Kepulauan Maluku , 5-12 Aug 2017Â
Jauh berjalan, banyak dilihat
Lama hidup, banyak dirasa
Menjadi berkat TUHAN, tanpa syarat
Kenangan manis dibawa sepanjang masa
Dikutip dari Bapak Benyamin Nacikit (Ambon 2017)
05 Agustus 2017:
Bersama GA dari terminal 3 yang toilet-nya bersih, kami terbang dari Jakarta langsung ke Bandara Pattimura Ambon (08.45 WIB - 14.00 WIT)
Tiba di bandara Ambon langsung disambut oleh Bapak Benyamin Nacikit (asal dari Pulau Buru), Bpk. John Maskay, Bpk. Ronald, dan Bpk. Willem (Angkasa Pura 1). Kami menyewa mobil Bapak Jemmy utk menjemput kami di bandara Patimura. GOD is so good.
Mengingat warga "Kampung tengah" menari-nari, kami langsung menuju Restoran Dua Ikan (silahkan google) di kota Ambon untuk makan siang.Â
Resto ini menawarkan aktivitas memancing dulu di tambak di tepi laut dan ikan yang berhasil dipancing menjadi menu utama kami ditemani sambal colo2 (cabe merah, bawang merah dan petikan daun kemangi muda disiram kecap asin manis dan perasan jeruk), sungguh sambutan yang hangat untuk perut kami. Ini namanya "Experienced Tourism."
Usai makan, kami harus berburu tiket Pelni karena tidak ada jadwal penerbangan untuk besok oleh satu-satunya maskapai yang melayani rute Ambon -- Banda Neira PP yaitu DamianÂ
Tulisan tentang perjalanan tanggal 6-9 Agustus 2017 tentang Banda Neira dan Pulau Hatta "Rozengain" sudah diterbitkan beberapa waktu lalu di Kompasiana, silakan klik link berikut ini:
Termashyur Sejak Dahulu Kala, Neira
Dalam perjalanan dari bandara Pattimura, Resto Dua Ikan dan Pelabuhan Yos Sudarso, kami melewati / mengunjungi :
Daerah yang bernama Batu Merah yang pada masa konflik Ambon berdarah (Islam Vs Kristen) tahun 1997-2001, negeri Batu Merah menjadi area konflik terpanas bersama wilayah Mardika. Pada masa itu, Batu Merah dan Mardika hampir hancur sepenuhnya (banyak rumah dan rumah ibadah seperti masjid dan gereja yang terbakar).
Gong Perdamaian Dunia yang terletak di Taman Pelita, dekat pusat kota Ambon. Gong Perdamaian di Ambon adalah yang ke-35 di dunia dan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 25 November 2009 dan untuk memperbaiki citra kota Ambon yang dulunya identik dengan kota kerusuhan dan kekerasan. Gong Perdamaian Dunia berdiameter 2 meter dan berwarna keemasan.Â
Permukaan gong dipenuhi dengan gambar bendera dari tiap negara yang ada di dunia sekitar 200 bendera, juga terdapat simbol tiap agama di dalam lingkarannya. Di tengahnya juga terdapat miniatur bumi dan bertuliskan 'Gong Perdamaian Dunia' pada bagian bawah, serta 'World Peace Gong' pada bagian atas lingkarannya. Gong ini ditopang oleh dua pilar raksasa, di atas gong ini juga terdapat lambang Pancasila sebagai lambang NKRI.
Lapangan Merdeka Ambon Manise atau bisa disebut juga alun-alun Kota Ambon, di mana terdapat juga Balai Kota. Di sebelah lapangan ini terdapat Taman Pattimura di mana berdiri patung pahlawan kelahiran Pulau Saparua yaitu Pattimura yang bernama asli Thomas Matulessy (sayangnya... tempat ini kurang terawat dan ada banyak sampah berseraka) dan di dekatnya terdapat Benteng Victoria Ambon.
Berikut ini mengutip laman Wikipedia tentang Benteng Victoria adalah benteng tertua di Kota Ambon dan salah satu benteng yang dibangun oleh Portugis dan diberi nama Nossa Senhora Annucida di tahun 1575, kini terletak di Kecamatan Sirimau, pusat Kota Ambon. Pada tahun 1605 benteng ini direbut oleh Belanda dan namanya diganti menjadi Benteng Victoria yang berarti kemenangan.Â
Benteng ini mengalami kerusakan cukup parah akibat gempa besar yang mengguncang Ambon pada sekitar tahun 1754. Setelah direnovasi benteng itu berganti nama dengan Nieuw Victoria yang artinya kemenangan baru. Belanda menggunakan tempat tesebut sebagai pusat pemerintahan, pertahanan, dan pembentukan kekuatan barisan tentara.Â
Di benteng ini, pahlawan Pattimura digantung oleh Belanda pada 6 Desember 1817. Benteng Victoria memiliki kamar-kamar dengan fungsinya masing-masing. Fungsinya sebagai tempat mengatur strategi dan tempat penyimpanan bahan makanan. Di depan Benteng Victoria terdapat pelabuhan yang dahulu digunakan sebagai jalur penghubung kapal antar pulau. Melalui pelabuhan tersebut, Belanda mengangkut hasil rempah-rempah untuk didistribusikan ke benua Eropa.Â
Di sebelah Benteng terdapat pasar bagi orang-orang pribumi. Jalan di depan benteng yang berhubungan langsung dengan bibir pantai Hanipopu bernama jalan Boulevard Victoria. Di Benteng Victoria terdapat Meriam yang berukuran raksasa. Sekarang di beberapa kamar terdapat patung berukir yang terbuat dari kayu, dan peta perkembangan Kota Ambon dari abad 17 hingga 19, serta koleksi lukisan para Administrator Belanda di Maluku.
Hari makin tua, saat nya beristirahat, pilihan kami adalah Hotel Natsepa di luar kota Ambon yang memiliki pantai dengan pemandangan indah, sebelum mencapai hotel, kami tetap sempatkan diri mampir untuk jajan di pantai.Â
Jangan bilang su ke Ambon kalau belum ke Pantai Natsepa dan menikmati Rujak Natsepa, Â keunikannya ada serutan buah pala mentah yang berasa asam lalu diuleq bersama bumbu gula aren plus kacang tanah dan cabe garam sebagai pengganti labi2 (lobi2?).
06 Agustus 2017Â
Hari ini, kami berkunjung ke kecamatan Nusaniwe, dengan tujuan pertama ke Pantai Amahusu dermaga sandar lomba kapal layar Darwin-Ambon dan terkenal dengan pemandangan matahari terbenam (sunset) nya yang memukau dan menjadi tujuan wisata yang instagramable.
Selanjutnya ke Pantai Namalatu yaitu berbatu karang kecoklatan dan air laut berwarna biru jernih memukau yang terletak di Negeri Latuhalat, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Provinsi Maluku dan berjarak sekitar 15 km (30 menit) dari Lapangan Merdeka Ambon dan ada retribusi sebesar Rp. 5.000,- untuk mendekat dan berjalan di Pantai Namalatu ini, namun untuk penggemar snorkling dan diving dapat menikmati tempat ini, dan sunset di sini juga tidak terlupakan.Â
Mengakhiri wisata hari ini, kami mengunjungi Pantai Pintu Kota Ambon yang terletak di dusun Airlouw, Desa Nusaniwe, Ambon, Maluku yang berjarak sekitar 17 km dari Lapangan Merdeka pusat Kota Ambon yang dapat ditempuh sekitar 30 menit berkendara. Pantai unik yang berbentuk seperti 'lubang pintu atau gapura' ini berada di bagian selatan Pulau Ambon yang menghadap ke wilayah lepas Laut Banda.
Tanggal 7-9 Agustus 2017 kami berada di Banda Neira dan Pulau Rozengain (Pulau Hatta)Untuk informasi lebih lengkap silahkan klik tautan di bawah ini:
Termashyur Sejak Dahulu Kala, Neira
09 Agustus 2017
Setelah mendarat kembali di Ambon dan beristirahat sejenak  : mengisi waktu sisa 3 jam di sore hari. Melihat belut purba di kolam Waiselaka, yang terletak di Desa  Waai, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Lokasi kolam di tengah pemukiman penduduk, dan aliran air yang jernih dipakai untuk kebutuhan air mandi cuci sehari-hari tapi ada bagian yang dekat tebing tidak dipakai untuk apapun kecuali untuk minum.Â
Di beberapa bagian kolam, terdapat lubang yang diyakini oleh penduduk setempat, terhubung ke laut dan dihuni oleh morea (belut raksasa) yang panjangnya sekitar 1 meter yang dapat dilihat bila dipanggil oleh pawang yang memberi makan telor ayam dengan biaya sekitar RP. 40.000,-
Selanjutnya melihat Pemandian air panas di Hatuasa Tulehu yang terletak di Desa Tulehu Kota Ambon yang berjarak sekitar 30 km di sebelah timur Ambon, di Kabupaten Maluku Tengah, sebelah kota Ambon. Saat berkunjung ke sana, tempatnya masih diusahakan oleh warga secara sederhana dan kurang terawat, kurang bersih ditandai dengan bau pesing dan sampah yang dibuang sembarangan.
10 Agustus 2017Â
Petualangan baru lagi buat kami yang juga untuk pertama kali berkunjung ke Pulau Saparua. Dari Pulau Ambon melalui Pelabuhan Tulehu, kami menumpang kapal kapal cepat ke Pulau Saparua selama satu jam saja, yang berangkat sekitar pukul 08.00 pagi setiap hari.
Tiba di Pulau Saparua, kami menyewa mobil berikut pengemudi sekaligus menjadi pemandu wisata yang merupakan warga setempat untuk berkunjung ke beberapa tempat wisata dan sejarah termasuk Benteng Duurstede yang menjadi saksi kejayaan Maluku di zalam kolonial.
Mengutip Wikipedia, Benteng Duurstede dibangun pertama kali pada tahun 1676 oleh Arnold De Vlaming Van Duds Hoorn, dan dibangun kembali oleh Gubernur Ambon saat itu, Mr. Nicolaas Schaghen pada tahun 1691. Benteng Duurstede berfungsi sebagai bangunan pertahanan serta pusat pemerintahan Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie; VOC) selama menguasai wilayah Saparua.Â
Pada 16 Mei 1817 benteng ini diserbu oleh rakyat Saparua di bawah pimpinan Kapitan Pattimura, seluruh penghuni benteng tewas kecuali putra residen yang bernama Juan Van Den Berg. Jatuhnya Benteng Duurstede di tangan rakyat Maluku mengakibatkan kedudukan VOC di Ambon dan Batavia goncang.Â
Oleh karena itu, VOC memusatkan perhatiannya untuk merebut kembali benteng. Segala usaha telah dilakukan VOC di antaranya adalah mengirim bantuan tentara dan persenjataan perang, namun demikian setiap penyerangan tersebut selalu gagal. Situasi ini mendorong VOC bertindak lebih agresif, Komisaris van Middelkoop terpaksa meminta bantuan kepada Raja Ternate dan Tidore.Â
Pada bulan November1817, VOC mengirimkan armada yang berjumlah 1500 orang atas sumbangan dari Raja Ternate dan Tidore tentunya. Penyerbuan ini dipimpin oleh Komisaris Jendral A. A Buyskers. Strategi yang dilakukan oleh Buyskers adalah menguasai pulau-pulau di sekitar Saparua, dan selanjutnya menguasai daerah kekuasaan Pattimura.Â
Strategi tersebut ternyata cukup berhasil, Pattimura beserta pasukannya terdesak ke hutan sagu dan pegunungan, hingga akhirnya Kapitan Pattimura beserta tiga orang panglima berhasil ditangkap. Mereka dijatuhi hukuman mati yang dilaksanakan di Benteng Nieuw Victoria Pulau Ambon.
Tak jauh dari benteng tersebut, terletak rumah kediaman pahlawan nasional Pattimura yang bernama asli Thomas Matulessy. Hingga kini rumah sederhana tersebut masih berbentuk bangunan dengan kondisi asli, rumah yang terbuka untuk umum ini dikelola oleh pihak keluarga atas seizin Pemda setempat.Â
Pihak keluarga menyambut wisatawan yang datang dengan ramah dengan mempersilahkan duduk dan mengisi buku tamu lalu bercerita tentang sejarah, silsilah keluarga dan beberapa barang peninggalan serta mempersilahkan untuk berfoto dengan memegang senjata dan tameng yang tersedia. Silahkan menyalurkan dana sukarela untuk memelihara situs sejarah ini.
Menarik untuk mengunjungi daerah pembuatan gerabah di Negeri / Desa Ouw yang merupakan desa adat terakhir dan terujung di timur Pulau Saparua. Ada beberapa industri rumah tangga dan  biasanya dikerjakan secara turun temurun. Produksi gerabahnya juga dinamakan sempe balanga yang terbuat dari tanah liat, tanah merah, pasir, air, pelepah pisang/kayu serta damar. Saya membeli satu set pajangan gerabah berupa peralatan dapur mini.
Usai kunjungan, kami mampir ke warung makan untuk santap siang yang cukup terlambat. Pemilik warung adalah  orang Pulau Jawa yang menyediakan aneka masakan khas Jawa.
Untuk menghindari gelombang pasang di sore hari, kami bergegas ke dermaga, saat melewati pasar tradisional, kami sempat membeli kain penutup kepala khas Pulau Saparua yang berasal dari budaya zaman kolonial, pengemudi mengatakan kain itu diimport dari Belanda (ngga heran harganya Rp. 150.000,-) per helai.
Sesampai nya di dermaga, kami menyewa taxi air / speed boat kecil yang hanya memuat 4 orang penumpang ditambah 1 pengemudi dan 1 anak kecil yang mungkin anak nya. Kami bertiga naik ke atas boat diikuti oleh seorang perempuan yang ternyata dokter muda yang bertugas di Pulau Saparua.Â
Perjalanan cukup seru, kami berpegangan erat karena speed boat kecil menantang ombak yang cukup besar sehingga beberapa saat setelah meninggalkan dermaga, anak kecil yang berpegangan di buritan kapal (bagian belakan kapal) terlempar dan kecebur di laut, tapi dengan sigap nya dia berenang kembali ke dermaga. Lalu kami diombang ambing oleh gelombang sekitar 1 jam sebelum akhirnya mendarat di dermaga Tulehu, Pulau Ambon.Â
Ketika turun dokter muda bermaksud membayar jumlah tertentu sebagai biaya transportnya, tapi karena kami sudah tahu bahwa beliau adalah dokter yang sedang bertugas melalui perbincangan di atas speed boat, maka kami menolak dengan halus mengatakan terima kasih untuk bantuan nya sebagai dokter muda  di Pulau Saparua.
11 Agustus 2017Â
Dari Lapangan Merdeka Kota Ambon berjarak sekitar 37 km atau sekitar 1,5 jam menuju (Negeri/Desa Hila) atau disebut juga negeri belakang karena lokasinya di ujung utara Pulau Ambon, seolah-olah ada di bagian belakang dari lokasi pusat Kota Ambon.
Sahabat kami, Bapak Ben dan Bung Ronald serta Bapak pengemudi bercerita tentang peristiwa kerusuhan yang merebak mulai tahun 1999. Hingga di tengah perjalanan kami berkunjung ke Negeri Hila, mobil sempat dihentikan dan seorang laki-laki meminta izin untuk melihat ke dalam mobil yang memang sengaja kacanya dibuka lebar oleh Bapak pengemudi yang berpengalaman mengantar orang ke sana.
Kunjungan pertama adalah ke Gereja Tua Imanuel Negeri Hila yang dibakar saat kerusuhan 1999-2005 lalu dibangun kembali tapi hingga saat ini hanya untuk menjadi saksi bisu (museum) karena tidak dipergunakan lagi untuk beribadah di sana dan memang tidak ada satu orang Kristen pun yang menetap di Negeri Hila sejak pecahnya kerusuhan itu.Â
Semua umat Kristen mengungsi dan direlokasi di dekat bandara Pulau Ambon. Saat kunjungan ini, lonceng gereja belum diperbaiki namun dapat menjadi peringatan bagi semua manusia ciptaan TUHAN untuk menerapkan kasih TUHAN dan kerendahan hati dalam menjalani hidup berdampingan dalam damai.Â
Selanjutnya kami menuju Benteng Amsterdam, sejarahnya mengutip tulisan di papan buatan pemda yang sudah buram, benteng ini dulu nya sebuah loji/redut yang diprakarsai oleh gubenur Belanda Johan Ottens tahun 1637.Â
Kemudian tahun 1948 oleh penggantinya yaitu De Vlaming memerintahkan untuk menghancurkan redut itu dan menggantinya dengan bangunan baru yang dinamakan Benteng Amsterdam, yang selain  menjadi basis militer, juga menjadi kantor pusat administrasi VOC di Ambon pada masanya.Â
Di dalam benteng ini juga terdapat blokhuis yang menjadi tempat tinggal  Rumphius ahli botani di abad 17. Benteng ini berjarak sekitar 50 m dari Gereja Tua Imanuel Negeri Hila dan masih terawat baik. Ada retribusi untuk masuk ke dalam benteng.
Di depan komplek benteng terdapat rumah kayu sederhana yang menyimpan beberapa literatur/buku dalam berbagai Bahasa.
12 Agustus 2017Â
Kami meninggalkan Maluku khususnya Kota Ambon untuk kembali ke ibukota Jakarta. Sore dan malam kemarin sempat ke cafe di Kota Ambon dan menikmati singkong dan sukung goreng.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, ada yang masih lekat dalam ingatan, yaitu makanan/minuman di Maluku khusus nya Pulau Ambon :
1. Sagu/Papeda yang diolah dari pohon sagu yg telah dijadikan bubuk lalu diseduh air panas dan ditaruh dalam sempe balanga (wadah berbentuk mangkok dari tanah liat/gerabah).Â
Menggunakan dua buah garpu bambu berkaki dua, sagu diambil dari sempe dengan cara dililitkan lalu dibawa ke piring. Diguyur kuah dari ikan kuah kuning kanari yg berasa gurih asam sedap. Dimakan dengan cara memotong sagu dengan sendok lalu masukkan ke dalam mulut atau membawa mulut langsung ke dalam piring dan menyedot sagu beserta kuah kuning.
2. Terong ungu goreng bumbu kanari bawang merah putih
Tumis bunga pepaya
Sambal colo2 (irisan bawang merah cabe rawit daun kemangi diguyur air jeruk lemong dan kecap manis sedikit)
3. Sukung dan singkong goreng
4. Roti bakar mentega kanari kayu manis
5. Teh kopi kayu manis dimakang deng kue kering sagu/ kue kering kanari
Untuk oleh-oleh makanan khas nya berupa sagu rangi kotak, biji kenari, pala, kayu manis, minyak kayu putih khas Pulau Seram dan cengkeh yang juga dibuat pajangan perahu layar, wangi sekali. Untuk oleh-oleh kerajinan tangan berupa gerabah Saparua, pajangan berbentuk perahu layar, ikat kepala dan sebagainya.
Walaupun pemanasan global membuat cuaca tidak menentu, tetapi tetap harus dipertimbangkan pemilihan waktu juga harus diperhatikan jika merencanakan untuk mengunjungi Kepulauan Maluku, ada sebagian yang berpendapat:
- Musim Angin Barat ombak tinggi, jadi hindari bulan Maret, April sampai pertengahan Mei
- Musim Angin Timur ombak tenang, maka lebih baik untuk berkunjung medio Sep, Oct sampai medio Nov is the best
Sekian dulu tulisan tentang Kepulauan Maluku, khusus nya Pulau Ambon dan Pulau Saparua.Â
Silahkan tengok tulisan tentang Banda Neira dan Pulau Rozengain (Pulau Hatta) di tautan berikut yang merupakan rangkaian perjalanan pertama kali ke Kepulauan Maluku.
Termashyur Sejak Dahulu Kala, Neira
Indonesia kaya banget, semoga bisa berkunjung ke pulau-pulau lainnya di Kepulauan Maluku.
Katong samua basudara, pela gandong di seluruh Kepulauan Maluku  Semoga tulisan ini bermanfaat. Selalu semangat dan sukacita. GOD bless
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H