Mohon tunggu...
Fariastuti Djafar
Fariastuti Djafar Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Pembelajar sepanjang hayat, Email:tutidjafar@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Bola

Lompatan Budaya Melalui Ibadah Haji

12 Oktober 2013   22:33 Diperbarui: 30 Juli 2017   20:14 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak hal yang bukan ibadah ritual yang kurang diperhatikan dalam penyelenggaraan ibadah haji yang dapat mengganggu kenyamanan ibadah ritual. Bagi sebagian besar jamaah haji, ibadah haji adalah suatu lompatan budaya. 

Untuk pertama kalinya mereka naik pesawat terbang dan berpergian sangat jauh. Padahal ada atau banyak di antara mereka yang sebelumnya tidak pernah keluar kampung atau kota tempat tinggalnya. 

Apa yang akan saya ceritakan ini juga  menjadi bahan pembicaraan para jamaah haji atau bahan cerita ketika pulang ke tanah air. Namun semua itu hanya dianggap pernak pernik ibadah haji apalagi adanya kekhawatiran dianggap tidak sabar. Bukankah ibadah haji adalah ujian kesabaran ? 

Jadi, jika melihat sesuatu yang kurang berkenan, anda diam saja sebab kalau disebutkan nanti akan segera dibalas langsung oleh Allah. Suatu anggapan yang salah kaprah yang tidak mendorong pada upaya perbaikan dan pembelajaran.

Pertama adalah soal toilet. Di Indonesia orang terbiasa dengan toilet jongkok dan membersihkan diri dengan menggunakan gayung. Jenis toilet ini berbeda dengan “flush” toilet  yang digunakan di pesawat dan  di Saudia Arabia/SA  (Mekah dan Medinah). Ada juga toilet jongkok di SA tetapi tetap sejenis “flush” toilet yang untuk membersihkannya harus dengan menarik tali yang terletak didekatnya. 

Seumur hidup pertama kali menggunakan toilet duduk  di pesawat akan menimbulkan rasa takut bagi orang yang lugu. Akibatnya ada jemaah yang menahan diri untuk tidak ke toilet selama dalam perjalanan. 

Kalaupun terpaksa ke toilet, mereka akan jongkok di tempat yang seharusnya untuk duduk, atau bahkan ada yang terpaksa buang air besar di lantai toilet yang membuat repot pramugari/a. Ada yang bertanya bagaimana cara menggunakannya dengan jamaah yang disebelahnya, namun tetap tidak mudah bagi mereka yang serba takut untuk mencoba sesuatu yang baru.

Kisah toilet berlanjut selama di SA. Walau sudah diajarkan oleh jamaah yang peduli, malas membiasakan diri dengan hal yang baru menyebabkan seringkali toilet tidak bersih karena begitu selesai digunakan langsung ditinggal tanpa “flush”.  

Untuk mengingatkan, saya menulis  “tarik tali ini jika selesai buang air” dengan huruf besar dan menggunakan spidol pada sehelai kertas dan di tempel  di dinding toilet tetapi juga kurang diperhatikan. Kalau kebagian toilet yang ada “bath tube” nya (biasanya di Madinah) maka “bath tube” dijadikan tempat membersihkan diri setelah buang air besar karena mudah untuk jongkok dan air bekas membersihkan diri mudah dialirkan keluar.

Di Malaysia, tata cara ibadah haji yang ditayangkan di TV termasuk mengajarkan orang menggunakan “flush” toilet padahal “flush” toilet lebih umum digunakan di Malaysia daripada di Indonesia. Kepedulian bahwa tidak semua orang pernah menggunakan toilet jenis ini menyebabkan mereka perlu mengajarkannya dengan menunjukkan di tayangan TV.  

Kepedulian terhadap toilet juga ditunjukkan pada saat orientasi menjelang keberangkatan relawan Australia ke Indonesia. Ketika masih tinggal di Canberra, saya pernah diminta memberikan orientasi tentang kehidupan sehari-hari di Indonesia termasuk cara menggunakan toilet jongkok dan cara membersihkan diri dengan menggunakan gayung. 

Peserta orientasi antusias bertanya tanpa rasa malu. Hal ini berbeda dengan jamaah haji yang  bertanya dengan cara bisik-bisik  karena perilaku sebagian orang Indonesia yang “sok modern” yang mudah menyebut orang “kampungan” sehingga benar-benar membuat takut dan malu bagi orang-orang kampung yang lugu untuk bertanya sesuatu yang “remeh temeh”.

Kedua adalah pengaturan kamar di penginapan  yang sangat memprihatinkan. Begitu sampai di hotel para jamaah berebutan mencari kamar dan banyak  pasangan suami istri yang tidak mau pisah kamar.

 Padahal jamaah haji ada yang belum menikah dan risih jika dalam satu kamar bercampur laki-laki dan perempuan. Terkadang perlu adu mulut untuk mendapatkan kamar terpisah bagi laki-laki dan perempuan.

Coba lihat bagaimana Malaysia mengatur kamar untuk jamaahnya. Dalam tayangan manasik haji di TV Malaysia dijelaskan bahwa jamaah haji suami istri harus membawa  koper terpisah karena kamar laki-laki dan perempuan akan dipisah. Ditayangkan juga, ketika sampai di penginapan, daftar nama penghuni kamar sudah ditempel di pintu kamar. 

Dengan demikian, bukankah jamaah akan tertib dan mencari kamarnya masing-masing bukan rebutan seperti jamaah Indonesia ?  Selain itu dijelaskan ada petugas yang melayani keluhan termasuk keluhan “personal” seperti ada suami seorang jamaah perempuan yang sering masuk kamar perempuan. Dengan adanya otoritas pada pihak ketiga, bukankah akan menghindarkan “perang dingin atau perang mulut” antar jamaah ?

Apa yang saya alami pada tahun 2004 ternyata tidak beda dengan apa yang dialami kawan yang naik haji tahun lalu. Ini berarti kurang sekali pembenahan dalam hal yang ini. 

Memang tidak semua orang mengalami, terutama jika kebetulan berada dalam kelompok atau KBIH yang ketuanya mengerti pentingnya masalah ini dan mempersiapkan jamaah sejak sebelum berangkat. 

Masalahnya adalah orang yang pertama kali menjalankan ibadah haji, seringkali menganggap semuanya akan tertib karena sudah diatur pemerintah. Apalagi dalam manasik haji tidak ada pembahasan soal toilet dan kamar  jadi seakan akan semua beres. Sementara bagi yang pernah naik haji, tidak menganggap hal itu penting, walau pernah mengeluh juga. Orang lebih suka berpikir “yang penting lancar” walau tak selalu nyaman.

Perilaku jamaah haji ini didukung oleh tata kelola penyelenggaraan ibadah haji yang kurang memperhatikan hal-hal yang dianggap “remeh temeh” (kebiasaan penyelenggara Negara yang tidak mau repot ?).  Kapan Pemerintah Indonesia mengatur hal yang “kecil-kecil” seperti yang dilakukan Pemerintah Malaysia ? 

Indonesia memang mendapat penghargaan dunia dalam penyelenggaraan ibadah haji, dan semakin banyak perbaikan dilakukan terutama sejak Anggito menjadi Dirjen. Namun apakah mereka juga memperhatikan hal-hal yang saya kemukakan ? 

Alangkah indahnya menjalankan ibadah jika dijalankan secara tertib dan nyaman tanpa adu mulut atau terpaksa mengalah gara-gara  toilet kotor dan kamar yang bercampur untuk laki-laki dan perempuan.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun