Bunga Rafflesia adalah salah satu tumbuhan yang unik dan menyimpan misteri bagi dunia botani. Keunikan Rafflesia terletak pada bentuknya yang hanya berupa kuncup atau bunga mekar tanpa batang, daun, atau akar. Selain kuncup atau bunganya, Rafflesia memiliki haustorium, jaringan khusus yang berfungsi seperti akar untuk menyerap nutrisi dari inangnya, hasil fotosintesis tanaman lain. Karena tidak mampu berfotosintesis sendiri, Rafflesia dikategorikan sebagai holoparasit yang sangat bergantung pada tanaman inang untuk bertahan hidup. Inangnya sangat spesifik, yaitu dari genus Tetrastigma. Namun, tidak semua jenis Tetrastigma dapat menjadi inang; hanya beberapa spesies tertentu dari genus ini yang dapat menopang kehidupan Rafflesia.
Salah satu spesies Rafflesia yang terkenal adalah R. arnoldii, yang bunganya bisa mencapai diameter 110 cm ketika mekar. Keajaiban ini pertama kali ditemukan oleh Dr. Joseph Arnold, seorang dokter dan pecinta alam dari abad ke-19, yang merasa takjub saat menemukannya di pedalaman Manna, Bengkulu Selatan pada tahun 1818. Rafflesia dikenal memiliki bunga tunggal terbesar di dunia, dan karena sifatnya yang dioecious atau berumah dua, bunga jantan dan betinanya tumbuh pada individu yang berbeda. Struktur bunganya sangat unik, dengan istilah khusus untuk bagian-bagian tertentu yang berbeda dari bunga biasa. Saat mekar, bunga ini memperlihatkan lima helai perigon, yang kadang berjumlah enam, berasal dari tabung perigon. Perigon ini menyerupai mahkota bunga yang berfungsi untuk menarik penyerbuk. Di bagian tengah atas bunga, terdapat gelang lebar yang disebut diafragma, dan lubang di tengahnya dikenal sebagai aperture diafragma. Di atas perigon dan diafragma, terdapat bercak beragam warna seperti putih, oranye, atau merah muda, yang menjadi penanda spesies Rafflesia tertentu.
Sebagai tanaman parasit dalam subfamili Rafflesiaceae, Rafflesia bergantung penuh pada inangnya, terutama pada Tetrastigma, sejenis liana yang menjadi inang utamanya. Namun, dari banyak jenis Tetrastigma, hanya sekitar 10 spesies yang diketahui dapat mendukung pertumbuhan Rafflesia, termasuk T. tuberculatum, T. curtisii, dan T. loheri. Status konservasi Rafflesia, menurut IUCN, termasuk terancam punah karena populasinya yang terbatas dan sifatnya yang endemik sehingga jarang ditemukan di alam liar. Karakteristik biologis yang unik, seperti siklus hidup tahunan dan ketergantungan pada inang tertentu, menambah tantangan dalam proses perkembangbiakannya.
Di wilayah Rhino Camp, Resort Sukaraja Atas, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), ditemukan populasi Rafflesia yang menunjukkan bahwa kondisi lingkungan di sana masih cukup terjaga. Namun, keberadaan Jalan Lintas Barat Sanggi-Bengkunat di sekitar area tersebut dapat memicu gangguan aktivitas manusia yang mengancam habitat dan populasi Rafflesia. Karena itu, pemantauan populasi dan kondisi lingkungan di Rhino Camp perlu dilakukan secara berkala untuk mendeteksi perubahan dan mendukung upaya konservasi yang sesuai dengan karakteristik habitatnya.
Provinsi Bengkulu sebagai daerah asal bunga Rafflesia Arnoldii, terletak di pesisir barat Sumatra memiliki iklim tropis dengan curah hujan tinggi sepanjang tahun. Berdasarkan klasifikasi iklim Köppen-Geiger, iklim Bengkulu termasuk dalam kategori Af, yang berarti iklim hutan hujan tropis. Iklim ini ditandai dengan suhu rata-rata tahunan sekitar 25,6°C, dan curah hujan tahunan yang mencapai sekitar 2.960 mm. Bulan dengan curah hujan tertinggi umumnya terjadi pada bulan November hingga Maret, yang menandai musim hujan dengan intensitas tinggi, terutama karena pengaruh angin monsun dan kedekatan wilayah ini dengan Samudra Hindia (BMKG Bengkulu, 2024)
Dalam hal cuaca, suhu harian di Bengkulu cenderung stabil, dengan sedikit perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau. Rata-rata suhu harian berkisar antara 24°C hingga 31°C, dan kelembaban relatif cukup tinggi, mendukung iklim yang basah sepanjang tahun. Kota Bengkulu dan wilayah pesisir lainnya juga rentan terhadap badai laut dan hujan lebat, yang sering memicu banjir di beberapa daerah
Penelitian oleh Delima dkk. (2017) di Patok 50 Rhino Camp, Resort Sukaraja Atas, Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Semaka, TNBBS, menemukan 49 individu Rafflesia. Dari jumlah tersebut, 67% individu ditemukan dalam kondisi hidup, sementara 33% telah mati atau membusuk. Individu yang mati menunjukkan kondisi yang berbeda-beda, dengan beberapa di antaranya memiliki perigon yang sudah menghitam. Menurut Subki (komunikasi pribadi, 2016), kondisi ini mengindikasikan bahwa bunga telah mekar lebih dari satu minggu dan mulai membusuk. Sebagaimana dijelaskan oleh Nais (2001), masa mekar bunga Rafflesia biasanya hanya berlangsung 4-7 hari. Kematian kenop diduga disebabkan kurangnya nutrisi, ketersediaan air, atau kerusakan akibat dimakan hewan pengerat atau terinjak. Namun, tidak semua kenop hidup akan mencapai fase mekar; Nais (2004) menerangkan bahwa tingkat kematian tertinggi terjadi pada kenop dengan diameter kurang dari 3 cm, sedangkan kenop berukuran besar (>16 cm) memiliki peluang bertahan hidup lebih besar.
Secara umum, habitat Rafflesia di Rhino Camp, TNBBS masih cukup mendukung kelangsungan hidup tumbuhan ini. Hal ini ditunjukkan dengan persentase bunga mekar-mati (23%) yang lebih besar daripada kenop-mati (4%), sehingga dapat disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan Rafflesia untuk hidup hingga fase mekar lebih tinggi dibandingkan dengan kegagalan pada fase kenop. Jumlah individu yang berhasil mekar juga menunjukkan bahwa kondisi lingkungan cukup kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan Rafflesia.
Persentase kenop terbesar ditemukan dalam kondisi kuncup hidup, yang biasanya tumbuh pada bagian akar Tetrastigma. Kenop dalam kondisi ini cenderung bertahan hidup karena bagian akar Tetrastigma menyediakan unsur hara dan tekstur yang sesuai untuk media tumbuh Rafflesia. Menurut Priatna dkk. (1989), sistem perakaran Tetrastigma menjalar pada lapisan tanah atas yang kaya hara, sehingga berpengaruh positif terhadap ketersediaan nutrisi bagi Rafflesia. Kondisi ini juga mempermudah penyebaran haustorium (organ vegetatif) di dalam tubuh Tetrastigma. Penelitian Mukmin (2008) juga menunjukkan bahwa Rafflesia patma lebih sering tumbuh di bagian akar, baik dalam kondisi kenop maupun mekar.
 Jumlah individu paling sedikit ditemukan pada kelas diameter >20 cm. Pada ukuran ini, kenop dianggap dewasa, ditandai dengan terkelupasnya kulit pembungkus brakta akibat tekanan dari perigon yang membesar. Secara rinci, tercatat satu individu mekar sempurna dengan diameter mencapai 43 cm dan lebar diafragma 26 cm . Satu individu tampak merah muda dengan diameter kenop 23 cm, dan brakta coklat yang telah terkupas habis, diperkirakan akan mekar sempurna dalam 3 hari (Subki, komunikasi pribadi, 2016). Selain itu, ditemukan tiga individu dalam kondisi kenop mati dengan rata-rata diameter 21 cm, serta satu individu mekar-mati dengan diameter 22 cm.