Mohon tunggu...
Farhan Mustafid
Farhan Mustafid Mohon Tunggu... Penulis - penulis

"Ke-Aku-an" Ini perkara baju, tapi ketelanjangan "diri" yang begitu Sunyi dalam riuh-riuh realitas.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mencegah Adanya Disintegrasi Hegemoni Politik Tahun 2024

1 Oktober 2023   13:45 Diperbarui: 2 Oktober 2023   18:59 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Dalam politik, hoax merupakan sumber daya yang selalu dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan kepentingan. Semua gerakan politik yang mau mendiskreditkan penguasa berusaha menggunakan unsur-unsur yang lebih sentimental atau emosional dari pada yang rasional. Tujuannya untuk menciptakan dan membakar emosi massa. Upaya seperti ini menjadi bagian dari populisme karena memainkan persuasi emosional memang lebih efektif dari pada mengikuti kriteria rasionalitas dan kebenaran. Kecenderungan populisme untuk memperoleh kekuasaan demi kekuasaan tidak peduli metode atau sarana yang dipakai. 

Populisme piawai menggunakan demagogi dan retorika karena inti komunikasi adalah membidik pengaruh melalui manipulasi. Demagog disebut sebagai aktor yang meminjamkan suaranya kepada penonton. Maka dia sangat piawai menyesuaikan diri dengan situasi emosi penonton sampai mampu menampilka n wajah sebanyak kategori sosial penontonnya . Dengan demikian demagog mudah sekali mengaduk-aduk emosi massa. Bagi seorang demagog "merayu berarti mati sebagai realitas untuk menghasilkan tipu daya" (Belenger). Manipulasi menyusup di celah-celah antara nilai, gagasan dan opini sehingga ketiganya sulit dibedakan untuk akhirnya diterima audiens sebagai fakta.

Mereka yang berseberangan dengan para Aktor cenderung mengintrodusir unsur-unsur sentimental dan emosional, bahkan kalau perlu menggunakan pesan-pesan palsu yang sarat dengan kekuatan tendensius. Tujuannya ialah membangkitkan ketegangan dan permusuhan sehingga menciptakan energi yang dibutuhkan untuk menaikkan daya tawar para Aktor. Dengan demikian aktor dan penonton yang berseberangan menjadi semakin sulit diprediksi sikap dan tindakannya. Jadi post truth menjadi senjata politik disinformasi dan instrument persuasi massa. 

Untuk disinformasi dengan teknik mengolah pesan yang menyentuh emosi agar mudah membungkam pikiran kritis dan analitis masyarakat. Sebagai Instrumen persuasi, post truth membidik empat hal. Pertama, bentuk rekayasa informasi agar orang bingung menafsirkan realitas. Kedua, manajemen taktik konspirasi dengan membangkitkan kecurigaan dan permusuhan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Ketiga, menciptakan mitos-mitos politik. Keempat, self-fulfilling prophecy, yaitu pembenaran argument para Aktor bahwa korban atau kerusuhan sebagai konsekuensi logis demagog yang tak didengar padahal, peramal (demagog) sekaligus algojonya.

Penyebaran hoax pun dapat menyebabkan perpecahan dan disintegrasi bangsa, entah itu motifnya ekonomi maupun politik faktor biasanya karena perbedaan pendapat, kurang toleransi, ketimpangan  dan atau ketidakpuasan, serta salah satu pihak ingin unggul sendiri tapi dengan cara menjatuhkan pihak lain. Isu Agama serta disintegrasi bangsa melalui politik identitas acap kali menjadi komoditas jelang tahun politik, konflik sosial dan ketegangan politik yang berlarut-larut bukti bahwa bangsa ini memiliki keberagaman yang tak dapat diseragamkan. 

Emosi Mengalahkan Fakta


Mengapa banyak orang tidak mau memverifikasi informasi dan percaya hanya yang sesuai dengan keyakinannya? Untuk menjawa pertanyaan ini, J. Haidt mengacu ke cara pemahaman Margolis yang menyatakan bahwa pemikiran politik sebagian besar bekerja melalui pencocokan pola tak sadar yang cepat seperti digambarkan dengan bagus oleh ilusi persepsi Muller-Lyer (Haid, 2012:54). Dengan kata lain, opini politik ditentukan kesan pertama atau intuisi dari pada penalaran (reasoning) Dalam Ilusi itu, di benak kita, gambar garis yang kanan masih saja kelihatan lebih panjang dari pada gambar garis yang kiri, bahkan setelah kita tahu bahwa dua garis tersebut sama persis panjangnya. 

Dan orang tidak bisa memilih untuk mengikuti atau menghindari ilusi tersebut. Mengapa demikian? Menurut Haidt, ada dua proses kognitif dalam menilai dan memecahkan masalah. Pertama, orang hanya "melihat bahwa" satu garis lebih panjang dari pada garis yang lain. Proses ini disebut berpikir secara intuitif (Haidt 2012: 56). Kedua, proses tersebut dikontraskan dengan "berpikir mengapa" yang bukan merupakan proses otomatis, tetapi protes yang sadar untuk menjelaskan diri terhadap pihak lain. Bagaimana kita berpikir untuk sampai pada suatu penilaian atau orang lain sampai pada penilaian (Haidt, 2012: 56-57)

Populisme Agama


Etika politik sebagai upaya untuk hidup baik bersama dan untuk orang lain dalam kerangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Ricouer, 1986) dipermiskinkan menjadi lip service saja di era post truth. Etika politik berusaha melawan upaya pemiskinan politik ketika ruang public direduksi menjadi pasar dan tiada transparansi. Mengabaikan etika politik sama saja membiarkan penyelenggaraan negara dipermiskin manajemen kepentingan kelompok-kelompok atau individu tertentu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun