Dalam berbagai literasi sejarah, setiap imperium yang berdiri pasti memiliki berbagai macam konflik yang muncul sebagai konsekuensi dari pendirian sebuah kedaulatan.
Kehadiran sebuah konflik memang menjadi hal yang wajar ketika sebuah negara menghendaki kestabilan dan kedamaian, maka negara tersebut harus mempersiapkan diri untuk berperang dengan konflik yang nantinya akan bermunculan.
Si vis pacem, para bellum
Jika kau mendambakan perdamaian, maka bersiap-siaplah menghadapi perang.
Sebagaimana terjadi pada dunia Islam. Konflik pada dunia Islam telah terjadi bahkan ketika Nabi Muhammad menyebarkan ajaran Islam untuk pertama kalinya.Â
Penentangan dari berbagai elemen suku Quraisy terhadap ajaran Islam menimbulkan konfik sesama suku di Kota Mekkah. Kondisi ini semakin diperburuk dengan peperangan yang terjadi diantara kedua belah pihak.
Konflik ini terus berlanjut hingga pada puncaknya Nabi Muhammad berhasil membangun sebuah kedaulatan (pemetrintahan) di Madinah. Tentu bukan hal yang mudah dalam mendirikan sebuah negara yang berdaulat, banyak elemen masyarakat yang harus terkonsolidasi dengan baik.
Hal pertama yang harus dihadapi ialah menyingkirkan segala bentuk ancaman baik internal maupun eksternal, yang akan menghambat pertumbuhan kedaulatan yang baru saja didirikan. Inilah yang telah dipersiapkan oleh Nabi Muhammad dalam menghadapi agresor Mekkah yang mengancam kedaulatan Madinah.
Pada akhirnya kata penaklukan adalah kata yang paling pas dalam menyudahi konflik yang berkepanjangan, dengan kata lain perang menjadi jalan keluar atas persoalan yang terjadi selama Bertahun-tahun.Â
Fathu Makkah merupakan peristiwa dimana Madinah berhasil mengintegrasikan Mekkah ke dalam teritorial kekuasaannya, sekaligus menyudahi konflik diantara kedua belah pihak.Â
Pada perkembangannya, peradaban Islam telah mengalami berbagai kemajuan yang pesat di berbagai bidang. Teritorial yang membentang dari Andusia (spanyol) hingga khurasan, ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dan kekuatan militer yang tanggung. Menjadikan Islam diperhitungkan di mata dunia. Terlebih setelah takluknya Kekaisaran Persia pada masa Khalifah Umar bin Khattab.Â
Pasca invasi Kekaisaran Mongol 1250, Dunia Islam mulai terpecah dan tercerai berai. Jatuhnya Kota Baghdad di tangan pasukan Mongol dan dieksekusinya khalifah. Membuat Dunia Islam mengalami kekosongan kekuasaan.Â
Meskipun telah berkahirnya kedaulatan Dinasti Abbasiyyah, kekuasaan tidak sepenuhnya mutlak milik Baghdad. Para sultan penguasa di berbagai wilayah juga memiliki kekuasaan yang sama.
Kesultanan yang berdiri di dalam Dinasti Abbasiyyah disebabkan oleh menurunnya peran bani Abbas dalam menjaga kestabilan sosial, politik maupun ekonomi.Â
Oleh karenanya kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil independen. Dan dalam perjalanannya, ada tiga kesultanan yang memiliki eksistensi dan pengaruh tinggi terhadap keberlangsungan Dinasti Abbasiyyah.
Pertama, Kesultanan Seljuk merupakan dinasti bangsa Turki yang memiliki peranan penting dalam menjaga wilayah perbatasan dari serangan musuh.Â
Dikarenakan wilayahnya berseberangan langsung dengan Kekaisaran Bizantium, Keduanya sering terperosok dalam konflik dan peperangan. Dalam hal ini Sultan Alp Arslan berhasil memenangkan Pertempuran Manzikert pada 1071 yang konon menjadi cikal bakal Perang Salib.Â
Kedua, Kesultanan Mamluk yang sejatinya kepanjangan tangan dari Dinasti Abbasiyyah memiliki peranan yang penting dalam menjaga dua kota suci dan mengusir tentara Salib dari tanah Islam. Mamluk adalah suksesor dari dinasti pendahulunya yaitu Dinasti Ayubiyyah yang berhasil mengambil kembali Yerusalem dari tangan pasukan Salib.Â
Ketiga, Kesultanan Buwaihi yang berhasil mempengaruhi Dinasti Abbasiyyah selama kurang lebih 113 tahun. Kesultanan Buawihi merupakan kesultanan yang beraliran Syiah dan pada masanya khalifah Abbasiyyah hanya tinggal nama saja, karena semua pelaksanaan pemerintahan ditangani langsung oleh para amir Dinasti Buawihi.
Perlu kita garis bawahi diantara ketiga dinasti ini, dua diantaranya saling berseteru pasca jatuhnya Baghdad yaitu Dinasti Seljuk dan Dinasti Mamluk. Keduanya memang beraliran Islam Sunni, namun dalam keadaan vacum of power (kekosongan khalifah).
Keduanya terseret dalam konflik dan persaingan yang berkepanjangan. Sebagaimana yang saya paparkan diatas, bahwa kondisi ini diakibatkan oleh lemahnya peran khalifah Abbasiyah dalam menjaga stabilitas dalam negeri.Â
Kondisi ini semakin memburuk setelah berdirinya Dinasti Utsmaniyah. Sebagai kerajaan Islam di Anatolia (asia kecil) yang terlibat aktif dalam peperangan melawan Kekaisaran Bizantium sepanjang abad ke-14 dan ke-15.
Dinasti Utsmaniyah berhasil menyatukan kerajaan turki lainnya dan menaklukkan wilayah Bizantium, baik di wilayah Anatolia maupun di Semenanjung Balkan.Â
Tepatnya pada 1453, setelah 54 hari melakukan pengepungan, Sultan Muhammmad II (Al-Fatih) berhasil mewujudkan sesuatu yang gagal dilakukan oleh sultan muslim sebelumnya dengan menaklukkan Kota Konstantinopel dan menyudahi konflik yang telah terjadi selama berabad-abad.
Secara historis, Mamluk memiliki militer yang cukup ditakuti. Pasukan Mamluk dilatih hingga mencapai standar tertinggi dalam peperangan dan diindoktrinasi untuk memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Agama dan Negara.Â
Mereka adalah pasukan paling tangguh dalam peperangan jarak dekat dan terbukti telah berhasil mengalahkan pasukan terhebat abad pertengahan. Seperti mengalahkan Pasukan Salib dari Perancis dibawah pimpinan Louis IX, lalu menghentikan laju invasi Kekaisaran Mongol di Pertempuran Ain Jalut.Â
Rivalitas antara keduanya memang sudah berlangsung sejak lama. Terutama persaingan dalam menguasai jalur perdagangan rempah-rempah. Untuk merealisasikannya Utsmani harus berhadapan langsung dengan kekuatan Syafawiyah dalam memperebutkan wilayah Anatolia Timur.Â
Dengan kemenangan Utsmani di Pertempuran Chaldiran, wilayah Anatolia Timur hingga Irak Utara jatuh ke tangan Ustmani. Dan dengan kemenangan ini tentunya memberikan ancaman bagi otoritas Mamluk di Suriah.Â
Sultan Salim IÂ merupakan cucu dari Al-Fatih dan memiliki ambisi yang sama besarnya dengan para pendahulunya dalam memperluas wilayah kekuasaan Utsmani. Oleh karenanya Safawiyah berusaha keras untuk bersekutu dengan Mamluk dalam membendung ancaman ekspansi Utsmani.Â
Di lain sisi, Sultan Qansuh Al-Ghawri sebagai penguasa Mamluk mengungkapkan bahwa ia hanya ingin menjaga keseimbangan kawasan (Timur Tengah), dan berharap dengan kehadiran Pasukan Mamluk yang kuat di Suriah Utara akan membendung ambisi Utsmani dalam memperluas wilayah.
Anatolia menjadi batas wilayah Utsmani, sehingga Persia tetap dibawah Syafawi dan Dunia Arab dibawah kekuasaan Mamluk.
Marj Dabiq dan Jatuhnya Suriah
Dengan dikirimnya pasukan Mamluk ke Suriah Utara, membuat posisi Utsmani yang sedang terlibat konfrontasi militer dengan Syafawi menjadi terancam. Alih-alih menghadapi dua front berbeda, Utsmani justru memfokuskan pasukannya guna meredam ancaman Mamluk.Â
Sejarawan kontemporen memperkirakan pasukan Salim I mencapai 60.000 orang, dengan jajaran kavaleri dan infanterinya yang disiplin serta dilengkapi dengan pasukan artileri yang dipersenjatai dengan senapan. Di samping itu, Sultan Qansuh dengan 20.000 pasukannya yang hanya dibekali dengan keahlian bertarung perorangan dan nilai-nilai milter abad pertengahan.
Dari sini kita dapat mengkomparasikan diantara keduanya, bahwa Utsmani dengan kemajuannya di bidang militer mewakili wajah modern peperangan abad ke-16, sedangkan Mamluk dengan keahlian pertempuran jarak dekat mewakli wajah abad pertengahan.
Tepat pada 24 agustus 1516, perang berkecamuk di Kota Dabiq. Pasukan Ustmani dengan mudah meluluhlantahkan jajaran kesatria Mamluk dan menghancurkan sayap kanan pasukan Mamluk.Â
Khair bey merupakan komandan sayap kiri Mamluk sekaligus Amir / Gurbenur Aleppo, ternyata telah memiliki kedekatan dan Dinasti Ustmaniyah sebelum pertempuran meletus dan ia pun telah mengalihkan dukungannya kepada pihak Utsmani.Â
Pengkhianatan yang dilakukan Gurbenur Aleppo mempermudah Utsmani dalam memenangkan peperangan di Kota Dabiq. Dengan pasukan Mamluk yang tercerai berai, Qansuh melakukan upaya putus asa dengan mendesak penasihat agamanya untuk memanjatkan doa kemenangan bagi pasukannya.Â
Salah satu komandan Mamluk menurunkan dan menyerahkan bendera sultan kepada Qansuh, seraya berkata:Â
"Penguasa kami, ya Sultan, pasukan Utsmani telah mengalahkan kita. Selamatkan diri anda dan berlindunglah di Aleppo."
Ketika Qansuh menyadari bahwa ucapan komandannya memang benar, Qansuh terserang strok yang membuatnya setengah lumpuh dan tak sanggup untuk menaiki kudanya. Dengan seketika Qansuh terjatuh dan tewas di tempat.Â
Dengan kemenangan Utsmani pada Pertempuran ini, teritorial kekuasaan Utsmani semakin meluas serta menjadi momentum dimana Salim memasuki Aleppo dan Damaskus tanpa perlawanan. Penaklukan Utsmani atas Suriah membuka jalan dalam penaklukan Dinasti Mamluk secara keseluruhan.Â
Jalan menuju Kairo
Pasca kekalahan telak Mamluk di Marj Dabiq, komandan-komandan Mamluk yang tersisa berkumpul di Kairo untuk memilih pengganti Qansuh sebagai pemimpin Mamluk. Maka terpilihlah Al-Ashraf Tumanbay.Â
Terdengar kabar bahwa Tumanbay baru saja diangkat menjadi sultan Mamluk penggati Qansuh, Salim langsung menulis surat kepada Tumanbay dan menawarkan dua opsi:Â
"Menyerah dan memerintah Mesir sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Utsmaniyah atau melawan dan menghadapi kehancuran total"
Bagi seorang sultan Mamluk, menyerah bukanlah sebuah pilihan. Meskipun rasa takut dalam diri Tumanbay muncul setelah membaca surat dari Sultan Salim.Â
Dalam upayanya menjaga keamanan dan ketertiban tentara maupun penduduk kota, Tumanbay mengeluarkan undang-undang tentang pelarangan hashish (minuman keras dan narkoba) dengan ancaman hukuman mati.
Dengan beredarnya isi surat Salim kepada Tumanbay, menimbulkan kepanikan dan kegelisahan di tengah masyarakat Kairo. Situasi kairo mulai tidak kondusif ditambah Penduduk Kairo yang gelisah mengabaikan perintah sultan dan mencoba melupakan ancama serangan pasukan Utsmaniyah dengan mengkonsumsi hasish.
Kondisi ini diperburuk dengan kabar penaklukan Kota Gaza oleh pasukan Utsmaniyah yang telah beredar luas di tengah masyarakat kota. dimana 1000 warga sipil di hukum mati.Â
Pada januari 1517, pasukan Utsmani bersiap memasuki Mesir dan berbaris menuju ibu kota Mamluk. Di sisi lain, Tumanbay berhasil mengumpulkan sekitar 20.000 pasukan yang bisa dikerahkan menghadapi serangan Utsmani.Â
Belajar dari pengalaman di pertempuran Marj Dabiq, dalam menghadapi pasukan artileri Utsmani yang dipersenjatai senapan, sistem militer abad pertengahan harus ditinggalkan.Â
Pertempuran Ridaniyah dan runtuhnya Dinasti Mamluk.Â
"pertempuran yang luar biasa, menyebutkannya saja mampu menghujamkan rasa takut ke dalam hati setiap manusia dan kengeriannya mampu meluluhkan akal sehatnya".  Begitulah Ahmad ibnu Iyas dalam bukunya Bada'i 'al-zuhur fi waqa'i 'al-duhur menggabarkan dahsyatnya Pertempuran.
Pada 22 januari 1517, pasukan Sultan Salim berhasil memasuki pinggiranan utara Kairo. Tumanbay mulai mempersenjatai sebagian besar pasukannya dengan senapan serta mempersiapkan 100 kereta kuda berisi meriam ringan.Â
Pada keadaan genting ini muncul keputusasaan dalam tubuh pasukan Mamluk, keputusasaan ini muncul karena memang sebagian besar dari mereka hanya pasukan relawan yang kurang berpengalaman dan tidak bisa diandalkan.
Dentuman meriam dan hentakan kavaleri Mamluk menandakan awal dimulainya pertempuran. Bagaikan belalang, pasukan Mamluk disambut oleh pasukan Utsmani yang jumlahnya jauh lebih besar.Â
Pasukan Utsmani membanjiri medan pertempuran dari segala arah. Dalam kurun waktu beberapa jam, serangan yang dilancarkan pasukan Utsmani telah menelan banyak korban pada pasukan pertahanan Mamluk.Â
Pertempuran yang terjadi secara singkat ini menandakan bahwa kekuatan militer Utsmaniyah yang disokong dengan pengembangan teknologi akan jauh lebih efektif, dibandingkan dengan Mamluk yang masih mengadopsi sistem kuno abad pertengahan.
Jatuhnya ibu kota Mamluk, menandakan berakhirnya kekuasaan Dinasti Mamluk atas Mesir. Begitupun dengan wilayah Hijaz dan wilayah lainnya yang secara otomatis masuk dalam kekuasaan Dinasti Utsmaniyah.
Sultan Salim kini menambahkan legitimasi keagamaan menjadi Pelayan dan Pelindung Dua Kota Suci atau Khadim al-Haramain asy-Syarifain  pada gelar kesultanannya. Penambahan wilayah ini menjadi sebuah sebuah bukti atas penegasan Dinasti Utsmaninyah sebagai kekaisaran Islam terbesar di dunia.Â
Khutbah jum'at di masjid-masjid yang secara tradisional selalu disampaikan untuk menghormati sultan Mamluk, kini disampaikan untuk menghormati sultan Utsmaniyah. Penghormatan ini merupakan salah satu cara tradisional mengakui kedaulatan.
"Semoga Allah menyelamatkan sang Sultan, Â putra Sultan, Penguasa dua benua dan dua lautan; penakluk dua pasukan, Sultan dua wilayah irak, pelayan dua kota suci, Sultan Salim sang pemenang," ujar khatib.
Penaklukan Utsmaniyah atas Mamluk adalah titik balik penting dalam sejarah Arab. Pertempuran antara kesatria Mamluk yang bersenjatakan pedang dan pasukan artileri Utsmaniyah menandai abad pertengahan dan awal zaman modern di dunia Arab.Â
Agar satu kerajaan dapat bangkit, maka kerajaan lainya harus runtuh. Kata inilah yang pantas kita sematkam pada peristiwa ini. Dengan bangkitnya kekuasaan Utsmani, maka kekuasaan lainnya harus runtuh.Â
Penaklukan Utsmaniyah juga berarti bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, dunia Arab diperintah dari ibu kota non-Arab. Dengan kata lain, bangsa Arab berada di bawah pemerintahan bangsa Turki dan akan mengikuti segala aturan yang ditetapkan oleh bangsa asing. Kondisi ini berlangsung selama hampir 300 tahun setelahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H