Anda pernah mendengar kota Singkawang, Kalimantan Barat ? Kota ini juga dikenal sebagai Kota Amoy karena banyak penduduk Tionghoa dan sebagai tempat perayaan besar Cap Goh Meh. Dengan jumlah penduduk yang tidak begitu banyak (pada tahun 2012 tidak sampai 200 ribu jiwa), ternyata para pejabat di daerah ini tidak mampu mengatasi maraknya pungutan yang dilakukan pihak sekolah. Pemerintah yang selalu menghimbau dan sekali-kali melakukan “gertak sambal” tanpa disertai sanksi yang tegas atau dibawa ke jalur hukum telah menyebabkan sekolah dengan amannya meneruskan kebiasaan yang telah berlangsung cukup lama.
Walau Pemerintah selalu membanggakan kebijakan sekolah gratis di kota ini, jangan cepat terpesona bahwa semuanya serba gratis. Memang tidak ada uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) bulanan di sekolah negeri. Tetapi sekolah yang sudah berpengalaman, sangat cerdas dan kreatif dalam menggalang berbagai pungutan di luar uang sekolah, dengan tenangnya terus memungut uang antara lain dengan menggunakan saat pendaftaran siswa baru dan pendaftaran ulang siswa lama sebagai momentumnya.
Dari foto yang diupload pada facebook Ridha Wahyudi, yang mengajak anggota facebooknya untuk melaporkan berbagai pungutan untuk dilanjutkan kepada Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi, saya mendapatkan daftar biaya pendaftaran salah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di kota Singkawang.
Apa yang ditemukan di Kota Singkawang bukan hal yang unik dan bahkan sudah menjadi masalah umum pendidikan di Indonesia. Saat ini adalah masa pendaftaran siswa baru dan pendaftaran ulang siswa lama dan pungutan-pungutan yang cukup besar membuat sebagian orangtua mengeluh dan putus asa dan seperti hilang harapan terhadap pemerintah. Siapapun presiden dan menterinya, apapun jargonnya termasuk “revolusi mental”, tampaknya pungutan tetap jalan terus.
[caption caption="Rincian biaya pendaftaran siswa baru pada salah satu SMPN Singkawang. Sumber: Ridha Wahyudi facebook"][/caption]
Dari daftar biaya pendaftaran, perlu digarisbawahi beberapa hal sebagai berikut:
Sumbangan perawatan lingkungan dan fasilitas pendidikan
Pungutan jenis ini dengan berbagai nama merupakan pungutan favorit untuk dilakukan sekolah. Pungutan tersebut mudah dicarikan alasannya karena dicari bangunan fisik yang belum ada atau yang perlu diperbaiki. Selain itu mudah dilakukan double funding yaitu dibangun dengan menggunakan anggaran pemerintah namun dijadikan bukti oleh pihak sekolah kepada orangtua sebagai wujud dari sumbangan yang diberikan orangtua. Permainan yang lebih kasar bahkan sering terjadi yaitu fisiknya tidak ada tetapi tiap tahun menjadi iuran wajib yang harus dibayar siswa baru seperti uang pagar. Secara tidak langsung sekolah sudah memberikan contoh korupsi kepada anak-anak.
Seringkali Pemerintah menyetujui adanya pungutan jika sudah disetujui oleh Komite Sekolah tanpa atau pura-pura tidak mencium adanya aroma perselingkuhan antara beberapa orangtua yang biasanya “orang penting” di daerah yang sangat mendominasi pengambilan keputusan dalam Komite Sekolah dengan pihak sekolah. Orangtua ini berkepentingan agar anaknya diperhatikan pihak sekolah dengan cara menyetujui usulan pihak sekolah tanpa peduli bagaimana sikap orangtua yang lain.
Seorang teman yang pernah menjadi anggota komite sekolah di satu SMA favorit di Pontianak pernah mengusulkan untuk membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan uang pungutan Komite Sekolah dalam rapat Komite Sekolah. Ketua Komite Sekolah yang kebetulan seorang guru besar menyatakan itu tidak perlu karena percaya kepada pihak sekolah dan sebagian besar anggota Komite Sekolah setuju. Jangan salahkan orangtua miskin yang tidak mau menjadi anggota Komite Sekolah karena mereka terlalu sibuk mencari nafkah disamping merasa “kecil” dengan anggota Komite Sekolah yang biasanya pejabat atau orang-orang penting daerah setempat. Walau tidak semua anggota Komite Sekolah selalu sejalan dengan pihak sekolah, acapkali mereka adalah minoritas.
Mekanisme lain yang digunakan pihak sekolah adalah dengan menggunakan peran Ketua Kelas yang masih tergolong anak-anak atau Anak Baru Gede (ABG). Seorang teman di Pontianak bercerita bagaimana dia harus mengantar anaknya yang ketua kelas di sekolah di SMA favorit untuk membeli alat-alat kebersihan sekolah seperti sapu, ember dan sebagainya yang uangnya dikumpulkan dari teman-teman sekelasnya. Keponakan seorang teman di Singkawang bercerita beban beratnya sebagai Ketua Kelas karena diminta mengumpulkan uang dari teman-temannya hampir setiap bulan untuk membeli dari gordyn sampai sapu (memangnya anggaran pemerintah tidak ada?). Sang anak yang masih kelas 2 SMP favorit ini merasa kasihan dengan teman-temannya yang kurang mampu karena pungutan-pungutan tersebut. Ini bukti betapa cerdasnya pihak sekolah menggunakan anak-anak demi kepentingan individu pihak sekolah.
Sumbangan hadiah juara
Rupanya sekolah ini mengandalkan pungutan kepada siswa baru untuk memberi hadiah kepada juara. Juara tidak selalu dalam bentuk uang atau barang. Jika tidak mempunyai anggaran untuk hadiah, berikan saja sertifikat sehingga tidak perlu membebani orangtua siswa. Sekolah di negara-negara maju biasa memberikan sertifikat sebagi penghargaan kepada siswa. Ketika pejabat bidang pendidikan studi banding ke negara maju, tidak melihat hal inikah yang patut dicontoh, jadi bukan hanya sekedar jalan-jalan saja.
Baju seragam
Sekolah harusnya mengajar hidup hemat dan sederhana tetapi ternyata tidak selalu demikian. Baju seragam baru harus dibeli siswa baru tak peduli siswa tersebut punya kakak yang baju seragamnya sudah kekecilan sehingga bisa untuk si adik. Baju seragam ini juga sebenarnya cara pandang bagaimana supaya tidak terlihat jurang antara kaya dan miskin dengan pengorbanan orang miskin. Bukankah yang berat membeli baju seragam adalah orang miskin ? Mengapa bukan siswa kaya saja diwajibkan menggunakan pakaian sederhana supaya tidak jauh berbeda dengan siswi miskin?
Tabungan pelajar
Mengajar anak menabung adalah bagus. Kalau baju seragam wajib beli walau baju punya si kakak masih layak pakai sehingga membuang uang yang tidak perlu, di sisi lain sekolah mewajibkan hidup hemat dengan mewajibkan menabung. Tampaknya sekolah lebih mementingkan uang masuk ke sekolah dengan mengatasnamakan tabungan daripada menanamkan budaya hidup hemat. Masalahnya adalah ketika menabung diwajibkan pihak sekolah tanpa memandang kemampuan orangtua siswa.
Iuran Qurban
Jika ada berita tentang sekolah menyumbang hewan untuk perayaan kurban, jangan cepat memuji sebagai sekolah yang peduli kepada orang miskin. Bahkan yang terjadi bisa sebaliknya karena iuran qurban ini diperoleh dengan cara “pemaksaan secara halus” melalui proses pendaftaran siswa baru. Pungutan tersebut justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Ibadah qurban adalah untuk Muslim, bagaimana dengan siswa non Muslim?. Selain itu, anak SMP Muslim tidak wajib untuk berqurban karena mereka belum mempunyai penghasilan dan orangtuanya belum tentu mampu. Qurban adalah ibadah individu, bukan lembaga seperti sekolah. Jadi, pihak sekolah tidak layak merasa berbangga telah melaksanakan qurban dengan menarik iuran qurban dari siswa baru. Apakah sekolah ini betul akan menggunakan uangnya untuk ibadah qurban ? Ini juga masih perlu dibuktikan karena sudah menjadi rahasia umum sekolah setiap tahun menarik iuran untuk “uang pagar” tetapi pagar sekolah tidak juga dibangun atau dibangun dengan menggunakan anggaran pemerintah.
Masih banyak jenis pungutan lain yang bisa ditambahkan pada daftar di atas. Sekarang, apakah menteri pendidikan Anis Baswedan akan mengulang “gertak sambal” model pejabat sebelumnya yang ternyata tidak mampu menghentikan pungutan pihak sekolah ? Sampai hari ini belum terdengar sikap pak Menteri terhadap pungutan sekolah tersebut. Berbagai pungutan dalam situasi ekonomi yang lesu akhir-akhir ini akan menambah berat beban orangtua yang bahkan bisa menyebabkan mereka meminjam uang dari rentenir untuk pendidikan anak-anak mereka. Pemerintah kita tampaknya lebih heboh dengan “kartu pintar” dan “revolusi mental” yang anggarannya luar biasa besarnya daripada menindak tegas praktek yang telah berlangsung lama di sekolah negeri.
Sudah saatnya pemerintah memberi sanksi tegas kepada pihak sekolah agar menghentikan segala macam pungutan yang tidak jelas dan bahkan jika perlu dengan melibatkan Komite Pemberantasan Korupsi (KPK). Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga harus turun tangan bergerilya mencari informasi dari para ketua kelas SMP dan SMA agar mereka tidak dieksploitasi pihak sekolah untuk meminta sumbangan teman-temannya untuk keperluan sekolah yang jelas-jelas ada anggarannya dari Pemerintah. Ini perlu dilakukan hati-hati. Jangan sampai si anak ditekan pihak sekolah karena telah melaporkan hal tersebut.
Pada saat ini jangan terlalu banyak berharap kepada penilik sekolah yang di antaranya adalah mantan kepala sekolah yang dulunya sebagian dari mereka mungkin melakukan praktek yang sama di samping mereka adalah kolega yang “tahu sama tahu”. Mereka justru perlu ditegur dan ditindak tegas oleh pejabat terkait jika sekolah yang diawasinya melakukan pungutan-pungutan yang tidak semestinya, kecuali mereka sudah membuat laporan tapi tidak digubris oleh atasannya.
Tulisan ini juga memberikan penghargaan kepada sebagian guru yang tidak menyetujui apa yang dilakukan pihak sekolah tempat mereka mengajar tetapi tak pernah digubris suaranya. Mereka yang punya anak-anak usia sekolah juga menjadi korban dari sesama koleganya yang mungkin berada di sekolah lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H