Mohon tunggu...
Fariastuti Djafar
Fariastuti Djafar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Pembelajar sepanjang hayat, Email:tutidjafar@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mempertanyakan Pembangunan di Perbatasan Kalimantan Barat (Bagian Satu)

4 Januari 2016   06:41 Diperbarui: 4 Januari 2016   10:31 3328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perdagangan lintas batas terdiri dari perdagangan internasional (ekspor dan impor) dan tradisional. Perdagangan internasional mengikuti prosedur yang berlaku umum. Perdagangan tradisional hanya untuk penduduk perbatasan dengan menggunakan Kartu Identitas Lintas Batas (KILB).

Setiap penduduk yang tinggal di perbatasan bisa mendapatkan KILB dengan syarat memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) kecamatan perbatasan, misalnya KTP Entikong atau Sekayam untuk PPLB Entikong, serta memiliki Pas Lintas Batas. Berdasarkan perjanjian Sosek Malindo, setiap orang mendapat ijin belanja keperluan pribadi/rumah tangga ke Malaysia dengan nilai maksimal RM 600 per bulan.

Hal ironis terjadi menjelang berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dimulai 31 Desember 2015. Perdagangan internasional melalui PPLB Entikong yang dimulai sejak 27 Mei 1995 dihentikan sekitar Mei 2014. Pemerintah Indonesia melarang impor barang dari Malaysia melalui PPLB Entikong sementara ekspor ke Malaysia masih diijinkan. 

Pelarangan impor tersebut berdampak drastis terhadap penurunan ekspor dari Malaysia ke Indonesia melalui PPLB Entikong dari sekitar US $ 200 juta pada 2013 menjadi hanya sekitar US $ 80 juta pada 2014 sebelum ekspor Malaysia dihentikan pada Mei 2014 (Di sini): 

Menurut informasi dari aparat terkait, dasar pemberhentian perdagangan internasional lintas batas yaitu peraturan perdagangan internasional yang hanya mencakup pelabuhan laut. Peraturan tersebut tidak mengatur perdagangan internasional melalui darat sementara PPLB Entikong adalah pelabuhan darat.

Perdagangan internasional juga mensyaratkan fasilitas terminal barang yang belum dimiliki oleh PPLB Entikong. Jika ketiadaan peraturan dan fasilitas terminal barang yang menjadi dasar pelarangan impor, ini berarti perdagangan internasional yang telah berlangsung sejak 1995 dianggap tidak legal. Anehnya, ekspor masih diijinkan padahal terminal barang harusnya untuk ekspor dan impor.

Sebelum pemberhentian perdagangan internasional, aparat Bea Cukai di PPLB Entikong juga semakin memperketat pengawasan arus masuk barang melalui perdagangan tradisional. Ini karena sering terjadi penyalahgunaan KILB di mana seseorang yang notabene pedagang bisa memegang banyak KILB dengan alasan banyak yang menitip. Akibatnya jumlah barang yang dibawa masuk melebihi ketentuan perorangan/rumah tangga sehingga disinyalir barang tersebut bukan untuk keperluan rumah tangga tetapi untuk diperdagangkan. Pemasukan barang untuk keperluan perdagangan harus melalui prosedur perdagangan internasional.  

Pelarangan impor disertai pengetatan pengawasan perdagangan tradisional cukup menimbulkan gejolak di perbatasan. Wartawan Tempo melaporkan situasi di PPLB Entikong pada 19 September 2014 berikut ini (Di sini): 

"Saat demo itu berlangsung, aktivitas di pintu perbatasan Entikong sempat lumpuh selama enam jam. Para petugas Bea dan Cukai Entikong sempat membubarkan diri karena takut aksi warga tersebut. Akhirnya, kerja petugas Bea dan Cukai diambilalih sementara oleh aparat kepolisian hingga suasana aman dan mereka bisa kembali bekerja."

Ketidakjelasan perdagangan internasional di PPLB Entikong mendorong semakin maraknya perdagangan tidak legal. Para pedagang menggunakan berbagai cara agar mereka terlihat membawa barang dengan jumlah yang tidak berlebihan.

Cara yang ditempuh antara lain begitu keluar dari PPLB Tebedu Malaysia barang bawaan dibagi menjadi beberapa bagian. Selanjutnya pengangkut barang (porter) membawa barang keluar dari lokasi PPLB dengan cara memanjat pagar pembatas PPLB. Ini dilakukan untuk menghindar dari pemeriksaan Bea Cukai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun