Dalam politik, hoax merupakan sumber daya yang selalu dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan kepentingan. Semua gerakan politik yang mau mendiskreditkan penguasa berusaha menggunakan unsur-unsur yang lebih sentimental atau emosional dari pada yang rasional. Tujuannya untuk menciptakan dan membakar emosi massa. Upaya seperti ini menjadi bagian dari populisme karena memainkan persuasi emosional memang lebih efektif dari pada mengikuti kriteria rasionalitas dan kebenaran. Kecenderungan populisme untuk memperoleh kekuasaan demi kekuasaan tidak peduli metode atau sarana yang dipakai.Â
Populisme piawai menggunakan demagogi dan retorika karena inti komunikasi adalah membidik pengaruh melalui manipulasi. Demagog disebut sebagai aktor yang meminjamkan suaranya kepada penonton. Maka dia sangat piawai menyesuaikan diri dengan situasi emosi penonton sampai mampu menampilka n wajah sebanyak kategori sosial penontonnya . Dengan demikian demagog mudah sekali mengaduk-aduk emosi massa. Bagi seorang demagog "merayu berarti mati sebagai realitas untuk menghasilkan tipu daya" (Belenger). Manipulasi menyusup di celah-celah antara nilai, gagasan dan opini sehingga ketiganya sulit dibedakan untuk akhirnya diterima audiens sebagai fakta.
Mereka yang berseberangan dengan para Aktor cenderung mengintrodusir unsur-unsur sentimental dan emosional, bahkan kalau perlu menggunakan pesan-pesan palsu yang sarat dengan kekuatan tendensius. Tujuannya ialah membangkitkan ketegangan dan permusuhan sehingga menciptakan energi yang dibutuhkan untuk menaikkan daya tawar para Aktor. Dengan demikian aktor dan penonton yang berseberangan menjadi semakin sulit diprediksi sikap dan tindakannya. Jadi post truth menjadi senjata politik disinformasi dan instrument persuasi massa.Â
Untuk disinformasi dengan teknik mengolah pesan yang menyentuh emosi agar mudah membungkam pikiran kritis dan analitis masyarakat. Sebagai Instrumen persuasi, post truth membidik empat hal. Pertama, bentuk rekayasa informasi agar orang bingung menafsirkan realitas. Kedua, manajemen taktik konspirasi dengan membangkitkan kecurigaan dan permusuhan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Ketiga, menciptakan mitos-mitos politik. Keempat, self-fulfilling prophecy, yaitu pembenaran argument para Aktor bahwa korban atau kerusuhan sebagai konsekuensi logis demagog yang tak didengar padahal, peramal (demagog) sekaligus algojonya.
Penyebaran hoax pun dapat menyebabkan perpecahan dan disintegrasi bangsa, entah itu motifnya ekonomi maupun politik faktor biasanya karena perbedaan pendapat, kurang toleransi, ketimpangan  dan atau ketidakpuasan, serta salah satu pihak ingin unggul sendiri tapi dengan cara menjatuhkan pihak lain. Isu Agama serta disintegrasi bangsa melalui politik identitas acap kali menjadi komoditas jelang tahun politik, konflik sosial dan ketegangan politik yang berlarut-larut bukti bahwa bangsa ini memiliki keberagaman yang tak dapat diseragamkan.Â
Emosi Mengalahkan Fakta
Mengapa banyak orang tidak mau memverifikasi informasi dan percaya hanya yang sesuai dengan keyakinannya? Untuk menjawa pertanyaan ini, J. Haidt mengacu ke cara pemahaman Margolis yang menyatakan bahwa pemikiran politik sebagian besar bekerja melalui pencocokan pola tak sadar yang cepat seperti digambarkan dengan bagus oleh ilusi persepsi Muller-Lyer (Haid, 2012:54). Dengan kata lain, opini politik ditentukan kesan pertama atau intuisi dari pada penalaran (reasoning) Dalam Ilusi itu, di benak kita, gambar garis yang kanan masih saja kelihatan lebih panjang dari pada gambar garis yang kiri, bahkan setelah kita tahu bahwa dua garis tersebut sama persis panjangnya.Â
Dan orang tidak bisa memilih untuk mengikuti atau menghindari ilusi tersebut. Mengapa demikian? Menurut Haidt, ada dua proses kognitif dalam menilai dan memecahkan masalah. Pertama, orang hanya "melihat bahwa" satu garis lebih panjang dari pada garis yang lain. Proses ini disebut berpikir secara intuitif (Haidt 2012: 56). Kedua, proses tersebut dikontraskan dengan "berpikir mengapa" yang bukan merupakan proses otomatis, tetapi protes yang sadar untuk menjelaskan diri terhadap pihak lain. Bagaimana kita berpikir untuk sampai pada suatu penilaian atau orang lain sampai pada penilaian (Haidt, 2012: 56-57)
Populisme Agama
Etika politik sebagai upaya untuk hidup baik bersama dan untuk orang lain dalam kerangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Ricouer, 1986) dipermiskinkan menjadi lip service saja di era post truth. Etika politik berusaha melawan upaya pemiskinan politik ketika ruang public direduksi menjadi pasar dan tiada transparansi. Mengabaikan etika politik sama saja membiarkan penyelenggaraan negara dipermiskin manajemen kepentingan kelompok-kelompok atau individu tertentu.Â
Caranya melawan transparansi, bahkan licik, yaitu mengintensifkan manipulasi media dan hoax untuk senjata disinformasi. Ruang publik tak ada bedanya lagi dengan pasar, artinya hanya penawar tertinggi yang mampu membayar bisa bertransaksi. Maka, profesi public relation sangat dicari karena kuatnya politik pencitraan.Â
Populisme juga merupakan bentuk reaksi terhadap tak berfungsinya demokrasi. Tuduhan ini dialamatkan kepada Aktor yang sedang berkuasa karena dianggap "tidak menjalankan kekuasaan untuk kepentingan rakyat". Populisme agama, menurut Georg Bertz dan Carol Johnson (dalam: Marzouki, Saving The People, 2016: 3) Mengapa populisme agama memikat? Populisme agama bisa berfungsi sebagai ideologi yang memberi legitimasi simbolik untuk menaklukan ruang publik.Â
Kunci sukses populisme agama terletak pada kemampuannya dalam 3 hal. Pertama, mampu memberi kepastian, maksudnya dalam ketakpastian ekonomi global, pengangguran dan ketidakadilan, populisme agama menjanjikan ekonomi adil dan persaudaraan sejati melalui revolusi moral. Jadi populisme agama memberi identitas pasti, yaitu kepemilikan kelompok yang memberi stabilitas sosial, status, pandangan hidup, cara berpikir dan etos. Jadi agama tidak hanya memberi janji, tapi menjamin, meski bukan atas dasar analisis, melainkan dengan mendasarkan pada keyakinan. Keyakinan ini memberikan kepastian.
Kedua, agama menumbuhkan keyakinan bahwa orang berada dalam kontak dengan makna yang terdalam dari hidupnya; dan ketiga, acuan ke tujuan terakhir hidup memberi pembenaran dan sikap kritis terhadap tatanan yang ditolaknya (Haryatmoko 2010: 94-95). Bertolak dari nilai-nilai positif agama itu, Aktor demagog dengan licik manipulasinya untuk menawarkan imajiner koleftif baru untuk menggantikan imajiner yang sedang dilanda krisis.
Dengan demikian beberapa hal diatas akan memicu hal-hal disintegrasi seperti Hegemoni hoax, Narasi politik Identitas.  Dan serta salah satu indikator negara maju ialah integrasi yang kuat dari seluruh elemen masyarakat disuatu Negara tanpa adanya disintegrasi. Dengan memberikan akses pada rakyat melalui musyawarah, di mana setiap orang terlibat adalah jalan Tata Negara kita. Kunci dari tidak adanya disintegrasi adalah kata demokrasi dijalankan dengan benar, hilangnya ketimpangan dan tidak adanya kekerasan, dan salah satu tujuan politik ialah menghindari disintegrasi dengan cara menganalisa iklim politik.
Earving goffman peletak dasar teori "Dramaturgi"  mengatakan bahwa dalam relasi sosial politik setiap orang memainkan peran dan peran tersebut mereka perankan di panggung, ada panggung depan ada panggung belakang, tak ada yang sia-sia dari setiap fakta yang terjadi, tinggal kita mau belajar atau tidak dari itu semua. Kedepannya semoga kita sebagai elemen masyarakat bisa mencegah disintegrasi politik,  agar tetap bisa arif dan bijak  serta selalu berfikir strategis kontekstual, kompeten dan komprehensif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI