Banyak orang sudah tahu dan menikmati kuliner di kota tua, tidak hanya di Jakarta tapi di kota bahkan di negara lain juga sama nikmatnya. Arsitektur, pengalaman dan mungkin resep masakan yang sudah berusia ratusan tahun yang diwariskan dari generasi ke generasi, bahkan ditambah dengan sentuhan modernitas yang membuat pesona kecantikan kota tua dan kulinernya yang dipelihara tidak pudar ditelan zaman yang terus bergulir.
Walaupun berdomisili di Jakarta, tapi belum tentu semua warga Jakarta pernah menginjakkan kaki di kota tua Jakarta apalagi menikmati kuliner nya. Banyak alasan untuk tidak berkunjung ke sini, mulai dari cuaca panas yang menyengat, daerah padat bangunan dan kumuh hingga sulitnya mencari tempat parkir.
Namun demikian, tidak sedikit yang berusaha sesering mungkin mampir ke kota tua Jakarta, baik untuk mencari barang maupun menikmati kuliner terutama kuliner jadul, tradisional dan peranakan.
Kali ini "meeting point" kami di Rumah Tea "Tea House Pancoran." Sayangnya di pagi hari itu ketika kami ingin menikmati teh di sana, hanya ada satu jenis teh yang tersedia, sehingga kami mengurungkan niat berkumpul di sana.
Kami langsung menyusuri trotoar yang penuh dengan gerobak pedagang yang masih tutup di pagi hari dan menengok sejenak toko obat China terkenal "Tay Seng Ho" yang sejak pandemi tidak menerima pasien yang diperiksa oleh Shinshe.
Pintu masuk pun ditutup oleh plastik transparan tebal dan ada penjaganya. Terlihat juga gedung yang sudah direnovasi dan pernah ditempati oleh kursus akutansi "YAI" puluhan tahun silam.
 Lalu kami menyebrang jalan dan jembatan di atas selokan yang cukup lebar, untuk masuk ke gang Petak Sembilan dan menuju ke rumah tua yang menjual banyak jajanan jadul dengan harga terjangkau yang cocok untuk "nyarap."
Ada kue apem gula merah kelapa parut, lupis, ketan bumbu coklat dan putih, gemblong, dan banyak lagi termasuk pindang bandeng khas Betawi Chinese peranakan yang konon dimulai sejak tahun 1850an peranakan China Betawi mencari ikan bandeng di Cilincing (Jakarta Utara) untuk dimasak menjelang imlek tetapi sekarang banyak warga Betawi memasak bahkan menjual masakan pindang bandeng sepanjang tahun.
Dari cerita ibu yang memasak makanan, rumah itu adalah rumah warisan dari keluarga suaminya. Bisa dilihat dari bahan bangunan terutama kayu langit-langit dan dindingnya, termasuk ketika kami minta izin untuk memakai toilet nya yang sederhana tapi bersih.
Oh iya di depan rumah tua ini juga ada penjual ketopak di gerobak, katanya enaaak. Kami ngga mencicipi, karena ketoprak masih cukup banyak ditemui di sekitar pemukiman di Jakarta.
Setelah "kampung tengah" tenang, di tengah jalan sempit di Petak Sembilan kami bertemu dengan Bang Indra "local guide kondang." Langsung kami menelusuri Petak Sembilan, di awal perjalanan ini, kami mampir ke kios penjual cemilan jadul seperti biscuit mungil dengan gula warna warni di atasnya, cemilan impor dari China seperti kana (buah kering dengan biji berujung runcing dan keras di dalamnya), sanca berwarna merah yang berbentuk lempengan bundar lunak dengan rasa asam manis, coklat bersalut gula padat warna warni dengan kemasan berbentuk angka 8, permen susu rabbit, permen karet bulat warna warni dan permen karet bentuk kotak, permen rasa mint merek "Davos, Polo, Duplex," permen pastilles merek "Alba, Valda, Pagoda," dan juhi manis serta co-om (asem jawa dibentuk bulat diberi gula pasir) dan masih banyak jenis lainnya.
Sepanjang jalan di Pasar Petak Sembilan, berbagai penjual dengan berbagai jenis barang dagangan. Mulai dari perabot rumah tangga, bumbu dan rempah termasuk akar batang daun untuk obat tradisional, kue bolu/basah, kue biskuit/kering, makanan rumahan siap santap (seperti warteg), makanan kecil jadul dan jika beruntung akan bertemu pedagang pikulan salah satu minuman khas Betawi yaitu "selendang mayang" yang terbuat dari tepung sagu aren.
Bahan utama minuman ini sebenarnya seperti kue lapis "hun kwe" yang diberikan warna hijau dan merah. Kue ini dicetak di "tampah" yang terbuat dari bambu. Jika ada pembeli, maka pedagang mengiris tipis dengan bilah bambu tipis dan meletakannya di dalam mangkok lalu disiram dengan santan dan sirup merah atau gula merah beraroma daun pandan dan diberi es batu. Sungguh menyegarkan... slruuuppp...
Selain selendang mayang, ada juga pedagang es cingcau hijau dengan sirup merah atau gula merah dan bersantan.
Di sela-sela para penjual gerobakan, terlihat rumah-rumah tua yang juga berdagang banyak barang seperti toko kancing terkenal, pedagang ayam potong, tukang cukur rambut, toko penjual barang-barang sembayang agama yang banyak dipeluk oleh warga keturunan Tionghoa, kedai kopi, serta rumah tua yang berjualan mie Belitung dan laksa Bogor yang pernah dipakai untuk shooting film "Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini." Â
Selanjutnya kami mampir ke rumah penjual "kuo tie" yang mirip rasanya dengan "gyoza" atau "dumpling" yang dipanggang di atas lempengan metal dengan sedikit minyak dan biasanya "kuo tie" tidak halal karena berbahan baku campuran sawi putih, bawang putih, daging babi cincang dan minyak wijen yang dibungkus sejenis kulit pangsit. Enak dimakan panas-panas dicocol sambel campur minyak wijen dan bawang putih cincang.
Dari sana kami berjalan kaki menuju ke ujung jalan Petak Sembilan dan memilih makan siang di tempat berkumpulnya beberapa jenis kedai laris membuka lapaknya. Ada gado-gado direksi, pempek Palembang, mie kangkung si Jangkung, siomay dan sebagainya. Sayang nya rasanya sudah banyak berkurang ya.
Saatnya menggunakan lebih banyak energi dari santapan siang... kami berjalan menuju jalan Toko Tiga tapi melalui banyak jalan-jalan kecil yang jika tidak sering ke tempat ini pasti bingung dan bertanya,"jalan mana yang harus ditempuh?" Di titik inilah kita memerlukan pemandu wisata setempat, seperti Bang Indra. Kami hanya fokus menikmati lezatnya kuliner dan gedung-gedung tua beserta cerita sejarahnya di sepanjang perjalanan. Kami tidak pusing dengan rute, ke mana dan di mana jalan keluarnya. Asyiiik kaaan.Â
Selain makanan, kami juga diajak melihat kelenteng dan wihara yang berdekatan yang masing-masing mempunyai cerita nya sendiri, ada juga beberapa rumah berarsitektur China baik yang masih dirawat dan ditempati (rumah tinggal atau tempat usaha), yang sudah diubah total, maupun yang sudah terbengkalai dan tiap rumah itu pun memiliki sejarah masing-masing, termasuk sebuah gedung yang atapnya berarsitektur China dan sekarang ditempati usaha bernama "Lautan Mas". Oh ya... masih terlihat juga lapak penjual buku-buku lama, termasuk buku silat berseri yang mashyur di jamannya.
Di tengah perjalanan juga kami melewati Gang Ketjap, lalu menuju ke resto berusia lebih dari se abad yaitu restoran legendaris "Wong Fu Kie," yang untuk menuju ke sini harus melewati gang kecil yang hanya memuat satu sepeda motor saja. Penikmat makanan di sini harus rela berjalan kaki dari tempat parkir di jalan raya atau menumpang parkir di gereja GKI Perniagaan dan berjalan kaki ke restoran ini.
Di samping Gedung Pasar Perniagaan, terlihat sebuah rumah berarsitektur China yang dari luar ditutupi oleh banyak truk yang pernah diizinkan oleh pemiliknya untuk diliput melalui drone, konon di dalam nya ada halaman terbuka di tengah ciri khas dari arsitektur China peranakan.
Dari situ kami berkunjung ke halaman Gedung SMAN 19 (atau SMPN 63) bagian bangunan lama yang merupakan bagian dari gedung Sekolah Pahoa yang didirikan di awal abad 20 (konon merupakan sekolah swasta pertama sebelum ada Sekolah Taman Siswa). Pengunjung masih dapat menikmati gaya bangunan itu dan pikiran terbawa ke masa lalu.
Kami melanjutkan perjalanan kembali ke daerah Pancoran dengan melewati Gedung Gereja Katolik Ricci dan sebuah wihara yang di depannya ada penjual nasi ulam terkenal "Misdjaja" yang buka sejak pukul 16.00. Perut sudah sangat amat full, kami memutuskan untuk "ta pao" dibungkus dan dibawa pulang saja untuk dinner di rumah.
Selanjutnya sebelum mengakhiri perjalanan wisata kuliner, kami melewati sebuah gang kecil di mana terdapat sebuah "kios" yang saat itu masih tutup, yang menurut cerita Bang Indra adalah tempat seorang keturunan China membuka jasa penulisan kaligrafi Bahasa Mandarin. Lalu kami menuju Gedung Petak Enam yang dibangun di atas sebagian tanah Gedung Candra. Pembagian dan interior di dalam nya mengingatkan kami pada gedung serupa di daratan China. Deretan resto di lantai dasar dan beberapa toko dan caf di lantai atas. Kami masuk ke toko teh yang bernama "Piece of Peace" yang menyediakan "pertunjukan" cara meminum teh ala "Chinese" (pertunjukan ini biasa diadakan oleh banyak toko teh jika mengikuti wisata di RRC) dan mereka juga menjual begitu banyak jenis teh termasuk "fussion" teh dan peralatannya.
Di tempat inilah kami berpisah dengan Bang Indra, pemandu wisata kota tua Jakarta. Sesaat sebelum pulang kami masih ingin menikmati kuliner di lantai dasar. Kami memilih untuk mencicipi gorengan cempedak (cabang dari rumah nya di lorong kecil) dan tahu gejrot.
Sampai di sini dulu perjalanan wisata kuliner kali ini di Kota Tua Jakarta Kota.
Semoga bermanfaat.
Salam pariwisata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H