidak mungkin. 

Berdasarkan pernyataan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU dan Pera) Basuki Hadimuljono, Pemerintah Pusat tampaknya mendahulukan pembangunan jalan yang berada di luar lokasi PPLB. Jalan ini termasuk kategori jalan negara sehingga pembangunannya dibiayai oleh Pemerintah Pusat.

“....pembangunan jalan lintas paralel perbatasan Kalimantan-Malaysia tuntas 2018. Dibutuhkan anggaran Rp 15,1 triliun untuk melakukan perbaikan dan pembangunan jalan baru termasuk untuk lintas paralel. Total ruas jalan nasional Kalimantan tahun ini adalah sepanjang 7.619 kilometer (km). Panjang tersebut membentang, antara lain 1.204 km di Kalimantan Selatan, 2.002 km di Kalimantan Tengah, 1.710 km di Kalimantan Timur, 585 km di Kalimantan Utara, dan 2.117 km di Kalimantan Barat.” (Di sini )

Sebagian pembangunan jalan khususnya pelebaran jalan di Kabupaten Sanggau yang mencakup daerah perbatasan yaitu Kecamatan Entikong dan Sekayam (dengan ibukota Balai Karangan) ditargetkan selesai akhir 2016.

“Dirjen Bina Marga Kementrian PU, Hediyanto W Husaeni mengatakan, pelebaran jalan akses di Entikong dari Balai Karangan hingga Entikong dengan total 21 km yang akan selesai di 2016. Namun, untuk tahun 2015 sendiri ditargetkan 5-7 km jalan sudah selesai dilebarkan (Di sini ).

Perdagangan Lintas Batas

Perdagangan lintas batas terdiri dari perdagangan internasional (ekspor dan impor) dan tradisional. Perdagangan internasional mengikuti prosedur yang berlaku umum. Perdagangan tradisional hanya untuk penduduk perbatasan dengan menggunakan Kartu Identitas Lintas Batas (KILB).

Setiap penduduk yang tinggal di perbatasan bisa mendapatkan KILB dengan syarat memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) kecamatan perbatasan, misalnya KTP Entikong atau Sekayam untuk PPLB Entikong, serta memiliki Pas Lintas Batas. Berdasarkan perjanjian Sosek Malindo, setiap orang mendapat ijin belanja keperluan pribadi/rumah tangga ke Malaysia dengan nilai maksimal RM 600 per bulan.

Hal ironis terjadi menjelang berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dimulai 31 Desember 2015. Perdagangan internasional melalui PPLB Entikong yang dimulai sejak 27 Mei 1995 dihentikan sekitar Mei 2014. Pemerintah Indonesia melarang impor barang dari Malaysia melalui PPLB Entikong sementara ekspor ke Malaysia masih diijinkan. 

Pelarangan impor tersebut berdampak drastis terhadap penurunan ekspor dari Malaysia ke Indonesia melalui PPLB Entikong dari sekitar US $ 200 juta pada 2013 menjadi hanya sekitar US $ 80 juta pada 2014 sebelum ekspor Malaysia dihentikan pada Mei 2014 (Di sini): 

Menurut informasi dari aparat terkait, dasar pemberhentian perdagangan internasional lintas batas yaitu peraturan perdagangan internasional yang hanya mencakup pelabuhan laut. Peraturan tersebut tidak mengatur perdagangan internasional melalui darat sementara PPLB Entikong adalah pelabuhan darat.

Perdagangan internasional juga mensyaratkan fasilitas terminal barang yang belum dimiliki oleh PPLB Entikong. Jika ketiadaan peraturan dan fasilitas terminal barang yang menjadi dasar pelarangan impor, ini berarti perdagangan internasional yang telah berlangsung sejak 1995 dianggap tidak legal. Anehnya, ekspor masih diijinkan padahal terminal barang harusnya untuk ekspor dan impor.

Sebelum pemberhentian perdagangan internasional, aparat Bea Cukai di PPLB Entikong juga semakin memperketat pengawasan arus masuk barang melalui perdagangan tradisional. Ini karena sering terjadi penyalahgunaan KILB di mana seseorang yang notabene pedagang bisa memegang banyak KILB dengan alasan banyak yang menitip. Akibatnya jumlah barang yang dibawa masuk melebihi ketentuan perorangan/rumah tangga sehingga disinyalir barang tersebut bukan untuk keperluan rumah tangga tetapi untuk diperdagangkan. Pemasukan barang untuk keperluan perdagangan harus melalui prosedur perdagangan internasional.  

Pelarangan impor disertai pengetatan pengawasan perdagangan tradisional cukup menimbulkan gejolak di perbatasan. Wartawan Tempo melaporkan situasi di PPLB Entikong pada 19 September 2014 berikut ini (Di sini): 

"Saat demo itu berlangsung, aktivitas di pintu perbatasan Entikong sempat lumpuh selama enam jam. Para petugas Bea dan Cukai Entikong sempat membubarkan diri karena takut aksi warga tersebut. Akhirnya, kerja petugas Bea dan Cukai diambilalih sementara oleh aparat kepolisian hingga suasana aman dan mereka bisa kembali bekerja."

Ketidakjelasan perdagangan internasional di PPLB Entikong mendorong semakin maraknya perdagangan tidak legal. Para pedagang menggunakan berbagai cara agar mereka terlihat membawa barang dengan jumlah yang tidak berlebihan.

Cara yang ditempuh antara lain begitu keluar dari PPLB Tebedu Malaysia barang bawaan dibagi menjadi beberapa bagian. Selanjutnya pengangkut barang (porter) membawa barang keluar dari lokasi PPLB dengan cara memanjat pagar pembatas PPLB. Ini dilakukan untuk menghindar dari pemeriksaan Bea Cukai. 

[caption caption="Porter sedang menuju pagar batas PPLB Entikong untuk mengeluarkan barang yang berada dekat bangunan sebelah kiri yang terlihat banyak tiangnya "]

[/caption]

[caption caption="Porter terlihat ramai di sekitar pagar pembatas PPLB Entikong untuk mengeluarkan barang dengan cara memanjat pagar."]

[/caption]Pernyataan Presiden Joko Widodo seperti yang dikutip GS: 

“PLBN Terpadu Motaain akan menjadi titik pertumbuhan ekonomi baru. Sekaligus, kita menginginkan arus barang dari Indonesia ke Timor Leste jumlahnya semakin banyak. Jangan malah sebaliknya. Ini akan menjadi contoh bahwa yang namanya muka terdepan itu diperlukan. Baik sebagai kebanggaan Bangsa Indonesia, maupun dari sisi ekonomi sebagai titik pertumbuhan ekonomi guna mendorong ekspor dari Indonesia ke negara tetangga,”. (Di sini)

Tentu saja bagus jika Indonesia mampu mengekspor lebih banyak daripada mengimpor. Namun dalam perdagangan internasional, hubungan timbal balik adalah hal yang wajar. Malaysia misalnya tentu tidak mau terus mengimpor barang dari Indonesia jika barang mereka tidak boleh masuk ke Indonesia. Selain itu, sebagian barang impor juga diperlukan sebagai bahan baku produk Indonesia. 

Ketidakjelasan perdagangan internasional di PPLB Entikong sedikit banyak akan berdampak terhadap perekonomian daerah perbatasan khususnya dan Kalbar umumnya. Pejabat di daerah seperti hilang akal karena mereka terikat dengan peraturan sementara mereka tidak memiliki otoritas untuk mengambil kebijakan. Saya hanya mampu bertanya apakah tidak ada koordinasi antara instansi terkait di pusat dan di daerah untuk mengatasi hal tersebut. Tidak ada jawaban yang memuaskan dari instansi di daerah karena semua tergantung Jakarta.

Bersambung pada Bagian Dua.

Catatan: Semua foto adalah koleksi pribadi kecuali jika disebutkan sumbernya. 

---

Referensi tanpa link:

Pemerintah Kabupaten Sanggau, Bupati Sanggau (Mei 2015). Revitalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional di Wilayah Perbatasan.

Pemerintah Kabupaten Sambas, Bupati Sambas (November 2014). Pembangunan Industri dan Mobilitas di Wilayah Perbatasan.

Link terkait:

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun