Penulis: Farhan Mustafid, S.H.Â
Seorang filsuf asal Yunani Aristoteles mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah binatang politik (zoon politicon). Istilah ini menggambarkan kodrat manusia sebagai makhluk yang senantiasa bersosialisasi dan berinteraksi dengan sesama. Secara harfiah, zoon politicon artinya makhluk yang selalu hidup bermasyarakat.Â
Sebagai makhluk, manusia tidak bisa dipisahkan dari kelompok masyarakat yang saling berinteraksi satu sama lain. Politik itu kejam. Naluri untuk mengalahkan demi berebut kekuasaan adalah sifat alamiah politik.Â
Di politik, unsur ancaman dan kekerasan yang merupakan sifat-sifat hewani, lebih menonjol ketimbang sifat-sifat manusia yang rasional, dialogis, komunikatif, koperatif, dan konsensual.
Aristoteles (384-322 SM) mendefinisikan manusia sebagai "binatang politik" (zoon politikon) untuk menyebut sebagai makhluk sosial. Memang, dalam diri manusia selalu terbalut dua sifat alamiah: baik dan jahat, kasar dan lembut, adil dan tidak adil.
Thomas Hobbes (1588-1679) mendeskripsikan manusia sebagai pemangsa. Manusia ibarat serigala bagi sesama manusia (homo homini lupus). Istilah "manusia serigala" itu dicetuskan penulis drama Plautus (254--184 SM).Â
Kata Plautus, manusia adalah serigalanya manusia (lupus est homo homini). Ini menandakan manusia sering menikam sesama manusia lain. Narasi yang terbangun di politik terlihat dominan soal kekerasan, kekejaman, saling menjatuhkan. Perebutan kekuasaan menjadi target dari nafsu kekerasan tersebut.
Apakah demikian sifat berpolitik?
Pertanyaan paling sah diajukan kepada Machiavelli (1469-1527), tokoh yang "menghalalkan segala cara" demi kekuasaan. Tipu muslihat, licik, dan kejam sangat efektif untuk mempertahankan kekuasaan. Ini karena, Machiavelli melihat manusia memiliki sisi lain semirip sifat-sifat binatang yang rakus, bengis, kejam.Â
Penguasa, menurut Machiavelli, bisa berlagak seperti singa ( atau rubah. Penguasa yang berkarakter singa sangat kejam dan menindas, sedangkan penguasa berwatak rubah begitu licik dengan tipu daya.
Sebab catur politik adalah sebuah dinamika yang dinamis, kalah dan menang itu wajar yang tidak wajar adalah ketika kalah membenci dan tergiring untuk marah, hal ini adalah salah satu kekeliruan yang dimana dijauhkan dengan sikap rasionalitas.
If you totally surround them, they will fight even more fiercely. With a way out, they will not." -Sun Tzu, The Art of War
terjemahan sederhana : kalau kamu sudah mengepung total musuhmu maka mereka akan bertarung habis-habisan. Kalau ada jalan keluar mereka tidak akan melakukan itu.
Intinya adalah jangan membuat lawanmu terpojok sampai tidak ada jalan keluar lagi.
Kedengarannya aneh, bukankah itu tujuan sebuah pertempuran?
Karena lawan yang sudah terpojok tanpa ada jalan keluar akan bertempur mati-matian. Dia akan berperang habis-habisan karena tidak ada pilihan lain.
Anda kemungkinan akan tetap menang tapi anda akan mengalami kerugian yang tidak sedikit, padahal ada jalan yang lebih mudah.
Berikan jalan keluar pada musuh anda yang sudah terpojok itu. Insting utama manusia adalah survive, musuh akan fokus ke jalan keluar itu untuk menyelamatkan/melarikan diri, tidak fokus pada serangan apalagi perang, pertahanan dia akan lebih lemah dan akhirnya lebih mudah diserang. Sebagian musuh mungkin akan lolos tapi anda akan menang dan kerugian tidak terlalu besar
Sun Tzu melakukan strategi ini dalam sebuah pertempuran. Musuh yang sudah terpojok dan terkurung posisinya justru disediakan satu jalan untuk melarikan diri yang terbuka lebar. Bahkan ada tentara Sun Tzu yang berpura-pura menjadi tentara musuh dan sengaja berteriak-teriak memberi tahu bahwa ada jalan keluar.Â
Akibatnya tentara yang sudah terpojok menjadi lebih tertarik untuk melarikan diri dan tidak fokus lagi untuk bertahan atau menyerang. Tentara yang lari ini sebagian besar juga akhirnya tewas dan hanya sebagian kecil yang dapat lolos.
Uniknya ada juga strategi yang justru memanfaatkan kondisi terpojok ini untuk menciptakan tentara dengan semangat bertempur tinggi karena tidak ada pilihan lain
Sun Tzu menulis buku Seni Perang "The Art of War" pada abad ke 6. Buku itu telah menjadi rujukan banyak sekali ahli militer dari China, Jepang, bahkan rumornya Napoleon Bonaparte sendiri membaca buku ini. Buku Seni Perang terdiri dari 13 bab, masing-masing mempunyai tujuan spesifik dari mulai mempersiapkan perang, hingga diplomasi di dalam perang.
Salah satu quote yang paling saya suka adalah
"Jika Anda mengenal diri dan musuh Anda, Anda tidak akan kalah dalam seratus pertempuran"
Maknanya kurang lebih jika anda ingin memenangkan pertempuran, anda harus tahu berapa kekuatan lawan dan berapa kekuatan yang ada di dalam diri anda sendiri (atau pasukan anda) sehingga nantinya anda bisa menentukan strategi yang tepat.
Sun Tzu mengungkapkan jika jumlah saja tidak bisa memenangkan pertempuran. Kesiapan pasukan, logistik, dan lain sebagainya adalah hal yang mutlak harus dipenuhi terlebih dahulu.
Satu hal lagi yang penting bagi pemenangan perang adalah tipu daya.
"All warfare is based on deception. Hence, when we are able to attack, we must seem unable; when using our forces, we must appear inactive; when we are near, we must make the enemy believe we are far away; when far away, we must make him believe we are near."
Terkadang memenangkan pertempuran tidak melulu harus dengan kekerasan. Tipu daya saja sudah cukup untuk memenangkan pertempuran. Hal ini mungkin bisa kita lihat di perang gerilya seperti di Vietnam atau mungkin juga di Indonesia waktu Pak Sudirman. Barat ditipu habis-habisan dengan taktik hit and run sehingga mereka kehabisan sumber daya untuk melanjutkan pertempuran.
"Victorious warriors win first and then go to war, while defeated warriors go to war first and then seek to win"
Quote diatas juga sangat saya sukai. Pemenang sebuah pertempuran biasanya sudah kelihatan terlebih dahulu bahkan sebelum pertempuran itu dimulai. Artinya bahwa persiapan adalah hal yang mutlak harus dilakukan. Perang bukan hal sembrono yang bisa dilakukan secara sembarangan. Perang adalah hal yang besar dan harus dilakukan dengan kalkulasi besar pula.
Dari beberapa hal diatas kita tahu jika The Art of War tidak hanya berguna untuk perang. Taktik Sun Tzu bisa diterapkan dalam dunia bisnis atau politik. Bahkan bisa juga diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Namun ada satu quote yang paling saya suka dari Sun Tzu.
"The supreme art of war is to subdue the enemy without fighting."
Kalimat itu menyatakan jika, kemenangan perang yang paling tinggi adalah, mengalahkan musuh tanpa bertempur. Ya, jika kita bisa berdiplomasi, berkompromi, bermusyawah mengapa harus berperang? Perang hanya menghabiskan resource, sumber daya, dan nyawa. Siapapun yang menang, akan ada tragedi. Inilah mengapa perang seharusnya dihindari.
Mengutip sebuah perkataan Arie Putra Owner YouTube Total Politik dengan judul "PSI dibarisan Prabowo dan AHY, Faldi Maldini Tidak pernah Mimpikan"
Arie Putra dan Faldo Maldini mengatakan:
"Dalam peristiwa pasti ada hikmahnya hikmahnya orang bisa melihat realitas politik dengan cara yang tidak ideal sepertinya itu lebih baik harus menerima "ya memang begini" seperti orang pacaran, ideal betul dilihatnya ternyata realitas sudah menikah segala macam tidak sesuai ekspektasi, akan tetapi kalau dari awal kita sudah bisa memikirkan "bahwa ini bukan yang ideal bagi kita, tapi ini yang bisa memberikan kebutuhan kita, kan" kebutuhan kita apa?
Kehidupan keluarga yang baik, disalah satunya tidak bisa mengatur keuangan akan tetapi disalah keduanya bisa mengatur keuangan. Jadi kita diajak belajar berpikir untuk kesitu"
"Seperti halnya orang berpacaran seolah olah dunia ini milik dunia, orang lain ngontrak ngekost, pasangannya di ratukan yang lain blablabla perempuan paling ideal dimuka bumi, akan tetapi ada juga orang yang memilih pasangannya  dengan mindset yang berbeda, cara melihatnya adalah "aku gabisa keuangan aku butuh istri yang punya kemampuan untuk mengatur keuangan", suami jago masak istri ga jago masak ya tidak apa apa. Tapi bagi orang ideal tadi semuanya tuh harus, makan masakan istri jadi kita diajak untuk  melihat realitas politik dengan cara yang lain bukan yang ideal tapi yang kita butuh dan rasional sebab kita dikasih bukan sesuatu hal yang kita inginkan atau keren tetapi yang kita butuhkan".
"Tetapi itulah proses kita berbangsa yang membawa kita menjadi dewasa dengan menjalankannya melewatinya baru bisa kita obrolin
Seperti halnya aku memilih istriku berdasarkan kebutuhan dan kau memilih istri sebagai cinta sejati dan ideal akan tetapi akan Beda hasilnya karena kita gatahu belum sampai ke titik tertentu dan dicoba, yang kita bisa menilai atau aku gabisa menilai mana dua duanya yang baik karena basisku kebutuhan tapi set up nya sudah beda seperti hal ya yang menonton total politik nonton sesuai kebutuhanmu saja, tetapi kalau berdasarkan ideal cinta abadi dan segala macam pasti itu sakit hati."
Sedangkan cinta sifatnya transendental dan irasional.
Lalu bagaimana? Sebab manusia hidup dalam sebuah kebutuhan, keinginan dan kepentingan. Maka dari hal tersebut dalam pergejolakan cinta ada yang jadi korban dan dikorbankan. Kebenaran sifatnya politis dan kompromi. Sebab Politik itu dinamis, harus mencair.
Seperti halnya Dualistik; kamu bisa tahan 1 minggu makan dan minum, tapi tidak bisa hidup sedetik pun tanpa harapan.
Akan tetapi harapan itu yang membuatmu kecewa.
Apakah ketika kita kecewa itu tandanya tidak bersyukur?
"Rasa kecewa melahirkan penyesalan, penyesalan jika ada menjadi pelajaran untuk tidak akan terulang lagi dan memberi peluang munculnya harapan pada hari hari berikutnya"
Selama masih ada pagi selepas malam, juga pelangi sereda hujan; maka kehidupan masih akan tentang harapan-harapan.
Absuditas Politik Cinta
Manusia merasa bahwa kehidupannya memiliki makna intrinsik yang menjadi patokan dalam mengambil sikap agar hidup ini berarti. Nyatanya alam semesta ini sepenuhnya kosong dari kebermaknaan. Ia ada begitu saja tanpa arti intrinsik.
Lalu Manusia jungkir balik dalam upayanya mengetahui segala sesuatu. Namun pengetahuan manusia tetap saja terbatas dan tidak akan pernah memadai. Bagi Albert Camus, kegagalan hasrat pengetahuan manusia di hadapan absurditas dunia menegaskan bahwa semesta memang sejatinya tidak bermakna.Sekali lagi, perasaan yang terbangun oleh makna akan selalu berkontradiksi dengan pengetahuan atas ketidak-bermaknaan.
Dengan demikian, kita berada pada dunia yang sepenuhnya bertentangan dengan keinginan manusia. Lalu, pertanyaan terpenting untuk dipikirkan adalah apa alasan manusia untuk terus hidup?
Tidak ada. Tapi, ya, hidup harus tetap berlanjut.
Manusia menciptakan dirinya sendiri, dunialah yang absurd, dan Sartre berkata: "Saya tahu itu adalah dunia. Dunia telanjang tiba-tiba memunculkan dirinya sendiri, dan saya menjadi gusar dengan kehidupan yang kotor dan absurd ini." Â sartre bilang bahwa cinta itu konflik, cinta itu pertentangan. bahasanya memuakkan, atau nausee.dan saya pikir dulu cinta itu ya absurd, susah dimaknai
"Saya melihat orang lain yang secara paradoksal dibunuh demi gagasan atau ilusi yang justru memberikan kepada mereka alasan untuk hidup, jadi saya menilai bahwa makna hidup adalah pertanyaan yang paling mendesak"
Kita dilempar dalam fakta-fakta yang kerap kali tidak sesuai dengan ekspektasi. Kita selalu terus mencari nilai absolut dalam hidup, entah itu makna, kebahagiaan, pekerjaan dan yang lainnya. Padahal nilai absolut itu tidak ada. Dunia menyembunyikan itu semua.
Katanya Albert Camus absurd itu konfrontasi antara dunia yang irasional dan kerinduan yang hebat akan kejelasan yang panggilannya menggema di kedalaman hati manusia.
Jadi Absurditas Cinta dan Realitas Politik itu tidak bisa dipisahkan maka dari itu kita tidak bisa mendikte nya melainkan menyelami khazanah itu sendiri.
Hidup hanya peralihan dari Syahrir menuju Chairil; kadang dipertaruhkan untuk dimenangkan, kadang hanya menunda kekalahan.