Mohon tunggu...
Farhan Mustafid
Farhan Mustafid Mohon Tunggu... Penulis - penulis

"Ke-Aku-an" Ini perkara baju, tapi ketelanjangan "diri" yang begitu Sunyi dalam riuh-riuh realitas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Relasi antara Sastra dan Kota

17 September 2023   11:22 Diperbarui: 17 September 2023   11:37 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Smber gambar YouTube: Martin Suryajaya/Lecture dan penulis

Karena laku membaca itu sendiri kan seperti apa yang disampaikan Martin suryajaya di YouTubenya,  bahwa adalah laku meninggalkan sejenak atau menangguhkan sejenak pandangan-pandangan kita sendiri . Kita coba masuk mendengar suara orang lain suara tokoh ABC dst. Suara didalam puisi dan dst nah jadi semangat perbandingan atau semangat membuat diri itu berada dalam relasi dengan yang lain bisa bertukar tangkap dengan kepribadian yang lain itu juga dialami oleh pembaca bahkan bisa dikatakan tidak ada laku membaca yang tidak dalam arti tertentu meninggalkan dari sendiri sekarang bayangkan kalau kita membaca novel atau puisi atau cerpen itu dengan tanpa memindahkan suara yang lain jadi kita membaca itu dalam proses pembacaan itu kita sibuk dengan diri kita sendiri dengan pikiran kita sendiri apa yang terjadi adalah kita tidak membaca ya kita akhirnya melamun ya kita sibuk dengan pikiran kita kita tidak masuk kedalam pikiran sitokohnya, karena mungkin kita merasa pikiran tokohnya konyol kita anggap itu pikirannya kacau dan seterunya maka kita tinggalkan kita tidak membaca akhirnya sibuk dengan diri sendiri nah ini adalah contohnnya bagaimana bahkan didalam membaca pun kita itu dituntut untuk meninggalkan sejenak pendirian-pendirian kita meninggalkan kedirian kita. 

Dan ini adalah landasan dari yang tadi yang Martin Suryajaya sebut dengan semangat perbandingan itu orang tidak akan bisa masuk ke dalam semangat perbandingan atau kesediaan untuk membandingkan pengalaman dan seterusnya kalau dia terlalu kekeh dengan dirinya sendiri kalau dia belum selesai dengan dirinya sendiri masih sibuk mendefinisikan diri masih menganggap diri penting dan seterusnya itu dia tidak akan bisa masuk dalam pendirian orang lain gitu kata "escape from personality" tadi juga berlaku dalam hal ini dia hanya bisa dilakukan kalau orangnya terbuka untuk menimbang dari sudut pandang orang lain menimbang dari sudut pandang orang lain artinya juga memandang bahwa pandangan sendiri itu bisa salah itu bahwa jangan-jangan pandangan sendiri ini katro bahwa estetika yang kita terapkan kriteria yang anggap kita penting yang kita anggap selama ini kita anggap sebagai ukuran baik dan buruk menilai karya seni atau sastra ternyata bisa salah juga kesadaran bahwa pandangan sendiri itu bisa salah selera kita itu kadang kadang katro bahwa kita bisa mengakui bahwa orang lain dalam arti tertentu lebih tepat dari pada kita dan kita belajar dari cara pandang orang lain itu semua itu adalah apa yang saya sebutkan tadi sebagai semangat perbandingannya jadi kesediaan untuk membandingkan pikiran sendiri dengan pikiran orang lain yang tidak menutup mata bahwa ada kemungkinan lain selain cara pandangku yang juga mungkin untuk digunakan untuk memandang kehidupan yang luas ini dan itu.

adalah persis pengalaman tentang kita jadi disitulah Martin Suryajaya katakan mengapa sastra dan kita relasinya sangat sangat dekat persis karena itu keduanya itu sama sama berbagi pengalaman perbandingan itu tadi, dalam konteks pengalaman hidup perkotaan Pengalaman hidup perkotaan persis itu terjadi. Ini juga terjadi artinya dalam bergaul dengan warga yang lain ya kita sebagai warga dan seterusnya itu kita juga dituntut untuk melihat dari sudut pandang orang lain jadi bukan hanya sibuk dengan diri sendiri dengan kepentingan diri sendiri tetapi juga melihat bahwa jangan-jangan orang lain punya kepentingan yang berbeda dengan kita dan diatas dasar apa kita mengutamakan kepentingan kita sendiri karena orang lain punya kepentingan berbeda juga, jadi kesadaran untuk memandang diri bisa keliru itu juga berlaku bukan hanya didalam sastra tapi juga dalam pengalaman kita sebagai warga kota jadi kita merasa diri tidak sebagai yang punya keseluruhan kota ini tapi sebagai satu dari sekian banyak warga yang juga bisa berganti pikiran dan perspektif dan seterusnya kita bisa bertukar tangkap perspektif dalam sudut pandang org lain dalam arti ini pula kita bisa menyebut bahwa kota itu bukanlah sekedar kumpulan individu kalau sekadar kumpulan individu maka masing masing bergerak ke arahnya, masing masing hancur tuh ngga ada yang namanya kota yang ada hanyalah Lautan manusia yang membuat kota me jadi kita adalah warganya dan warga ini menjadi warga karena mereka saling bisa sharing pengalamanya gitu mereka saling bisa bertukar cara pandang warga yang satu memandang kota dan meminjam dari sudut pandang warga yang lain tanpa adanya kemungkinan untuk bertukar sudut pandang ini tidak akan ada namanya kota  disamakan dengan suatu masyarakat pembaca masyarakat sastra sebetulnya pembaca penulis siapapun itu jadi orang-orang yang bersedia untuk bertukar pikiran melepaskan cara pandang sendiri masuk ke dalam cara pandang orang lain melihat diri sendiri dari sudut pandang org lain. Dst. Hanya dengan cara itulah suatu kota bisa tumbuh seperti halnya Etika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun