Mohon tunggu...
Farhan Zainuddin
Farhan Zainuddin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kata Hukum, Anak dan Perempuan Dilindungi, Kenyataannya?

21 November 2024   10:32 Diperbarui: 21 November 2024   10:39 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

             Perlindungan terhadap anak dan perempuan telah menjadi salah satu perhatian utama dalam hukum di Indonesia. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan bukti nyata dari upaya negara dalam menjamin hak-hak mereka. Namun, berbagai peristiwa di masyarakat, baik yang mencuat ke media sosial maupun tersembunyi di balik tembok rumah tangga, menunjukkan bahwa penerapan hukum ini seringkali masih menghadapi berbagai tantangan.

            Salah satu contoh kasus yang menggemparkan publik adalah konflik antara Nikita Mirzani dan putrinya, Lolly. Konflik ini mencerminkan kompleksitas hubungan keluarga yang tidak hanya berimbas pada kehidupan pribadi tetapi juga menyeret isu hukum perlindungan anak ke ranah publik. Dengan latar belakang ini, artikel ini mengupas realitas penerapan perlindungan hukum bagi anak dan perempuan, tantangan yang dihadapi, serta rekomendasi untuk perbaikan ke depan.

Kronologi Kasus Nikita Mirzani dan Lolly: Antara Drama dan Isu Hukum
            Hubungan Nikita Mirzani dan Lolly menjadi sorotan publik ketika konflik pribadi mereka diunggah ke media sosial. Mulai dari tuduhan ancaman, pengungkapan privasi, hingga penjemputan paksa yang disiarkan langsung, semua ini menjadi konsumsi publik. Di tengah kontroversi, Lolly yang masih berusia 16 tahun mengaku mengalami tekanan psikologis akibat konflik dengan ibunya. Bahkan, keterlibatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam penjemputan Lolly justru memperlihatkan ketidakhormatan terhadap hak privasi anak yang dilindungi oleh undang-undang.

           Dalam kasus ini, beberapa isu utama yang muncul melibatkan aspek hak anak atas perlindungan dari kekerasan psikis, hak privasi, dan hak atas pengasuhan yang sehat. Namun, upaya untuk menyelesaikan konflik ini malah memperkeruh suasana, terutama dengan adanya eksposur berlebihan di media sosial.

Tinjauan Hukum: Apa yang Salah?          
            Kasus ini menimbulkan sejumlah pertanyaan terkait penerapan hukum perlindungan anak di Indonesia:

  1. Hak Privasi Anak        
    Pasal 17 Undang-Undang Perlindungan Anak secara tegas menyebutkan bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan media, eksploitasi seksual, dan tindak kekerasan, termasuk kekerasan psikis. Publikasi konflik pribadi di media sosial yang melibatkan Lolly bertentangan dengan pasal ini. Orang tua seharusnya menjadi pelindung utama, bukan pelaku yang merugikan kesejahteraan mental anak.
  2. Pengasuhan Positif dan Bebas Kekerasan      
    Pasal 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 (yang diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014) mengatur bahwa keluarga wajib memberikan pengasuhan positif yang menjamin perkembangan emosional anak. Dalam kasus ini, publikasi konflik di media sosial, ancaman verbal, dan tindakan fisik seperti penjemputan paksa jelas melanggar prinsip tersebut.
  3. Eksploitasi Media Sosial        
    Media sosial kini menjadi pisau bermata dua. Meski mampu memberikan ruang ekspresi, penggunaannya yang tidak bijak, seperti dalam kasus Nikita dan Lolly, justru menjadi alat untuk memperburuk konflik. Hal ini menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan psikologis anak dan menciptakan lingkungan yang tidak kondusif.

Rekomendasi: Menyelesaikan Konflik dengan Perspektif Perlindungan         
            Untuk memastikan bahwa anak-anak seperti Lolly mendapatkan perlindungan maksimal, langkah-langkah berikut perlu diterapkan:

  1. Mediasi Keluarga dengan Pendampingan Profesional          
    Konflik internal keluarga harus diselesaikan melalui mediasi yang melibatkan konselor keluarga atau psikolog. Hal ini penting untuk meminimalkan dampak psikologis pada anak dan menghindari eksploitasi media.
  2. Peningkatan Pemahaman Hukum oleh Orang Tua    
    Orang tua perlu mendapatkan edukasi tentang hak anak dan kewajiban mereka dalam memberikan pengasuhan yang sehat. Program sosialisasi dari pemerintah atau lembaga terkait dapat menjadi solusi.
  3. Penguatan Peran Lembaga Perlindungan Anak        
    KPAI dan lembaga serupa harus lebih proaktif dalam melindungi anak-anak yang terjebak dalam konflik keluarga. Langkah preventif melalui pengawasan lebih ketat terhadap media sosial juga diperlukan.
  4. Penerapan Sanksi atas Pelanggaran Hak Anak          
    Penegakan hukum harus berjalan tegas terhadap pelanggaran hak anak, termasuk oleh orang tua. Hal ini penting untuk memberikan efek jera dan mencegah kasus serupa di masa depan

             Kasus Nikita Mirzani dan Lolly membuka mata publik tentang pentingnya perlindungan anak yang tidak hanya sekadar aturan tertulis tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata. Hukum ada untuk melindungi yang lemah, termasuk anak-anak, dari eksploitasi dan kekerasan, baik secara fisik maupun psikis. Dalam menghadapi tantangan ini, kolaborasi antara masyarakat, keluarga, dan pemerintah sangat dibutuhkan agar anak-anak Indonesia dapat tumbuh dalam lingkungan yang sehat dan bermartabat.

Nama Anggota Kelompok:

Altav Ray (210200249)

 Sheren Phaedra (210200251)

Farhan Zainuddin (210200259)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun