Sebagian akademisi juga menanggapi fenomena menguatnya populisme indentitas dalam kacamata positif. Ia diibaratkan seperti gejala sakit kepala untuk mengingatkan elit politik atas kelemahan demokrasi keterwakilan.
Dalam konteks ini, Targart meniali bahwa populisme sebagai indikator kesehatan sistem demokrasi representatif atas kemungkinan tidak berfungsinya salah satu organ sistem politik.
Hegemoni populisme yang berbasis pada agama kerap kali menjadi prediktor yang signifikan dalam berbagai kontestasi politik di tanah air. Rentetan insiden yang terjadi selama ini merupakan sebuah kotak pandora yang membuka apa yang selama ini tertutupi dibawah meja.
Kekhawatiran yang terjadi akan hegemoni minoritas terhadap mayoritas, memicu gelombang aksi yang besar dan menngakibatkan pada kondisi sosial-politik yang tidak stabil. Sentiment yang muncul dan berkelanjutan membuat peluang bagi kaum populis masuk menyelinap dan menjadi sosok peyelamat atas kemelut yang sedang terjadi.
Seharusnya kontestasi demokrasi yang kita miliki harus dibagun atas dasar gagasan dan program-program, bukan dengan sentiment agama, etnis dan lain-lain. Supaya ada nilai yang bisa kita ambil dalam proses demokrasi sebagai sarana bagi kita semua untuk dewasa dalam berdemokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H