Momentum inilah yang menjadi kesempatan besar bagi kaum populis untuk menekankan pada kesenjangan proses keterlibatan masyarakat dalam dua hal diatas, lebih spesifiknya adalah pembentukan undang-undang yang menyuarakan aspirasi rakyat bukan untuk kepentingan golongan.
Pada dasarnya populisme bersifat ekslusif dan secara definisi berarti gerakan politik yang mengklaim berbicara mewakili rakyat biasa dalam berhadapan dengan elit politik. Oleh karena itu populisme muncul akibat dari persaingan yang tak terhindarkan antara dua wajah demokrasi, yakni wajah pragmatis dan redemtif.
Wajah pragmatik bertumpu pada institusi-institusi demokrasi seperti lembaga-lembaga peradilan dan aparatur negara, sedangkan wajah redemtif bergelayut atas janji-janji ideal mewujudkan kehidupan yang sejahtera, adil dan makmur melalui partisipasi aktif warga yang berdaulat.
Oleh karenanya sifat-sifat ekslusif yang melekat pada populisme dianggap sebagai patologi demokrasi. Retorika kaum populis seringkalo bersifat intoleran, rasis dan xenopobia untuk melegitimasi segala tudingan yang mereka arahkan kepada kelompok-kelompok yang dianggap tidak sesuai dengan agenda politik mereka.
Bryder menegaskan bahwa kaum populis menolak multikulturalisme karena dianggap merugikan kepentingan mayoritas. Kaum populis juga pada dasarnya anti-pluralisme dan mengusung panji-panji tirani.
Dimensi populis pada gerakan populisme di Indonesia terkhusus Islam terletak pada penggunaan kata umat yang dibingkai dengan deskripsi sebagai kelompok yang terpinggirkan, menurut Vedi Hafiz, kata "umat" merupakan proksi untuk "rakyat" yang diposisikan sebagai pihak yang sengaja termarjinalkan oleh elite korup.
Fenomena ini terjadi ketika terjadi gelombang aksi umat Islam yang menuntut agar Basuki Tahaja Purnama (Ahok) segera diadili atas dugaan kasus penistaan agama. Dalam konteks ini umat Islam dikontruksi sebagai kelompok yang terpinggirkan muncul akibat lambatnya peran pemerintah dan penegak hukum dalam mengatasi konflik ini.
Azyumardi Azra menunjukkan bahwa kontestasi pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 sebagai momentum menguatnya populisme Islam di Indonesia. Populisme digunakan sebagai konsep untuk menjelaskan fenomena sosial politik kontemporer dengan menguatnya identitas.
Dalam leksikon ilmu hukum, rasa percaya pada lembaga publik merupakan aspek kultural penting untuk mendukung stabilnya demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Dalam hal ini secara umum masyarakat Indonesia juga kurang percaya pada lembaga-lembaga publik seperti DPR, partai politik, polisi, pengadilan dan jaksa.
Sebaliknya masyarakat Indonesia memiliki tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga agama. Menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya masih terikat dengan keyakinan pada lembaga-lembaga agama yang selama ini mencerminkan sifat konservatif
Wajar saja apabila masyarakat Indonesia bersikap emosional ketika dihadapkan dengan masalah yang memiliki sangkut paut dengan agama. Karena pada dasarnya sifat konservatif inilah yang mengilhami mayoritas masyarakat Indonesia.